Kapan HTI Mengangkat Merah Putih? Hampir semua aksi HTI tidak ada bendera Merah Putih, ini menjadi tanda tanya besar seluruh elemen bangsa. (FT/ALAMISLAM)

“Permintaan tabayun dari HTI kepada NU sebagai ormas Islam yang selama ini getol menghadang laju (khilafah) HTI di bumi nusantara, adalah suatu yang keliru. Mestinya HTI yang justru harus melakukan tabayun terhadap ideologi Pancasila yang selama ini dipandang keliru.”

Oleh: Ach Tijani

Bulan Rajab bagi umat Islam merupakan bulan istimewa, di dalamnya terdapat peristiwa maha penting dalam sebuah perjalanan Rasulullah SAW dari masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Pelestina, kemudian dilanjutan ke Sidratul Muntaha.

Perjalanan tersebut dilalui oleh Rasulullah dengan hitungan waktu yang sangat cepat, yaitu kurang dari satu malam. Suatu peristiwa yang tidak lazim, namun bukan berarti tidak mungkin. Apalagi dalam peristiwa tersebut tersurat dalam Alquran surat al-Isra’ ayat 1, di mana Rasulullah sebagai seorang hamba yang diperjalankan oleh dan atas nama Allah swt dengan segala kekuasan dan kekuatan-Nya yang tidak terhingga.

Peristiwa maha penting itu kemudian diperingati setiap tahunnya oleh kaum muslimin Indonesia, khususnya warga nahdliyyin. Pilihan yang sangat arif, di dalamnya terdapat dimensi kecintaan kepada Rasulullah yang dikemas dengan budaya kenusantaraan. Ini merupakan sikap keberagamaan yang menyejukkan, cermin dari muslim Indonesiawi, beragama tanpa menepikan budaya dan kecintaan terhadap bangsa.

Di sudut lain, masih di negeri kita tercinta, tiba-tiba muncul gerakan dalam bulan yang sama (Rajab). Ada sekelompok umat muslim yang tenggelam dalam euforia dan antusiasme berlebihan dengan kemasan bernuansa arabis (ke-arab-araban), mereka mencoba menunjukkan eksistensi dan kekuatannya. Dikibarkanlah bendera (liwa) bertuliskan kalimat tauhid. Bendera liwa tersebut diarak keliling kota dengan klaim sebagai simbol kebangkitan Islam dan secara spesifik sebagai bagian dari upaya kebangkitan khilafah dan daulah Islamiyah.

Gerakan demonstratif tersebut secara implisit telah mengundang perhatian sebagian besar warga muslim di negeri ini, bahkan ada yang terjebak di kamuflase politis berkedok Islam tersebut. Kelompok ini kemudian dengan bangga, dan mereka – seperti  kita ketahui — secara nasional berada dalam naungan kelembagaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

HTI dalam aksi simbol ideologi sudah berkali-kali turun jalan, di antaranya Surabaya Jawa Timur 1 April 2017, kemudian tanggal 11 April 2017 di Jawab Barat. Lalu sampailah pada giliran Pontianak yang diagendakan sebagai host dari acara arak-arakan liwa (bendera) kebesaran HTI tersebut yang sedianya digelar pada hari Sabtu (15 April 2017) lalu.

Seperti halnya di kota atau provinsi lainnya, aksi HTI selalu mendapatkan penolakan, begitu juga yang terjadi di Pontianak. Secara umum substansi dari sejumlah penolakan tersebut adalah, menempatkan HTI sebagai gerakan yang berpotensi merongrong keutuhan kehidupan berbangsa, sekaligus tentu juga akan mencabik-cabik keutuhan NKRI.

NU secara umum dalam konteks ini memilih tegas, yaitu menolak segala bentuk gagasan dan upaya dari individu maupun ormas apapun yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa. Secara khusus Ketua PC NU Kota Pontianak Drs Ahmad Faruki sudah menegaskan di hadapan Kapolresta Pontianak Kamis (13/4/2017).

Penolakan demi penolakan terhadap HTI adalah realita yang tidak dapat dibendung sebagai bagian dari kecintaan terhadap bangsa ini. Berbagai kajian serius tentang HTI juga telah beredar di tengah-tengah masyarakat, sehingga mengagendakan perdebatan tentang identitas HTI adalah pilihan yang konyol. Jikapun memang sangat terpaksa, maka tema diskusinya harus bergeser pada persoalan kebangsaan, sekaligus memberikan klarifikasi mengenai Pancasila, Islam dan Indonesia. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya terbuka untuk seluruh aktivis HTI dari tingkat akar rumput hingga pada elitnya yang selama ini gagal paham terhadap Pancasila.

Dengan demikian, menurut hemat penulis permintaan untuk tabayun dari pihak HTI kepada NU sebagai ormas Islam yang selama ini getol menghadang laju HTI di bumi Nusantara ini adalah suatu permintaan yang keliru. Mestinya HTI yang harus melakukan tabayun  terhadap ideologi Pancasila yang selama ini telah dipandang keliru. Jika pilihan ini yang dipilih oleh HTI, menurut hemat penulis, PCNU Kota Pontianak dengan sangat terbuka dan bersedia menjadi host yang akan menjembatani antar pemahaman keislaman dalam tubuh HTI dan pemahaman keislaman ala Indonesia.

Tawaran pilihan bertabayun bagi HTI mengenai Pancasila menurut hemat penulis masih sangat relevan dengan semangat bulan Rajab yang sama-sama dirayakan oleh NU maupun HTI dengan maksud yang berbeda. Jika pilihan tawaran ini dapat ditanggapi secara positif, tentu ‘pintu taubat’ masih sangat terbuka. Pada saat yang sama, nantinya kita (NU dan HTI) akan merayakan kesakralan bulan Rajab secara bersama-sama sebagai simbol kebangkitan spritualitas dan kesalehan sosial, sebagaimana perjalanan Rasulullah Makkah ke Masjidil Aqsha (horizontal) dan naiknya Rasulullah ke Sidratul Muntaha (vertikal). Dengan makna implikatif, kita semua harus menjadi muslim yang taat beribadah kepada Allah (vertikal) sekaligus juga mencintai bangsa ini (horizontal).

Tawaran ini sengaja dikorelasikan dengan makna dan semangat perayaan Isra’ Mi’raj yang kebetulan juga bersamaan dengan semangat Rajab yang digelorakan oleh saudara-saudara dari HTI.  Hal tersebut dimaksudkan agar dapat dipertimbangkan, apakah kemudian semangat Rajab itu akan tetap mengalir dengan semangat khilafah atau kemudian berganti menjadi semangat Isra’ Mi’raj. Harapannya, tentu pada pilihan yang kedua. Semoga!

*Penulis adalah Anggota Lakpesdam NU Kota Pontianak

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry