BUKAN YANG PERTAMA – Setelah terbit buku Mahrus Ali – ‘Mantan Kiai NU Menggugat Tahlil, Istighotsah dan Ziarah Para Wali’, kini muncul lagi buku ‘Kyai NU Menggugat Sholat Para Kiai’. Tidak diragukan lagi buku ini sengaja dibuat untuk ‘membenturkan’ warga NU dengan Muhammadiyah. (duta.co/DOK)
BUKAN YANG PERTAMA – Setelah terbit buku Mahrus Ali – ‘Mantan Kiai NU Menggugat Tahlil, Istighotsah dan Ziarah Para Wali’, kini muncul lagi buku ‘Kyai NU Menggugat Sholat Para Kiai’. Tidak diragukan lagi buku ini sengaja dibuat untuk ‘membenturkan’ warga NU dengan Muhammadiyah. (duta.co/DOK)

SURABAYA | duta.co — Kitab Fashalatan KHR Asnawi dikritik habis Kiai Afrokhi Abdul Ghani, mantan A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri. Pengantar buku ini adalah Kiai M Abdul Somad AM Ketua PC Muhammadiyah Kecamatan Jombang dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PD Muhammadiyah Kab Jombang yang disebut sebagai mantan staf pengajar MTs NU Mambaul Maarif, Denanyar Jombang.

“Buku dengan tebal 548 halaman ini diterbitkan oleh Laa Tasyuk Press Surabaya yang, kita tahu memang banyak menerbitan buku dengan tujuan menyerang amaliyah-amaliyah warga Nahdlatul Ulama. Ironisnya, ketika diajak bahtsul masail terhadap amalan yang dipersoalkan, mereka selalu menghindar,” tegas M Rikza Chamami, Alumni Madrasah Qudsiyyah Kudus, kepada duta.co Rabu (04/01/2017).

Menurut Rikza, di era digital seperti ini, informasi, termasuk buku-buku sampah beredar dengan masif.  Ini menjadi tugas para santri untuk meluruskan. Kalau dibiarkan umat menjadi bingung.

“Salah satunya adalah meluruskan kembali Kitab Fashalatan karya KHR Asnawi yang dikritik mantan A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri ini,” tegasnya.

Seperti propaganda penjualnya, toko-muslim.com, buku ukuran: 15,5 cm x 24 cm, ini merupakan koreksi total buku pashalatan dari KH. Asnawi Kudus, yang banyak dijadikan panduan para kiai untuk mengajar tata-cara salat.

Dikatakan, Kiai Afrokhi dulu juga mengajarkan buku ini ketika mengajar para santri, akan tetapi ketika dia belajar lebih jauh Kiai Afrokhi menemukan kesalahan-kesalahan dalam buku tersebut. Karena alasan itu beliau menulis buku koreksi ini tujuannya adalah sebagai nasihat dan berdakwah kepada umat.

Propaganda itu ditutup dengan kesanggupan diskusi. “Jika ada hal yang dirasa kurang pas, insyaallah penulis bersedia untuk berdikusi dengan baik,” jelasnya.

Buku kritik pashalatan ini diberi kata pengantar oleh Kiai M Abdul Somad AM Ketua PC Muhammadiyag Kec Jombang dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PD Muhammadiyah Kab Jombang. Dalam sampul buku itu Kiai M  Abdul Somad AM lebih suka menggunakan mantan staf pengajar MTs NU Mambaul Maarif, Denanyar Jombang.

Penyebutan Ormas Muhammadiyah diduga hanya untuk meramaikan buku tersebut. Ini mengingatkan kita dengan terbitnya buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlil, Istighotsah dan Ziarah Para Wali besutan Mahrus Ali. Buku sinis ini diberi pengantar oleh H Muammal Hamidy, Lc, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur.

Celakanya, dalam sebuah diskusi yang digelar di ruang Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu, Mahrus Ali tidak hadir. Sementara Muammal Hamidy justru mengakui jika dirinya tak paham dan tak menguasai masalah.

Muammal bahkan mengakui ada yang salah dalam menulis kata pengantar. Ia menyontohkan perihal ber-tawassul (berdoa melalui perantara) yang dinilai H Mahrus Ali (penulis buku tersebut) sebagai perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Padahal, para ulama ternama yang menjadi rujukan umat Islam dunia hingga sekarang, termasuk Muhammadiyah, juga pernah melakukannya.

Alumus pertama Jami’ah Islamiyah, Madinah, Arab Saudi itu, akhirnya mengakui jika dirinya salah. Tak hanya itu. Ia pun mencabut keterangan yang ada dalam buku itu dan menganggapnya tidak pernah ada serta menandatangani pernyataan kesalahan tersebut. Selain itu ia mengakui kalau belum membaca seluruh isi buku itu. Padahal, dalam keterangan sebelumnya, ia mengakui kalau sudah membaca semuanya.

Meski buku ‘Mahrus Ali ‘Mantan Kiai NU Menggugat Tahlil, Istighotsah dan Ziarah Para Wali’ sudah dikoreksi, karena hanya berisi adu domba antarsesama umat Islam, toh masih terus diterbitkan. Bahkan kini beredar dengan edisi lebih menyakitkan. Misalnya ada tambahan kalimat ‘Muktamar NI ke-1 di Surabaya menyatakan bahwa selamatan setelah kematian adalah bid’ah yang hina’.

“Mereka ini bingung, tidak percaya dengan amalan sendiri, sehingga merasa perlu menyerang amalan warga NU dengan memanfaatkan mantan kiai NU. Mengapa? Karena sekarang semakin banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang mengikuti amalan nahdliyin, mereka ikut, bahkan memimpin tahlil, istighotsah, ziarah kubur. Mereka dulu bilang bid’ah, sekarang tidak,” jelas Rikza yang juga Dosen UIN Walisongo Semarang. (sov)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry