Oleh: Suparto Wijoyo*
KITA sedang melintasi pekan awal 2018 yang tengah  menyajikan banyak misteri untuk disongsong menjadi sebongkah kisah bagi siapa saja. Tahun 2017 berlalu sambil menabuh bertalu-talu degub kencang yang mencengang.  Jiwa rakyat disuguhi buncahan fakta dengan kelindan yang sangat berbelah. Para pengemban amanat menselancarkan diri melalui gelombang yang direka untuk memenangkan pertarungan.
Rakyat diburu dengan beragam pungutan atas nama negara. Pajak dan kenaikan harga disetel dengan biaya ikutan yang membuat warga kebanyakan biaya’an. Pertumbuhan ekonomi dilansir melalui angka-angka yang diujarkan dengan percaya sebagai penanda bahwa kesejahteraan sosial sedang dihelat oleh negara hebat.
Gerai-gerai yang tutup dianggap giliran dari seleksi alam (natural selection) yang biasa diajarkan Charles Darwin (1809-1882) dalam karya pujaan kaum materialis The Origin of Species yang dipublikasikan tahun 1859. Tutupnya toko-toko konvensional diatributi karena maraknya bisnis online, dan bukan diakibatkan rontoknya “daun-daun keperkasaan” negara. Kelambu pemberitaan diselimutkan penuh kebaikan dengan kinerja super sambil menunjukkan rasa hormatnya kepada para pembuat  sandal jepit serta kaus santai pedagang kaki lima.
Semua yang diunggah hanyalah yang berkesejatian bagi kekuasaan yang sedang melakonkan diri penuh makna. Para pendukung terus berlari semburat membanjiri jalanan “media massa” agar arus lalu lintas berita terkontrol dalam ejaan yang disepekati tuannya. Para pengkritik digiring memasuki “lahan parkir” dengan perintah tunggal “silakan istirahat di tempat”.
Tahun 2018 adalah areal “pertempuran citra” yang mesti dimenangkan dan Ormas diberi kelambu sambil disodori program tentang “aset negara” yang hendak “disedekahkan”. Pembagian sertifikat lahan perhutanan sosial maupun sejurus gerakan reformasi agraria dijadikan “amunisi yang memabukkan” tanpa jeda. Inilah potret kendali wewenang hukum yang dipentaskan dengan mengajak para “pengagum”  tertegun tanpa mampu beranjak.
Lorong waktu 2018 tersorot sedemikian membentang hamparan “bercocok tanamnya” untuk menggarap “sawah kenegaraan” agar tetap dalam genggam di 2019. Perjalanan tahun ini semakin kentara warna-warni “pembatasan demi ketenangan nasional” melalui klaim sepergolongan. Kata sakti yang mengkristal dalam ajaran Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI dikavling milik sang penyuara lantang dengan hak milik privatnya, sambil menuding yang tidak sehaluan adalah “sang haram jaddah”. Setiap jengkal teritorial kedaulatan  diawasi dengan sodokan: “sampeyan itu liyan”, anti kemapanan.
Tahun 2018, deret waktunya penuh tanda tanya dengan bekal pengalaman narasi kegelisahan dari yang berdimensi ideologis, ekonomi, Hankam, sampai ekologis. Bencana hidrometeorologi yang berupa panjir, tanah longsong dan angin puting beliung mendominasi lembar cerita 2017. Khalayak menyaksikan adanya gelegak penderitaan seperti dilansir BNPB dalam mengawali 1 Januari  2018.
Di hari pertama 2018 itu diumumkan bahwa tahun 2017 merekam kejadian, 2.341 bencana dengan liputan yang mencakup: 787 banjir, 716 puting beliung, 614 longsor, 96 kebakaran hutan dan lahan, 76 banjir-longsor. Bahkan gempa terekam mengguncang Indonesia sebanyak 6.929 kali. Bencana ini menyebabkan 377 orang menghadap Tuhan lebih cepat, 1.005 terluka, dan 3,5 juta rakyat mengungsi. Rumah luluh lantak tercatat 47.442 buah dan terendam air sehitungan 365.194 buah. Ribuan fasilitas umum lainnya juga rusak.
Gunung Agung di Bali tidak mau ketinggalan  berpartisipasi “meramaikan perayaan” memungkasi 2017 dan jelang tahun 2018 sambil “mengajak penuh bangga” Gunung Sinabung. Lelehan lahar dan lava mengular membentuk format peneguhan keberadaan saluran kali sekitarnya. Triliunan rupiah “musnah” akibat  bencana. Kedua gunung itu belum ada “janji untuk berhenti” menyapa negeri, karena ia sesungguhnya sedang menumpahkan “materi pupuk gratis” tanpa subsidi APBN-APBD.
Kontribusi nyata “pemenuhan cadangan zat penyubur tanaman” yang diberikan Gunung Agung dan Gunung Sinabung, amat mendera dada yang kian sesak oleh nestapa yang angka-angkanya terurai jelas. Angka-angka yang dirajut institusi negara untuk mampu dibaca melalui kebijakan menjadikan bencana sebagai anugerah asal semua “ditirakati kanti bersihnya hati”. Angka-angka  itu pun bukanlah lukisan statistikal dan laporan pertanggungjawaban BNBP semata, melainkan sebuah raungan  yang menjeritkan hati tentang derita yang dirasa.
Dalam lingkup inilah hadirnya jiwa-jiwa pamer kuoso, adigang-adigung adiguna sambil selfie rumongso biso, mesti dipungkasi.  Suara sunyi penanda menep’e ati yang biso ngrumangsani (biso rumongso) harus dicahayakan kembali.  Ingat cahaya ingatlah pula QS Al-Nur (24) ayat ke-35: Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah ibarat misykat. Dalam misykat itu ada pelita. Pelita itu dalam kaca. Kaca itu laksana bintang berkilau. Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun yang bukan di timur atau di barat. Yang minyaknya nyaris menyala dengan sendirinya, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah menuntun kepada cahaya-Nya, siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh Allah mengetahui segala.
Jutaan buku permaknaan atas ayat itu dapat disusun dengan bermiliar-miliar halaman, tetapi hikmah terhadapnya tidak akan sanggup direkam sempurna. Mencari cahaya-Nya adalah jelajah panjang kehidupan dan Hujjatul Islam Abu Hamid, Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi Al-Naysaburi, Al-Faqih Al-Shufi, Al-Syafi’i, Al-Asy’ari (450-505H), telah menuliskan ilmunya secara khusus dalam kitab Misyakat Al-Anwar, Misykat Cahaya-cahaya yang terus dicetak ulang. Dalam kitab agung  Sang Imam ini, misykat adalah ceruk, lubang yang masuk ke dinding, tetapi tidak tembus sampai ke sebelahnya yang lain, guna meletakkan pelita. Di tahun 2018 ini kuhantarkan seruan meruhanikan misykat itu dalam hati yang menjadi sumbu cahaya-Nya agar hidup ini teguh bertauhid, memanggul iman-Mu ya Rabb.
 
* Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry