GAGAP – Pemerintah dinilai masih gagap menghadapi gencarnya berita hoax di media sosial. Padahal, ini memerlukan jawaban cepat yang konstruktif. Tampak jajaran PBNU saat menyampaikan refleksi pemikiran akhir tahun 2016. (FT/okz)
GAGAP – Pemerintah dinilai masih gagap menghadapi gencarnya berita hoax di media sosial. Padahal, ini memerlukan jawaban cepat yang konstruktif. Tampak jajaran PBNU saat menyampaikan refleksi pemikiran akhir tahun 2016. (FT/okz)

JAKARTA | duta.co – Melepas Tahun 2016, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan butir-butir refleksi pemikiran. Sejumlah isu menjadi perhatian PBNU, diantaranya politik kebangsaan, ekonomi dan kesejahteraan, hukum dan keadilan serta kehidupan beragama di Indonesia.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj mengatakan, berbagai peristiwa yang menandai tahun 2016 menunjukkan pudarnya semangat toleransi dan kebhinekaan. Secara politik kebangsaan, lanjut Kiai Said, tahun 2016 diwarnai penonjolan politik identitas yang rentan menggerogoti Pancasila yang menjadi sendi-sendi konsensus nasional.

“Perhelatan politik pilkada DKI dan konflik Timur Tengah dieksploitasi sebagai bahan bakar untuk menyulut benih-benih perpecahan antarelemen bangsa,” demikian Kiai Said di Kantor PBNU jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (30/12/2016).

Kang Said, demikian akrab dipanggil,  juga melihat adanya ketimpangan ekonomi sosial di masyarakat pada kurun waktu 2016. “Kue ekonomi nasional masih dinikmati oleh segelintir orang yang menempati 20 persen teratas dari struktur piramida ekonomi nasional dan 40 persen kelas menengah,” ungkapnya.

Padahal, tambahnya, tidak ada demokrasi tanpa keadilan dan kepastian hukum. PBNU melihat, hukum di Indonesua masih bermasalah baik di tingkat substansi, struktur maupun kultur. Selain itu, menurunnya toleransi beragama di Indonesia, ini dapat meretakkan konstruksi NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

“Gangguan terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan masih kerap terjadi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran. PBNU menyerukan pemerintah dan aparat penegak hukum menindak tegas kelompok intoleran yang melanggar hukum dan juga ketertiban sosial,” tegasnya.

PBNU juga menyoroti peran media sosial. Medsos tidak berperan sebagai arena pertarungan opini yang konstruktif, tetapi justru malah menjadi panggung provokasi fitnah dan kebencian. Polarisasi tersebut melibatkan penggunaan sentimen SARA untuk tujuan politik yang sesungguhnya berbahaya bagi kelangsungan sendi-sendi konsensus nasional.

PBNU mengingatkan semua pihak untuk kembali kepada jati diri bangsa yang mengakui kemajemukan, dalam wadah perjanjian yang diikat dengan semangat Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan adalah tambahan energi untuk melipatgandakan kekuatan, bukan benih untuk menumbuhkembangkan perpecahan.

PBNU juga mengingatkan, bahwa, demokrasi yang tengah dikonsolidasikan sebagai sistem mengalokasikan kesejahteraan publik berpotensi dibajak oleh gerakan fundamentalisme agama dan ideologi fundamentalisme pasar. Kebebasan telah memberikan panggung kepada kelompok radikal mengekspresikan pikiran dan gerakannya yang berpotensi menggerogoti NKRI.

Dunia maya berkembang pesat sedemikian rupa menjadi panggung penyebaran kabar-kabar bohong dan berita-berita palsu untuk mengadu domba antarelemen bangsa dan mengobarkan permusuhan antargolongan.

“PBNU melihat pemerintah masih gagap membangun counter-narrative sehingga radikalisme dapat tumbuh subur di dunia maya. Moderatisme dan toleransi digempur setiap hari oleh tayangan dan konten radikal yang begitu mudah disebar dan viral di media sosial,” katanya.

Maka, PBNU mengimbau kepada netizen untuk bijak dan arif dalam menggunakan media sosial sebagai arena berbagi ilmu dan kebaikan, bukan wahana penyebaran fitnah dan kontes permusuhan. Gerakan digital literacy (melek digital) perlu digalakkan, termasuk melalui instrumen pendidikan formal, agar dunia maya berfungsi konstruktif sebagai agen kohesi sosial.

PBNU juga mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk terus menerus merefleksikan kesepakatan dasar bangsa Indonesia yang mencakup Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Seluruh ikhtiar mengisi pembangunan harus dijiwai dan diorientasikan untuk memperkuat konsensus nasional, bukan malah mempertajam perbedaan.

“Takdir bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk, plural, multietnis dan multiagama, harus disyukuri sebagai berkah untuk saling berlomba memberikan yang terbaik kepada bangsa dan negara, bukan menuntut yang lebih banyak,” demikian isi butir-butir refleksi pemikiran yang diteken Dr KH Ma’ruf Amin (Rais Aam), KH Yahya Cholil Staquf (Katib Aam), Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA (Ketua Umum) dan Dr Ir H A Helmy Faishal Zaini
(Sekretaris Jenderal). (hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry