Oleh: Suparto Wijoyo*
KHUSUF KULLI, gerhana bulan total yang umum menyebutnya super blue blood moon, Rabu malam (Kamis), 31 Januari 2018, terarak melalui gerhana bulan sebagian demi sebagian (khusuf juz’i). Kejadian yang sangat fenomenal. Pertunjukan adikuasa Tuhan.  Peristiwa Illahiyah ini mengingatkan saya atas orasi peradaban Kanjeng Nabi Muhammad saw usai Salat Gerhana seperti diriwayatkan muttafaq’alaih: “Sesungguhnya matahari dan bulan itu dua tanda dari banyak tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari dan bulan bukan karena hidup atau matinya seseorang. Karena itulah, apabila kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, laksanakanlah Salat Gerhana, dan bersedekahlah”.
Sebuah khotbah  yang sangat menakjubkan dari Rasulullah saw yang pada waktu itu, Ananda Beliau, Ibrahim, wafat saat gerhana bulan, yang dalam mitos-mitos jahiliyah selalu mengualifikasi realitas gerhana berkaitan dengan “kelahiran maupun kematian seseorang”. Ajaran Nabi Muhammad saw menyembul sebagai alas demitologi dengan gerakan: doa, salat, takbir, dan sedekah. Nyaris bahwa peristiwa gerhana menjadi media “merayakan iman” dan sains tampil untuk menepis mitos-mitos “betara kala nguntal rembulan”. Degub iman niscaya merasakan  “kuatnya pesan gerhana” dalam menggedor nurani kesadaran betapa kecilnya “manusia” di banding tatanan galaksi yang melintasi semesta.
Peristiwa khusuf kulli mendudukkan posisi penting ilmu dengan pekabaran dari BMKG yang bersahutan di musala, masjid, surau, langgar-langgar kampung, semua semarak menyambut super blue blood moon. Perubahan laku masyarakat muslim amatlah membanggakan. Sungguh menggugah sepergugahan dengan gempita publik waktu  menyaksikan Gerhana Matahari Total (GMT), Rabu, 9 Maret 2016 dulu itu.   Berbagai media massa menyuguhkan  pemberitaan yang mengesankan dalam keseimbangan kosmologis yang mengagumkan. Tontonan spektakuler  ‘dianggit’ dalam lingkar yang sangat teologis sekaligus amat saintifik. Tuhan dihadirkan dengan fenomena gerhana yang membuncahkan harmoni astronomis, religi, dan keilmuan secara komprehensif.
Rakyat dunia merayakannya dengan penuh antusiasme tanpa batas kebangsaan maupun kenegaraan. Istilah ini menjadikan ‘wangsa’ manusia memahami pembelajaran dari Tuhan melalui “festival gerhana”. Paparan ini meski tampak hiperbolik, tetapi tetap,  dalam bahasa ideologi negara, sangat Pancasilais.  Khusuf kulli memiliki dimensi religius dan ideologis, bukan semata urusan astronomi.
Itulah  pesan yang mesti ditangkap oleh negara agar setiap peristiwa gerhana diterima dan dikelola sebagai  “ayat-ayat Tuhan” yang melahirkan daya saing bangsa. Khusuf kulli  bukanlah “rahasia negara” sebagaimana pernah dialami bangsa ini waktu GMT  11 Juni 1983,   di mana negara “menyembunyikan” GMT saat itu dengan menggiring secara kolosal agar rakyat tidak menikmatinya secara langsung. Padahal di Borobudur,  Tanjung Kodok Lamongan, dan beberapa tempat di Indonesia pada era itu berkumpul sederetan ilmuwan, para astronom, klimatolog maupun meteorolog dari berbagai negara: Amerika Serikat, India,  Jepang, Inggris, Jerman, dan sebagainya untuk meriset kejadian yang menghias jagad raya. Justru dengan GMT, Tuhan membuka akses kuasa-Nya.
Kini  telah  lahir generasi melek informasi dan teknologi. Khusuf kulli pun ditunggu dan disambut sebagai bagian dari sesi pengembangan sains dan iman. Khusuf kulli sejatinya bukanlah fenomena tunggal yang hanya boleh dinikmati oleh sebagian ilmuwan. Gerhana  memberikan ruang pembelajaran kolektif setiap insan  untuk menghayatinya.  Dalam hal ini negara sewajarnya membuka ruang fasilitasi penelitian maupun sekadar persaksian  sebagai cara untuk memanen kemewahan alam Indonesia yang diberi oleh Tuhan kesempatan untuk menyaksikan khusuf kulli dengan sempurna. Super blue blood moon dalam konteks ini haram diabaikan karena tidak semua hamparan perbumian  ini dapat memetik “perjumpaan galaksi” antara matahari, rembulan, dan bumi yang “saling menyapa” dengan menghadirkan gelap sesaat.
Kegelapan itu  dapat dipahami pula oleh para budayawan untuk menggali keunikan kultural rakyat. Dalam lingkup ini negara juga harus menyapa  gerhana sebagai fenomena budaya yang harus dikemas dengan mengembangkan laku sosial budaya. Tradisi  tetabuhan yang setiap ada gerhana pernah diusung oleh leluhur tak apalah dikumandangkan kembali untuk memberi penanda bahwa ada gerhana bulan. Ingatan publik pasti masih membersitkan bagaimana perabot tradisional semacam lesung, alu, tempeh, kentongan, trutukan, dan lainnya ditabuh dengan irama yang sangat ritmis sehingga membangun suasana magis hening. Pada tataran inilah kekegalapan dari khusuf kulli adalah saat jeda yang menghadirkan kekuatan Tuhan perpadu dengan  iman manusia agar bergegas Salat Gerhana. Betapa indah dan eksotiknya nuansa ini kalau dikelola  sebagai kekayaan sosial-budaya yang tidak ternilai sumbangsihnya dalam memperteguh iman warga.
Khusuf kulli benar-benar  “kuliner astronomi” yang  memuaikan diri sebagai fenomena ekonomi yang berbalut ekoturisme. Berbagai agenda  yang menyeruakkan geliat ekonomi dengan pendekatan ekologi secara terpadu telah dapat dirasakan gemuruhnya. Gerhana selayaknya disuguhkan sebagai destinasi yang  menyedot wisatawan dari belahan dunia. Kesanggupan para penyelenggaran negara untuk terlibat aktif sangat dibutuhkan. BUMN-BUMD dan dunia usaha mesti cekatan menyambutnya dalam pengelolaan perekonomian nasional. Di sinilah ketanggapan pemimpin  untuk mengelola gerhana menjadi sangat dibutuhkan.
Jadikanlah khusuf kulli  menjadi wahana diplomasi yang mempererat bangsa-bangsa bilamana momentum gerhana  diagendakan  penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional.  Gerhana digelorakan sebagai bekal diplomasi yang membuka keluasan ruang Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan dunia Islam yang masih berserakan. Terdapatlah pemahaman baru bahwa khusuf kulli yang pada mulanya adalah persoalan alam yang sangat astronomis, ternyata  dengan keberadaan “manajemen gerhana”, dapat menjadi  energi daya saing bangsa yang multiperspektif: ekonomi, ekologi, kuliner, wisata, maupun sosial budaya yang berimplikasi pada peningkatan  kesejahteraan rakyat.
Akhirnya kita semua menyadari bahwa gerhana  memang  dapat dikembalikan sebaga fenomena teologis  yang dalam ajaran Islam  menghadirkan laku ritual massal: Salat Gerhana yang disunahkan. Pada titik inilah gerhana bulan dan matahari memiliki posisi supremasi  secara ideologis. Semaju apa pun zaman kita,  tetaplah bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana  sila pertama Pancasila. Mari menuang syukur atas kreasi  Tuhan Yang Maha Agung.
* Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry