Arif Fathoni SH, Direktur Formacida Jatim

Indonesia adalah negara dengan masyarakat majemuk karena perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Namun kemajemukan itu dipersatukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah perjalanan panjang Bangsa Indonesia sehingga menjadi NKRI penuh pengorbanan darah dan air mata. Namun kini NKRI ini seakan mulai terkoyak. Kemajemukan itu seolah menjadi ancaman serius menyusul mulai lunturnya semangat kebangsaan. Lantas bagaimanakah untuk merawat kebangsaan sebagai negara yang berbhinneka? Berikut penuturan Direktur Forum Masyarakat Cinta Damai (Formacida) Jawa Timur, Arif Fathoni SH.

PILKADA DKI Jakarta seolah membuka mata kita sebagai sebuah bangsa, betapa kebangsaan kita tengah terkoyak? Menurut Anda?

Disadari atau tidak, Pilkada DKI Jakarta telah mengingatkan kita sebagai sebuah bangsa. Apa yang terjadi di hari ini merupakan lampu kuning kebangsaan. Artinya bangsa ini bisa saja tinggal menjadi sejarah.

Indikasinya?

Lihat saja, masyarakat kita sekarang gampang curiga, mudah terprovokasi hingga melakukan persekusi. Bukankah sikap semacam itu bukan identitas bangsa ini. Padahal jika kondisi itu terus dipertahankan bisa merontokkan nilai-nilai kebangsaan.

Bangsa kita harus mulai mewaspadai ancaman dua arah, yakni internal dan eksternal dalam berbangsa. Ancaman internal yakni kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinnekaan dan kemajemukan serta tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal.

Sedangkan ancaman eksternal, adanya pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dan persaingan antar bangsa yang semakin tajam. Ditambah permasalahan kapitalisme yang bisa dibuktikan dengan kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional

Bukankah Bangsa Indonesia memiliki pondasi yang kuat? Lantas apa masalahnya?

Memang pondasi besar Bangsa Indonesia berupa keberagaman yang tertuang dalam Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928. Dimana dalam keberagaman itu telah mengikrarkan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa, dalam satu Indonesia. Itu memang telah menjadi fondasi yang kuat dalam fase-fase bernegara kita. Namun harmoni dalam kebangsaan itu bisa saja runtuh jika tidak dibarengi oleh rasa yang satu dalam bernegara.

Dengan kondisi seperti yang anda uraikan di atas, apakah tidak ada upaya antisipasi yang  bisa dilakukan? Terutama oleh para pemimpin di negeri ini?

Saya ingatkan, harmonisasi berbangsa itu bisa terus terawat jika pemerintahnya mampu menfasilitasi. Misalkan saja, pemerintah mau tidak mau harus mendorong pada semua elemen bangsa ini untuk melakukan rembug atau silaturahim nasional antar elit. Karena disadari atau tidak kekisruhan yang terjadi saat ini akibat persoalan elit domestik yang ‘dimanfaatkan’ asing dengan ‘memanfaatkan’ kelemahan bangsa ini yang mulai mudah dipecah belah.

Dengan posisi seperti itu apa yang semestinya dilakukan pemimpin atau  dalam hal ini tepatnya Presiden?

Presiden harus mewaspadai politik dunia. Di era globalisasi ini keniscayaan tidak bergaul dengan komunitas dunia. Hanya saja Bangsa Indonesia harus berusaha memposisikan sejajar dengan bangsa lainnya di dunia, bukan menjadi sub ordinat dari bangsa lain.

Caranya?

Dengan mempraktikkan konsep Trisakti Bung Karno, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.

Dalam hal kemandirian politik misalnya, Soekarno telah berhasil memperjuangkan Pancasila sebagai kemandirian Bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi negara sendiri. Sedangkan dalam politik luar negerinya, Soekarno menerapkan politik bebas aktif di mana tidak berpihak pada salah satu blok dunia, sosialis atau kapitalis, namun ikut proaktif dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia.

Sedangkan dalam hal kemandirian secara ekonomi ditegaskan Soekarno, bahwa lebih baik potensi sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk mengelolanya. Bung Karno menolak eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan asing.

Dan terakhir kemandirian sosial budaya, Soekarno secara tegas menolak budaya asing, padahal secara natural suatu bangsa tidak dapat mengisolasi diri dari pengaruh asing.

Apakah ketiga konsep di atas menurut anda telah berhasil diwujudkan?

Belum

Kenapa?

Karena rakyat kita tidak sepenuhnya punya trust pada pemimpinnya. Ingat ya bangsa kita ini bisa besar  kalau kepercayaan pada pemimpinya begitu besar. Dan satu lagi kuncinya, yakni ada di semangat gotong royong. Bung Karno bilang, negeri ini hanya bisa dibangun dengan gotong-royong. Dan dalam kondisi seperti inilah Formacida berusaha hadir. Dan Alhamdulillah sejak berdiri pada 2011 lalu non governmental organization (NGO) Formacida ini telah menjadi tempat berhimpun orang-orang yang masih memiliki komitmen terhadap NKRI ini tetap utuh.

Kalau boleh tahu orang-orang yang memiliki komitmen itu terdiri dari siapa saja? Mungkin dari sisi profesi misalnya?

Anggota Formacida terdiri dari banyak golongan, mulai  pengajar, pengusaha, hingga politisi. Dan mereka-mereka ini berusaha menguatkan kembali nilai-nilai nasionalisme generasi muda yang mulai mengalami degradasi moral kebangsaan pada era globalisasi ini.

Bentuknya?

Seperti menyelanggarakan seminar, focus discussion, juga penulisan artikel. Khusus untuk seminar, yang mengundang 100 orang itu kita tidak muluk-muluk, berharap 10 orang yang hadir semakin mantap mengembangkan nilai-nilai kebangsaan.

Terakhir harapan anda ke depan agar sikap kebangsaan generasi muda ini bisa tumbuh dan tetap terawat demi keutahan NKRI?

Kuncinya agar anak-anak muda tidak kehilangan semangat cinta tanah airnya, maka pemerintah harus terus memupuk kesadaran berbangsa dan menumbuhkan rasa cinta tanah air melalui kurikulum pendidikan dan juga kewajiban menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum masuk kelas, sehingga anak-anak muda kita masih punya rasa bangga terhadap tanah air yang dimerdekakan dengan harta, nyawa, dan darah oleh para pendahulunya.  (tri suryaningrum)

 

Dunia Aktivis Adalah Pilihan

DI BAWAH Bendera Revolusi, buku semi biografi Bung Karno yang dibacanya sejak duduk di sekolah dasar (SD) inilah yang membentuk seorang Arif Fathoni. Tanpa disadari doktrin kebangsaan terbangun dan meresap dalam sanubari dan pikirannya, hingga semakin mendapatkan tempatnya ketika menjadi aktivis mahasiswa.

Sebagai Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, Toni, begitu dia biasa disapa, menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan adalah hal yang wajib dilakukan. Dan bapak dua putra inipun mantap menyebut dirinya  sebagai ‘Anjing Penjaga NKRI’ dan tak keder dituding sebagai golongan ultra nasionalisme dengan faham nasionalisme yang diterapkan secara berlebihan.

Karena baginya, dengan kondisi bangsa yang mulai terkoyak ini, faham itu sah untuk diterapkan dalam diri tiap orang yang merasa hidup dan makan di negara yang bernama Indonesia. Memang faham seperti itu ada dalam negara fasis, dimana kepentingan negara lebih diutamakan daripada kepentingan apa pun. “Namun tak salah juga jika mengaku sebagai rakyat harus memiliki pengorbanan yang tinggi untuk negaranya,” ujarnya.

Sebab menurut pria yang juga menekuni dunia Advokat itu, jika kecintaan pada negara ini tidak dipupuk maka Indonesia kita ini bisa hancur. “Alangkah berdosanya kita pada anak cucu kelak, karena tidak mampu menjaga Indonesia. Alangkah malunya kita bila negara yang kita banggakan ini tinggal nama,” tegasnya.

Untuk itulah, Ketua DPC Ormas MKGR Kota Surabaya ini tidak menyesal telah mengorbankan sebagian hidupnya dengan memilih menjadi seorang aktivis. Karena dunia aktivis yang ditekuninya sejak mahasiswa ini diyakininya bukanlah sebuah pelarian melainkan pilihan hidupnya.  “Karena saya meyakini mahasiswa sebagai agent of social change yang bergerak untuk memperbaharui sebuah konstruksi sosial masyarakat yang lebih berpihak pada kemaslahatan,” ujarnya.

Untuk itulah Wakil Ketua DPD Partai Golkar Kota Surabaya ini berharap, mahasiswa juga generasi muda Bangsa Indonesia jangan takut menjatuhkan pilihan untuk menjadi seorang aktivis. Karena menjadi aktivis pergerakan akan mengajarkan nilai-nilai perjuangan membela kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan pribadi.  (tri suryaningrum)

 

ARIF FATHONI SH

TTL :

  • Lamongan 5 Maret 1984

Pendidikan :

  • Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 1 Lamongan
  • SLTP Umar Masud Sangkapura Bawean
  • SMU Muhammadiyah 9 Lamongan
  • S1 Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya

Organisasi :

  • Ketua Senat Mahasiswa Hukum Ubhara Surabaya
  • Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ubhara Surabaya
  • Koordinator Wilayah Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia Jawa Timur
  • Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia
  • Ketua Pergerakan Gajah Mada Sakti (Pagasa) Jawa Timur
  • Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jawa Timur
  • Ketua DPC Ormas MKGR Kota Surabaya
  • Wakil Ketua DPD Partai Golkar Kota Surabaya
  • Direktur Forum Masyarakat Cinta Damai (Formacida) Jawa Timur
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry