BUTUH PENJELASAN – Warga NU butuh penjelasan perihal kebijakan Ketua Umum dan Rais Aam PBNU yang dinilai bersinggungan. Ini membuat nahdliyin bingung mengambil sikap. Terutama menghadapi dinamika politik yang mengancam keutuhan bangsa. (FT/duta/muh dan dok)

BUTUH PENJELASAN – Warga NU butuh penjelasan perihal kebijakan Ketua Umum dan Rais Aam PBNU yang dinilai bersinggungan. Ini membuat nahdliyin bingung mengambil sikap. Terutama menghadapi dinamika politik yang mengancam keutuhan bangsa. (FT/duta/muh dan dok)

Media sosial telah membuat kabar yang tertutup menjadi transparan. Termasuk guncangan internal PBNU terkait muktamar Jombang, tak kunjung hilang. Belakangan nahdliyin direpotkan dengan model kepemimpin ketua umum dan rais aam. Satu ‘miring kiri’, satu ‘miring kanan’. Padahal, kalau NU terus gaduh, NKRI bisa runtuh.

HARI-HARI ini, angka 33 menjadi istimewa bagi warga nahdliyin. Pertama, baru saja Nahdlatul Ulama (NU) menggelar muktamar ke-33 di Alun-alun Jombang. Dampaknya masih terasa sampai sekarang.  Kedua, selama dua hari (11-12 Januari 2017) para kiai — yang menolak dengan hasil muktamar Jombang — menggelar halaqah ‘Refleksi 33 Tahun Khittah NU’ di Pondok Pesantren (PP) Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Di tempat ini, keputusan kembali ke khittah-26, ditetapkan.

KH Aziz Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah, Jombang bicara blak-blakan. Demi perbaikan NU, tidak perlu ada yang ditutup-tutupi, toh semua sudah dikupas habis oleh media sosial.

 

Menurut Kiai Aziz, model kepemimpinan Ketua Umum dan Rais Aam PBNU sering membingungkan. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj lebih dekat dengan kelompok nonmuslim, sementara Rais Aam KH Ma’ruf Amin lebih enjoy di MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahkan kelompok Islam keras, seperti FPI (Front Pembela Islam).

“Ketika ada aksi 212 yang dikenal dengan Aksi Bela Islam III.  Peran Kiai Ma’ruf begitu menentukan, sampai sampai warga NU di bawah bingung. Banyak yang tanya kepada saya kapan turun aksi? Saya jawab NU tidak ikut dalam aksi itu. Tetapi saya melihat bukan persoalan ikut atau tidak, justru saya melihat ketidakjelasan sikap Rais Aam dalam ini perlu dipertanyakan. Bahkan saya melihat Kiai Ma’ruf sekarang dekat dengan FPI, enjoy di dalam MUI ketimbang di NU,” demikian disampaikan Kiai Aziz Masyhuri saat menghadiri halaqah ‘Refleksi 33 Tahun Khittah NU’ di Pondok Pesantren (PP) Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo.

Sekarang, menurut Kiai Aziz, warga NU mempertanyakan hal itu. Mereka menyaksikan bagaimana kedekatan Ketua Umum PBNU dengan komunitas nonmuslim. Sampai-sampai namanya dipajang di sebuah papan lembaga pendidikan nonmuslim (di Bandung), seakan-akan dipakai untuk menakut-nakuti orang.

Ini jelas pemandangan yang tidak elok bagi nahdliyin dan harus diluruskan. Belum lagi kiprahnya di Yayasan Peduli Pesantren Indonesia (YPPI) bersama Hary Tanoe. Kalau itu dilakukan sebagai pribadi, tidak sedang menjadi Ketua Umum PBNU, silakan, tidak ada yang melarang.

“Tetapi sebagai Ketua Umum PBNU beban berat yang diterima NU dan pondok pesantren sangat besar. Karena itu, sekali lagi, saya ingin mendengar pendapat dari para kiai dan masyayikh NU bagaimana kita menyikapi semua ini?,” jelas Kiai Aziz.

Menurut Kiai Aziz, semua itu terjadi lantaran ‘bujukan’ politik partisan. Karenanya, tepat, kalau NU mengambil keputusan kembali ke khittah-26, dan tepat pula kalau hari ini dilakukan refleksi.

“Terus terang, bicara PBNU sekarang, saya sangat sedih.  Saking banyaknya masalah, sehingga sulit untuk mengawali, dari mana saya harus menjelaskannya. Semua orang tahu, bagaimana kiprah PBNU ketika dipimpin Kiai Said. Sejak awal sudah saya prediksi bahwa model kepemimpinan Kiai Said akan membuat organsiasi ini bakal semrawut dan banyak masalah,” tuturnya.

Masih menurut Kiai Aziz, pihaknya sudah mewanti-wanti kepada Kiai Said agar serius menjaga khittah-NU. Sejak Muktamar NU ke 32 di Makassar, tambahnya, hati kecil ini sudah menangis.

“Sempat waktu itu, usai muktamar Makassar saya pesan kepada Kiai Said, jangan bikin macam macam di NU kiai, ikuti saja jalan NU yang telah digariskan Kiai Hasyim Asy’ari. Saya masih ingat waktu itu, dan Kiai Said menjawab,  ya… ya…, kiai,” tambahnya.

Tetapi, apa yang terjadi? Sampai sekarang, lanjut Kiai Aziz, ketika kita duduk di sini (halaqah ‘Refleksi 33 Tahun Khittah NU’) keruwetan yang terjadi di NU tak kunjung usai.

“Lalu, kita mau berbuat apa?  Apakah hanya mengkritik Kiai Said, dengan harapan mau berubah? Atau hanya membandingkan gerakan NU sekarang dengan NU tempo dulu?  Lalu mengatakan NU sudah melenceng jauh dari khittahnya? Apa hanya itu yang akan kita lakukan?” tanyanya.

Padahal, tugas NU ke depan sebagai besar. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai penyangga utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus berdiri tegak, sesuai cita-cita para masyayikh, pendiri NU.

Istilah KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, NU harus dikembalikan pada jati diri aslinya, Khittah 26 NU. Tidak boleh ditarik-tarik ke ranah politik. Sekarang ada gerakan menjadikan NU sebagai kendaraan politik, baik pribadi maupun kelompok. Ini berbahaya dan harus dihentikan.

Diakui oleh para kiai, upaya mengembalikan NU pada jalurnya, tidaklah mudah. Membutuhkan kerja keras kiai-kiai pesantren. KH Hasyim Muzadi, yang kini dalam proses penyembuhan di Rumah Sakit Malang, pun berpesan kepada para kiai agar istiqomah dalam perjuangan ini. Jangan patah semangat alias glembosi, karena tugas NU ke depan semakin berat.

“Kiai Hasyim berpesan agar gerakan meluruskan perjuangan NU ini dilakukan dengan istiqomah. NU jangan sampai menjadi kendaraan politik, NU harus dikembalikan kepada semangat khittah 26,” demikian disampaikan Kiai Hasyim kepada para masyayikh yang menjenguknya di RS Malang.

Masalah berikutnya adalah, bagaimana menyatukan kembali seluruh kekuatan NU? Kiai Aziz mengusulkan percepatan Munas Alim Ulama. Forum ini diyakini akan menjadi perekat kembali kekuatan NU.

“Untuk itu, Pondok Pesantren Cipasung siap menjadi tuan rumah dengan segala sesuatunya,” kata sumber Duta yang aktif mengikuti jalannya halaqah ini.

“Apa yang disampai Kiai Aziz ini mendapat sambutan positif. Gus Azaim (KHR Ahmad Azaim Ibrahimy red.) juga setuju Munas Alim Ulama dipercepat, ini untuk memperkuat barisan NU sekaligus mengawal perjuangan NU sebagaimana yang dicita-cita para pendiri NU. Sekarang tinggal menunggu Kiai Ma’ruf Amin selaku Rais Aam PBNU,” lanjut sumber tersebut.

Sementara KH Mohammad Balya Firjaun Barlaman, putra KH Ahmad Shiddiq, Rais Aam Syuriah PBNU 1984-1991, mengatakan, bahwa, penyelamatan organisasi NU saat ini tidak bisa ditunda-tunda. Organisasi para ulama itu, lanjut Gus Firjon, panggilan akrabnya, semakin menjauh dari cita-cita para pendiri NU.

“NU sekarang seperti partai politik. Saya ingat pesan beliau (KH Achmad Shiddiq red.) bahwa rusaknya NU itu dari dalam NU sendiri. Ini terbukti, yang menyeret NU ke kubangan politik juga tokoh NU sendiri. Ini tidak boleh dibiarkan,” tegas Gus Firjon.

Masih menurut Gus Firjon, keinginan para kiai pesantren agar Munas Alim Ulama NU dipercepat, adalah dalam rangka penyelamatan organisasi. Tinggal sejauh mana PBNU menyikapi keinginan para masyayikh ini.

Sementara, Kiai Ma’ruf Amin yang turut hadir dalam halaqah tersebut, tidak menjawab secara pasti. Tetapi, Kiai Ma’ruf menegaskan pentingnya Munas Alim Ulama sebagai pijakan organisasi.

Kai Said Menjawab

 

Soal gabungnya Ketua Umum PBNU, Kiai Said Aqil Siradj ke yayasan yang dipimpin Hary Tanoesoedibjo sesungguhnya sudah dijawab oleh Kiai Said. Begitu juga soal namanya yang menempel di papan lembaga pendidikan nonmuslim, Kristen Dago, Bandung, Jawa Barat.

Kiai Said sendiri merasa sengaja dicari-cari kelemahan dan dibuat fitnah terus menerus supaya nahdliyyin di akar rumput tidak lagi menghormatinya. Termasuk diblowupnya isu makelar tanah di Malang dan foto SMA Kristen Dago tersebut.

Menurut Kiai Said, soal SMA Dago yang beralamat di Jl Ir H Juanda No 93 Bandung, Jawa Barat tersebut, adalah kasus lama. Lokasi Yayasan Badan Perguruan Menengah Kristen Jawa Barat tersebut dulunya dibeli dari lelang tanah negara warisan Belanda.

Namun, di kemudian hari, tanah tersebut digugat oleh pengusaha China kaya raya, dan akhirnya dia menang. Merasa didhalimi, ketua yayasan berinisiatif meminta Kiai Said menjadi pembina, biar mudah menggugat balik karena pengaruh NU yang luar biasa.

Tujuan Kiai Said menerima tawaran ketua yayasan bukan mendukung kristenisasi, tapi mengembalikan hak warga negara, memulihkan hak yayasan agar mereka bisa kembali mencerdaskan anak bangsa dengan proses belajar mengajarnya.

“Intinya, kiai Said di yayasan itu hanya melindungi dan membantu lembaga yang sedang terdhalimi. Apapun suku dan agamanya. Kiai Said sedang melindungi kafir dzimmi, yakni non muslim yang mau hidup rukun damai dengan muslimin,” demikian disampaikan sumber Duta yang dekat dengan Kiai Said.

Sebagaimana ditulis media-media online yang dekat dengan Kiain Said, dibandingkan dengan KH Abdul Wahid Hasyim dan putranya (Gus Dur), kontroversi KH Said Aqil belum ada apa-apanya.  “Gus Dur pernah jadi pengurus Yayasan Simon Peres dan digugat para ulama dan kiai. Tapi buktinya, beliau malah bisa mendamaikan konflik internasional,” demikian tulis KH Luqman Hakim, tokoh sufi murid Gus Dur, di akun twitternya. Abah Gus Dur juga seorang reformis. Ia adalah tokoh NU yang pertama kali menggunakan jas dasi khas pakaian Belanda saat itu, dan diharamkan oleh para ulama (zaman itu). Tapi lihat apa yang terjadi sekarang, jas dan dasi hampir digunakan oleh para kalangan santri dalam acara-acara tertentu, walau sarung masih jadi ciri khas pakaian sehari-hari.“Artinya, KH Abdul Wahid Hasyim, Gus Dur dan KH Said Aqil Siraj, punya strategi jangka panjang untuk menata kehidupan bangsa yang lebih baik. Tindakan Gus Dur nyatanya memang banyak terbukti setelah beliau meninggal. Muridnya, Kiai Said, tentu punya karakter yang sama, reformis, bukan kontroversial,” tulis situs nahdloh.comKasus Intoleran Kian Marak PBNU tidak boleh terus-terusan gaduh. Karena organisasi Islam terbesar di Indonesia ini adalah penyangga utama tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau NU terus gaduh,  NKRI bisa runtuh. Belakangan, sikap intoleransi telah menyusup ke dalam masyarakat, bahkan termasuk birokrasi. Inilah yang pernah disampaikan peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang juga staf khusus Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani. Ia mendasarkan kesimpulan ini dari data intelejen di daerah.

Pramodhawardani mengungkapkan temuan intelejen di daerah menemukan ada Pengawai Negeri Sipil (PNS) yang masuk dalam organisasi massa yang intoleran, menolak Pancasila, dan mendirikan khilafah atau negara Islam.

“Bahkan sampai diceritakan PNS di suatu daerah demo bersama organisasi Islam garis keras ini dan mendapatkan sanksi dari atasannya, tetapi itu hanya sebagian kecil,” jelasnya suatu ketika.

Walhasil, kasus-kasus intoleran kian marak. Ironisnya benturan terjadi dengan mengakat isu SARA. Di Jawa Barat  terjadi kerusuhan di dekat Mapolda Jawa Barat pasca pemeriksaan Habib Rizieq Syihab. Anggota FPI bentrok fisik dengan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI).

Kericuhan ini menyeret nama Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan yang selama ini terkesan ngotot ingin memenjarakan Habib Rizieq. Anton sendiri namanya menempel sebagai Ketua Dewan Pembina GMBI. Hari-hari ini gerakan petisi umat Islam untuk mencopot Anton terus berjalan.

Beda lagi dengan keributan yang terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Sejumlah masyarakat Dayak menghadang Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Tengku Zulkarnain ketika hendak turun dari pesawat. Kericuhan ini membuat umat Islam Kalbar marah.

Ratusan massa yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Kalimantan Barat melakukan aksi long march usai salat Jumat di Masjid Raya Mujahidin Pontianak, Kalimantan Barat. Massa menuju Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. “Kami mengharap ada tindakan tegas dan proses hukum terhadap pelaku (penolakan Tengku Zulkarnain),” kata Iskandar Alkadrie, juru bicara aliansi.

Ketegangan horizontal ini bisa merembet ke mana-mana. Belum lagi dengan isu laten bangkitnya PKI (Partai Komunis Indonesia) serta makin kuatnya gerakan wahabi di bumi nusantara.

“Semua itu bisa ditanggulangi kalau soliditas NU kokoh, dengan syarat memegang teguh khittah,” demikian disampaikan Kiai Aziz Masyhuri. (muh,hud)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry