MENSOS Khofifah Indar Parawansa

BANDA ACEH | duta.co – Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa melarang permintaan euthanasia atau suntik mati terhadap Berlin Silalahi dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh. Sebab negara ini melarangnya.
“Di beberapa negara ada yang membolehkan praktek tersebut, tapi di Indonesia tidak,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Minggu 7 Mei 2017.

Berlin adalah korban tsunami Aceh yang tinggal di barak pengungsi Desa Bakoy, Aceh Besar. Namun barak pengungsi tersebut kini digusur. Laki-laki berusia 46 tahun itu putus asa lantaran menderita penyakit radang tulang sejak 2012.

 

Kedua kakinya pun lumpuh sehingga ia memutuskan untuk melayangkan surat ke pengadilan agar mendapat euthanasia. Namun permintannya itu sulit dikabulkan.

Khofifah menilai kasus Berlin sangat memprihatinkan. Pihaknya memastikan bakal mendampingi keluarga Berlin. Ia juga berkukuh menolak euthanasia meskipun itu dilayangkan oleh pasien atau keluarga.

BERLIN dan keluarganya.

Euthanasia merupakan pencabutan nyawa manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit. Umumnya dilakukan dengan cara memberikan suntikan mematikan.

Menurut Khofifah, dalam ranah hukum euthanasia termasuk kategori pembunuhan sebagaimana diatur dalam KUHP. Selain itu, sebagian besar agama dengan tegas melarang euthanasia dengan alasan apapun. Ia mengutip surat dalam Al Quran Surat Az Zumar ayat 53.

Surat tersebut menyebutkan bahwa Allah menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dan berjuang menghadapi setiap musibah.

“Dalam Islam diajarkan untuk tidak mudah berputus asa dari rahmat Allah SWT, sebaliknya banyak-banyak bersyukur atas kehidupan yang diberikan, wala tai asu mirraukhillah,” ujarnya.

Khofifah meminta kasus Berlin dapat diselesaikan dengan sikap arif dan bijak. Ia berharap pemerintah daerah bisa mencari jalan keluar terbaik perihal penggusuran barak pengungsi tersebut dan pengobatan terhadap penyakit yang diderita Berlin.

Sambil menunggu solusi dari pemerintah daerah, Kementerian Sosial menyiapkan tempat evakuasi sementara di Panti Sosial Asuhan Anak Darus Sa’adah milik Kementerian Sosial di Banda Aceh.

 

“Kami sudah koordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi Aceh untuk mendampinginya termasuk menyiapkan opsi evakuasi termasuk mengurus Kartu Indonesia Sehat (KIS)-nya,” kata Khofifah.

 

Kasus Siti Julaeha
Ini bukan kasus pertama. Sebelumnya Rudi Hartono, suami Siti Julaeha, juga akan mengajukan permohonan euthanasia terhadap istrinya. Dia menyatakan keputusan tersebut merupakan jalan terbaik. Ia bersama keluarga besar istrinya, Siti Julaeha, telah meminta pihak Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBHK) dalam pengajuan permohonan euthanasia ini.

Menurut pengakuannya, pengambilan keputusan euthanasia ini merupakan keputusan seluruh keluarga besarnya. “Ini sudah merupakan keputusan sekeluarga. Daripada istri saya tersiksa terus,” ujarnya , Sabtu (19/2).

Keputusan itu makin kuat setelah dia mendengar pernyataan seorang dokter RSCM yang menyatakan istrinya telah mengalami keadaan vegetative state. “Menurut dokter itu, sudah tipis kemungkinan sembuh bagi istri saya,” kata Rudi.

Rudi menyatakan, saat ini kondisi Siti Julaeha yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak sebulan lampau, tidak juga membaik. “Badannya sudah habis, tinggal tulang berbalut kulit. Ia tidak pernah sadar, saya tidak tega melihatnya,” ujarnya lagi.

Disamping itu, ia juga menyatakan, sempat dilakukan pelubangan dengan bor pada sekitar dada dan iga sebelah kanan tubuh istrinya untuk membantu pernapasan akibat paru-paru mengkerut. “Rencananya akan dilakukan operasi lagi di tenggorokan untuk membantu pernapasannya juga,” ujarnya pula.

Siti Julaeha dinikahi Rudi pada 4 September setahun lalu. Tidak sadarnya Siti Julaeha, menurut Rudi, sejak usai menjalani operasi kandungan di rumah sakit di Jakarta Timur, pada 6 November setahun lalu. Sejak itu, menurut Rudi, Siti terus menjalani perawatan di Rumah Sakit tersebut dalam keadaan tidak sadar sebelum akhirnya dipindahkan ke RSCM dengan bantuan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan pada akhir Januari lalu.

Pihak LBHK sendiri sebelumnya mengaku telah melaporkan kasus dugaan malpraktik ke polda Metro Jaya pada 20 Januari lalu.

Lebih lanjut Rudi mengaku, pihak keluarganya telah menghabiskan banyak uang untuk biaya perawatan istrinya tersebut. Menurutnya, setiap hari dibutuhkan sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 2,5 juta untuk membiayai obat-obatan.

Namun demikian, ia menyatakan, permohonan euthanasia ini dilakukan bukan atas dasar keberatan terhadap biaya pengobatan istrinya tersebut. “Bukan soal biaya, tapi keputusan ini benar-benar jalan yang terbaik untuk semua,” katanya melanjutkan. *hud

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry