Oleh: Soetanto Soepiadhy
UTOPIA (“positif”) sebagai tempat atau negara imajiner, di mana segala-galanya sempurna. Thomas More dalam bukunya Utopia, menggambarkan tempat yang nyaman, enak-kepenak dan very prosperous. Begitulah Akhudiat, dalam salah satu pokok pikirannya “Membaca Ulang Sastra” saat orasi kebudayaan Bengkel Muda Surabaya (BMS).
Untuk pertama kali BMS sejak Reborn, menyelenggarakan Bengkel Sastra, 21 Februari 2018 di Selasar Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya. Pembacaan puisi, musikalisasi puisi, deklamasi, performance art, dan orasi kebudayaan, sebagai suguhan yang apik.
 
Apologia Plato
Dalam Bahasa Yunani nama Plato dieja sebagai Platon artinya “yang berbahu lebar”, namun literatur Bahasa Latin dieja menjadi Plato sama halnya dalam literatur Bahasa Inggris dan berbagai bahasa lainnya. Sementara di Indonesia menyebutnya Plato, gara-gara filsafat masuk ke negeri ini lewat Bahasa Belanda, yang memakai kata Plato. Andai ingin mengikuti Bahasa Yunaninya Pla/twn (Platon), dan kalau ingin menyesuaikan diri dengan sebagian besar bahasa internasional di Barat, lebih baik menyebutnya Platon, karena lebih tepat untuk menggambarkan munculnya kata-kata turunan Platonisme, Platonic, Platonis atau Platonisian (Wibowo, 2008: 4-5).
Di dalam buku Apologia ini, Plato melihat Sokrates sebagai figur teladan para filsuf. Ia menunjukkan cara mencapai kebijaksanaan dan kebenaran, serta batas-batas dari pengetahuan manusia. Sokrates juga menunjukkan, bagaimana orang harus belajar untuk berpikir sendiri, dan setia pada nuraninya, walaupun keadaan di sekitar mengancamnya. Tubuh manusia bisa dibunuh dan dihancurkan. Namun, jiwa dan pikirannya tidak akan pernah bisa ditaklukkan.
Plato mengajarkan kita untuk setia pada nurani kita, apapun yang terjadi. Setiap manusia diberikan nurani di dalam hatinya untuk mempertimbangkan berbagai keputusan dalam hidupnya. Seringkali, nurani itu dibungkam dengan berbagai alasan, seperti sifat rakus dan rasa takut. Hidup yang mengkhianati nurani hanya akan berbuah pada kekecewaan. Pengingkaran pada nurani adalah pembunuhan atas jiwa manusia.
Plato juga mengajak kita untuk hidup dengan keberanian. Jika kita sudah mengikuti hati nurani kita, maka kita tidak perlu takut pada hukuman atau tuntutan masyarakat. Kita juga perlu untuk berani mempertanyakan pandangan-pandangan lama yang sudah tidak lagi cocok untuk masa sekarang, walaupun itu membuat banyak orang marah, dan kemudian mengancam kita. Keberanian dan hati nurani adalah satu-satunya jalan untuk sampai pada kebijaksanaan, menurut Plato. Buku Apologia merupakan salah satu tulisan awal dari Plato. Apologia terdiri atas 25 halaman dan memiliki gaya bahasa sastrawi.
 
Negara Idaman
Plato dalam Apologia menjelaskan, bahwa para seniman Athena itu goblok semua, lebih goblok dari penontonnya. Padahal mereka sudah terlanjur diberi kepercayaan dan martabat tinggi. Mereka memang besar mulut dan besar kepala, tapi sebenarnya cuma mengoceh tak keruan saja, serta mengingkari tanggung jawabnya terhadap penggalangan demokrasi yang kuat dan adil.
Masuk akal kalau Plato sampai kecewa terhadap bentuk demokrasi yang ada, lalu memikirkan suatu negara idaman yang berbeda. Kepada para mahasiswa Akademia, Plato mengajarkan apa itu negara idaman.
Apabila dicermati saat membaca Politea, jelas itu Sparta. Negara yang mampu mematahkan kekuatan Athena, dan banyak negara demokrasi  lain. Di situ pula, Plato menandaskan, bahwa seni dan seniman harus memikul tanggung jawab terhadap tegaknya negara yang berlandaskan tujuan hukum, yakni keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.
Banyak kesenian luar yang masuk ke Athena, sehingga membuat gundah dan cemas Plato. Musik baru yang “aneh-aneh” dan membisingkan, yang dapat menggerogoti jiwa bangsa, pada akhirnya menghancurkan negara. Plato menganjurkan musik Doria dan Frigia, yang terbukti mampu menguatkan semangat Sparta. Negara idamannya itu melarang seni merusak cinta tanah air. Intisari Politea, bahwa seni itu harus dapat memecahkan masalah bersama, masalah manusia, masyarakat, bangsa, dan negara, serta masa depannya.
 
Utopia More
Pada tahun 1516 terbit sebuah buku berjudul Utopia karya Sir Thomas More, seorang filosof dan penulis Inggris. Buku yang masuk kategori karya fiksi dalam filsafat politik ini menggambarkan sebuah masyarakat pulau yang serba tertib dan teratur baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama; bebas dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Padahal masyarakat yang nyata tak mungkin seindah itu.
Thomas More (1477 – 1535) merupakan tokoh kontroversial dalam kehidupan dan kematiannya. Ia memulai karirnya sebagai seorang ahli hukum, anggota dewan, dan akhirnya menjabat sebagai Kanselir. More menentang tindakan raja Henry VIII untuk memisahkan diri dari Roma, dan akhirnya dihukum mati karena keyakinannya tersebut. karya besarnya Utopia merupakan salah satu contoh penting dari humanisme selama masa Renaisans. (Pengantar dari buku Thomas More, karangan Anne Murphy).
Utopia merupakan sebuah sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam sebuah kenyataan. Dikatakan sulit dan tidak mungkin, karena sesuatu “itu” hanya berada dalam angan-angan. Misalnya: seorang pemimpin negara mempunyai cita-cita untuk mewujudkan sebuah negara yang adil dan makmur. Namun, untuk mewujudkan cita-cita seperti itu tidaklah mudah dan bahkan tidak mungkin kalau dalam suatu negara terdapat pemimpin-pemimpin yang cenderung konservatif, artinya selalu menentang segala sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan mereka. Atau juga dalam sebuah negara terjadi pergolakan politik. Akhirnya, konsep untuk mewujudkan sebuah negara yang adil dan makmur hanyalah merupakan sebuah konsep utopis belaka.
Sejak zaman filsuf Yunani Kuno Plato, hingga politikus Sir Thomas More, utopia selalu diidentikkan dengan “masa depan yang lebih baik dari saat ini.” Dalam bukunya Republic, Plato menulis bahwa utopia adalah sebuah bentuk masyarakat yang indah, yang dicirikan oleh kesetaraan dan perilaku warga yang damai. Dalam masyarakat ini, musuh sosial (the evil of society) seperti kemiskinan dan kelaparan tidak ada lagi. Sementara itu, More, dalam bukunya Utopia menulis, di pulau impian itu “tidak ada kepemilikan pribadi, barang-barang tersedia di toko dan orang tinggal meminta apa yang mereka butuhkan. Juga tidak ada rumah yang pintunya dikunci, dimana penghuninya dirotasi setiap sepuluh tahun sekali.”
Betullah apa yang dikatakan seorang dalang wayang kulit, yakni nagari panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja tukul kang sarwa tinandur murah kang sarwa tinuku.
Oh, negeri idaman, welfare state, bahkan empowering state ***

*Soetanto Soepiadhy, Staf Pengajar FH Untag Surabaya, dan Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy.
 
 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry