Oleh: Zulfikar Ardiwardana Wanda, SH, MH
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang diucapkan 11 Januari 2017 lalu kembali merontokkan harapan untuk memunculkan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) dari masing-masing parpol peserta pemilu.
Putusan bernomor 53/PUU-XV/2017 yang dimohonkan Bang Haji Rhoma Irama dan Ramdansyah selaku Ketum dan Sekjen Partai Idaman kembali melegitimasi ambang batas pengusungan capres dan cawapres  (Presidential Threshold) yang termuat dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada perhelatan akbar pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2019 mendatang sebagaimana yang telah dilaksanakan pada tahun sebelum-sebelumnya.
Pasal “angka cantik” ini menentukan parpol ataupun gabungan parpol peserta pemilu harus memenuhi persyaratan minimal 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional pada pemilihan umum legislatif (Pileg), sebelumnya (2014) agar dapat mengantongi tiket untuk mengusung pasangan capres dan cawapresnya secara independen.
Apabila dilacak melalui track record pengujian undang-undang (judicial review) terhadap Presidential Threshold (PT), putusan ini merupakan kali kelima yang secara konsisten mempertahankan keberlakuan PT yang “menurut MK” adalah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari pembentuk undang-undang. Sebelumnya, judicial review terkait penghapusan PT pernah diputus MK pada tahun 2005, 2008, 2009 dan 2013 yang mana semua permohonan para pemohon istiqomah ditolak walaupun diwarnai oleh sejumlah hakim konstitusi yang dissenting opinion.
Urgensinya Penghapusan PT
Menyikapi persoalan PT yang tertuang dalam beberapa Putusan MK yang telah disinggung di atas, setidaknya ada 2 argumentasi atau alasan yang menjadi concern penulis untuk menyatakan perlu dihapuskannya PT dalam perhelatan Pilpres 2019 mendatang, yaitu argumentasi konstitusional (constitutional reasoning) dan argumentasi faktual-politik (political-factual reasoning).
Uraian Pertama dari optik constitutional reasoning, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 jelas secara harfiah menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Jika ditelaah berdasarkan penafsiran dalam risalah perdebatan ketika ketentuan pasal tersebut dilahirkan (original intent) dan penafsiran gramatikal (gramatical interpretation) sebagai metode penafsiran paling awal dan mendasar yang digunakan, jelas disebutkan dalam risalah-risalah persidangan dan teks secara tersurat UUD bahwa setiap parpol atau gabungan parpol yang dalam hal ini memilih untuk berkoalisi dengan beberapa parpol lainnya, dapat mengajukan pasangan capres dan cawapresnya masing-masing apabila parpol yang bersangkutan dinyatakan secara sah sebagai peserta pemilu “sebelum pemilu dilaksanakan”.
Pada muaranya, metode penafsiran ini diterapkan dalam perkara judicial review UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang diajukan oleh Effendi Ghazali beserta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak yang kemudian melahirkan putusan MK No. 14/PUU-XI/2013. Dalam putusan tersebut, MK menafsirkan frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam penyelenggaraan pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak walaupun mulai berlakunya baru dilakukan pada perhelatan Pemilu 2019 mendatang.
Pasca reformasi dan amandemen konstitusi, penyelenggaraan Pilpres dan Pileg dipisah waktu pelaksanaannya melalui UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pileg dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres dengan aturan hukum yang dihasilkan dari “pergulatan dan transaksi politik” di dapur parlemen bahwa dalam perhelatan Pilpres diperlukan adanya PT sekian persen berdasarkan hasil pileg sebagai syarat mengajukan pasangan capres dan cawapres.
Di dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres, prosentase PT ditentukan minimal 15% kursi DPR atau 20% suara sah nasional. Kemudian terjadi politik hukum Pemilu yang digodok oleh pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang melahirkan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (penyatuan UU Pilpres dan Pileg) dimana prosentase PT-nya makin “naik” menjadi 20% kursi atau 25% suara sah nasional.
Namun dengan terbitnya Putusan MK (Nomor 53/PUU-XV/2017) yang menyatukan Pileg dan Pilpres dalam hari yang sama berdasarkan Pasal 22E ayat (1) dan (2) maka secara “logika” tidak relevan lagi apabila masih memberlakukan PT.
Anehnya dalam Putusan MK ini menimbulkan ketidaklogisan dan ketidakpastian hukum dengan menyatakan dalam ratio decidendi-nya bahwa terkait prosentase PT merupakan opened legal policy dari pembentuk undang-undang. Dalam putusan tersebut juga dinyatakan bahwa Pemilu serentak baru baru mulai diberlakukan pada Pemilu tahun 2019 mendatang yang turut membuka ruang perdebatan dan polemik atas ketidakpastian hukum di lintas kalangan. Barangkali timbul pertanyaan dimana letak ketidaklogisan dan ketidakpastian hukumnya?
Ketidaklogisannya adalah tidak mungkin bisa seketika diketahui prosentase PT dalam perolehan kursi di DPR atau suara sah nasional yang dipersyaratkan kepada masing-masing parpol peserta pemilu karena untuk menentukan prosentasenya membutuhkan proses dan waktu yang tidak bisa beberapa jam atau sehari selesai padahal Pileg dan Pilpres dilaksanakan pada hari dan waktu pencoblosan yang bersamaan. Untuk “mengakali” kemustahilan itu, pembentuk undang-undang melalui UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang kemudian semakin dikukuhkan kekuatan hukum mengikatnya dengan Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 menentukan bahwa prosentase PT yang digunakan pada pencoblosan Pilpres 2019 harus merujuk hasil pileg 2014 yang lalu.
Acuan hasil pileg 2014 untuk dijadikan ketentuan PT pada pilpres 2019 sangatlah tidak relavan karena sudah pernah digunakan pada perhelatan pilpres 2014 silam. Kalau boleh dikatakan hal itu menjadi barang yang sudah “basi” untuk dijadikan patokan lagi di Pilpres periode berikutnya karena selain sudah pernah digunakan dalam pilpres periode sebelumnya, juga terjadi dinamisasi peta dan kekuatan politik yang tentunya mengalami perubahan dan perkembangan pasca Pemilu 2014.
Hal yang lebih ironis, penggunaan PT berdasarkan hasil pileg 2014 jelas menciderai, mengebiri dan mereduksi hak-hak konstitusional (constitutional rights) parpol baru atau lama yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu tahun 2019 tapi tidak memiliki prosentase PT yang ditentukan oleh UU Pemilu. Pengusungan Pasangan Capres dan Cawapres yang hanya diperuntukkan kepada parpol peserta pemilu yang memperoleh PT yang dipersyaratkan pada Pileg sebelumnya menciptakan ketidakadilan dalam kompetisi ajang demokrasi serta bertentangan dengan roh dan spirit konstitusi.
Berdasaran kerangka Pasal 6A ayat (2) UUD, semestinya parpol lama maupun baru yang telah dinyatakan lolos verifikasi administrasi dan faktual serta telah dinyatakan secara resmi sebagai peserta pemilu oleh KPU dapat mengajukan sendiri pasangan capres dan cawapresnya tanpa harus ditorpedo oleh ketentuan undang-undang yang merupakan “akal-akalan dan pemelintiran” konstitusi oleh para elit politik dan penguasa dalam merumuskan kebijakan politik hukum pemilu.
Tafsiran MK
Terkait opened legal policy yang telah disinggung di awal pembahasan di atas, apabila dicermati ratio decidendi dari beberapa Putusan MK yang memuat tentang ketentuan threshold sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat diakumulasikan 4 unsur, yaitu: 1) penentuan threshold merupakan legal policy; 2) threshold tersebut tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang; 3) menentukan threshold bukanlah penyalahgunaan; dan 4) threshold tidak melanggar ketentuan konstitusi. Lebih lanjut, dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dijelaskan bahwa norma terkait ketentuan PT telah mendapatkan kewenangan delegasi dari UUD 1945 kepada pembentuk undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam  Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang intisarinya bahwa tata cara dan ketentuan lebih lanjut pelaksanaan Pilpres dan Pemilu diatur dengan undang-undang. Ketentuan opened legal policy terkait PT lebih spesifik lagi termaktub Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan ketentuan pasal persyaratan perolehan suara parpol sebagai syarat mengajukan pasangan capres/wapres merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dengan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945.
Namun tafsir dan penjelasan MK tentang opened legal policy PT bukan suatu hal mutlak. Putuasn MK sangat dimungkinkan dapat mengalami pergeseran penafsiran dan arah argumentasi hukum berdasarkan situasi dan kondisi serta perkembangan pemikiran dari para hakim konstitusi yang menyidangkan di kemudian hari kelak. Pembalikan logika dan argumentasi tersebut sangat bergantung dari formulasi rasionalitas hukum pemohon. Menurut Fajar Laksono, arah pembalikan argumentasi hukum Putusan MK bisa saja mengalami pergeseran seandainya pemohon mampu meyakinkan para hakim konstitusi dengan melakukan dua hal. Pertama, membuat uraian logika hukum guna meyakinkan bahwa PT mengandung unsur pelanggaran kriteria opened legal policy yang ditentukan oleh MK sendiri. Dalam hal ini, pemohon harus dapat membuktikan atau mendalilkan bahwa norma PT yang dimohonkan secara nyata bertentangan dengan konstitusi. Apabila satu saja terlanggar, maka norma PT kehilangan syarat agar norma opened legal policy. Kedua, mendekontruksi makna opened legal policy yang selama ini menjadi landasan yurisprudensi MK dalam artian pemohon merumuskan makna baru atas opened legal policy tersebut agar MK dapat mengamini argumentasi perihal makna baru yang didalilkan pemohon.
Dari dua dalil yang dikemukakan oleh Fajar Laksono di atas, penulis berpendapat bahwa tafsiran dan formulasi makna opened legal policy terkait PT yang dirumuskan dan selalu dijadikan yurisprudensi oleh MK dalam menjatuhkan putusannya kurang tepat dan inkonsitusional. Mengapa? Apabila kita telaah secara logika hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka dapat dijelaskan bahwa tidak mungkin PT yang digunakan sebagai acuan prosentase dalam pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh masing-masing parpol peserta pemilu bisa dilakukan karena pelaksanaannya dilakukan serentak di hari dan waktu yang sama terlepas dari kebijakan penggunaan hasil pileg pemilu sebelumnya yang dijadikan patokan.
Terkait pergeseran dan pembalikan argumentasi hukum perihal PT, berdasarkan teori dan praktik yang terjadi di dunia peradilan selama ini dalam sistem common law, penyimpangan terhadap doktrin stare decicis dapat dimungkinkan terjadi apabila yurisprudensi yang dijadikan sumber hukum utama tidak lagi relevan dalam hal terdapat alasan-alasan faktual-kontemporer dan perkembangan zaman yang secara rasio dan kemasyarakatan perlu untuk diubah serta disesuaikan yang dikenal dengan istilah distinguishing. Sedangkan di dalam sistem civil law, peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting dalam sumber hukum di atas kebiasaan dan yurisprudensi.
Dalam konteks perjalanan sejarah putusan MK di Indonesia, pada praktiknya pernah terjadi dimana Putusan MK yang ternyata tidak final dan mengikat dalam perkara judicial review terkait pelaksanaan pemilu dimana terdapat perbedaan amar putusan dan tidak konsisten antara Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan pemilu serentak dengan Putusan MK Nomor 51-52-39/PUU_VI/2008 yang menolak pileg dan pilpres dilaksanakan serentak.
Fenomena tersebut terjadi karena terdapat ketidakselarasan penafsiran konsitusi yang dituangkan dalam ratio decidendi antara hakim konstitusi antar periode dalam menjatuhkan putusannya. Alhasil,sifat Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tidaklah mutlak sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena tergantung atas perkembangan pemikiran dan penafsiran hukum yang berbeda antar hakim konstitusi dengan melakukan distinguishing sebagaimana yag telah disinggung di atas berdasarkan sistem common law.
Atas dasar fenonema hukum tersebut, MK tidak perlu bersikukuh berpegang pada yurisprudensi terkait norma PT sebagai opened legal policy apabila nyata-nyata terdapat kekeliruan penafsiran dan logika hukum yang teedapat dalam Putusan MK sebelumnya yang pada hakikatnya menciptakan putusan yang inkonstitusional yang dibuat MK sendiri.
Dan argumentasi kedua yang menjadi argumentasi terakhir penulis, berdasarkan polical-factual reasoning, ratio decidendi MK yang menyatakan bahwa PT merupakan instrumen yang dapat menstabilkan dan memperkuat roda pemerintahan tidaklah menjadi jaminan. Di era pemerintahan Presiden SBY jilid 1 yang hanya didukung oleh 5 partai (Partai Demokrat, Golkar, PBB, PKS dan PKPI) dalam koalisi kerakyatan terbukti stabil dalam menjalankan agenda pemerintahan di awal pemerintahannya. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan peta politik terkait dukungan relasi antara eksekutif dan legislatif.
Embrio-nya ketika Wakil Presiden Yusuf Kalla terpilih dan menjabat sebagai Ketum Partai Golkar dalam Munas VII di Bali yang otomatis membuat Partai Golkar memutar arah jarum kompas ke koalisi kerakyatan sebagai mitra koalisi pemerintah yang awalnya berada di area koalisi kebangsaan sebagai oposisi. Pada perkembangan selanjutnya, koalisi kerakyatan menjadi semakin gemuk dengan mengempisnya koalisi kebangsaan dimana partai-partai yang ada di dalamnya (PAN, PPP, PBR, PKB dan Partai Pelopor) turut hijrah ke koalisi kerakyatan. Dengan demikian koalisi kerakyatan menjadi lebih dominan dengan didukung 10 partai di dalam pemerintahan. Sedangkan koalisi kebangsaaan yang makin gembos pasca ditinggalkan sekutunya secara berjamaah tetap memainkan perannya selaku oposisi.
Lebih lanjut di era pemerintahan Jokowi pun juga mengalami hal yang sama. Pada mulanya Jokowi hanya didukung oleh PDIP, PKB, Partai Hanura, dan PKPI yang tergabung dalam koalisi Indonesia Hebat (KIH)  Namun seiring berjalannya waktu KIH makin gemuk setelah bergabungnya PPP, PAN dan Golkar yang meninggalkan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai koalisi pengimbang besutan Prabowo Subianto.
Praktis koalisi pemerintah (KIH) yang awalnya hanya terisi 208 dukungan kursi di DPR membengkak menjadi 386 kursi yang mendukung pemerintah setelah turut bergabungnya tiga parpol oposisi tersebut. Salah satu faktor penyebab terjadinya fenomena politik tersebut karena kepiawaian dan parpol mitra pemerintah dalam membuka ruang komunikasi politik pada parpol-parpol koalisi oposisi untuk turut bersama-sama mendukung dan berpartisipasi dalam mewujudkan agenda politik pembangunan nasional.
Dengan berkacamata dengan dinamisasi politik di atas, maka tanpa adanya prosentasi PT 20% pun di dalam parlemen tidaklah dapat dikatakan bahwa jalannya roda pemerintahan akan tersendat secara politis. Dengan diawali dukungan parpol minoritas di DPR pun dapat memperkuat roda pemerintahan tergantung kepiawaian presiden merangkul parpol oposisi sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ini.
Lebih jauh, menurut feri Amsari, angka PT yang tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu merupakan angka politik “sesaat” yang hanya akan menguntungkan calon petahana. Pihak-pihak semacam ini penulis sebut sebagai golongan “Status Quo”. Status Quo yang penulis maksud disni adalah pihak-pihak yang tetap menginginkan dan mempertahankan situasi politik yang tidak berubah sesuai dengan kepentingannya sehingga oligarki pun menjadi keniscayaan atau setidak-tidaknya potensial terjadi.
Apabila hal ini tetap dibiarkan terjadi maka pemerkosaan hak-hak konstitusional parpol yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu namun tidak memiliki peluang untuk turut mengucung pasangan capres dan cawapresnya sendiri karena dijegal aturan PT 20% di dalam UU Pemilu yang kemudian mendapat legitimasi konstitusional melalui putusan MK.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, Putusan MK merupakan wujud dari logical fallacy yang berdampak menjadi keuntungan politis bagi golongan status quo dan turut memberikan ruang bersarangnya oligarkis pada parpol-parpol besar yang telah menikmati kekuasaan.
*Zulfikar Ardiwardana Wanda, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum dan Ketua LKBH Universitas Muhammadiyah Gresik & Pengurus APHTN-HAN Jawa Timur

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry