Oleh Suparto Wijoyo

SUNDAYANA merekam dan menarasikan jerit kegetiran tentang romantika cinta yang meradangkan nyawa maupun tahtah keluarga besar Raja Pajajaran di tahun 1357. Di lapangan Bubat darah muncrat menyimbah dalam rekahan nasib pinangan yang hendak menjemput puncak asmara di  Majapahit. Takdir berkisah sangat tidak terencana bagi gelaran pengiring pengantin yang dikira kirap pasukan. Kematian terhormat dengan kemalangan yang melintang di sekujur sejarah Putri Parahiyangan yang elok rupawan: Citracymi alias Diyah Pitaloka, sungguh membekaskan guritan luka peradaban dalam relasi panjang Majapahit dan Pasundan.

Sayatan yang mengaduk hayat ragawi tumusing ruhani itulah yang hendak dibalut dengan “selendang kultural” yang pun saya apresiasi sebagai “katup seruling emas” yang hendak “didengar dalam hening” melalui jahitan Rekonsiliasi Budaya untuk Harmoniskan Sunda-Jawa. Pada titik rangkai inilah apa yang dilakonkan Pakde Karwo (Gubernur Jawa Timur) dan Kang Aher (Gubernur Jawa Barat) yang menginisiasi penyelenggaraan “temu budaya” di Hotel Bumi, 6 Maret 2018 dulu itu, kulo tampi penuh hormat, sebagaimana Gajah Mada sendiri sampai topo kungkum sejurus hati menebus tumindaknya yang salah dalam membaca arus cinta Diyah Pitaloka dan Hayam Wuruk, dengan tetap membawa-bawa “mesin politik persatuan nusantara”.

Usulan perubahan nama Jalan di Surabaya pun disorong penuh hormat selaksa Gajah Mada bermeditasi menyucikan diri dengan ritual pamungkas tirtasewana (bersuci diri secara total di pancuran keabadian tirta amerta). Hidup untuk menghantaran kematian sejatinya direngkuh Gajah Mada dengan agenda-agenda Paseradaan Agung di tahun 1362. Bagi Gajah Mada, soal “ketledoran politik” yang sampai menumpas keluarga inti Imperium Pajajaran adalah “dosa yang tidak terampunkan” tanpa pengorbanan dahsyat. Betapa besar dan berat sesaknya jiwa yang ditanggung  Gajah Mada dalam menapaki hidup dari tahun 1375 sampai pada moksanya  tahun 1364.

Rasa sesal dengan tirakat mepes urip melalui tirtasewana adalah pilihan kosmologis yang amat saya mengerti betapa  kelamnya  hati sumrambah di diri Gajah Mada. Ruhnya bolehlah menjerit dalam tangis yang tidak terperi sampai hari ini, karena tlatah Pasundan “mengharamkan” diri bagi sematan namanya. Duhai Gajah Mada yang menjulangkan Majapahit, ternyata “mengalirkan dendam” sambil menyapakan “kemelut sejarah” atas hubungan yang terkoyak dari narasi cinta: Putri Sunda dan Putra Majapahit. Keperihannya dapat diwedar melalui dongeng-dongen dimana rasa remuk redam yang menjulur di sekujur tubuh Hayam Wuruk alias Rajasanegara yang bertahta dari 1350-1389 yang “klilipen” tragedi Bubat.

Rajasanegara yang lahir 1334 ini memang mampu membawa   Majapahit sebagai “Macan Asia” di rentang waktu 1350-1370. Gerakan penyatuan Nusantara dalam semangat Sumpah Palapa yang diucap penuh kegagahan Gajah Mada di Balai Manguntur saat dilantik menjadi Perdana Menteri, Panglima Perang, dan Penganjur Nusantara yang kasebut Mahapatih di tahun 1331. Jabatan ini diemban dari 1331-1364 dengan semboyan utama “Poros Nusantara”. Semua “lencana” itu tampak dalam hubungan Sunda-Jawa selama 661 tahun ini menjadi “fosil bencana” di alam bawah sadar kolektif generasi kedua wilayah. Apalagi anak-anak generasi Majapahit sendiri berlaku “menolak” kehendak “menyemat penuh takzim” nama Pasundan di Surabaya.

Jasa besar Gajah Mada selama 1357-1358 tidak mengembangkan sungging senyum Hayam Wuruk. Sumpah Palapa yang berisi penyatuan  Kepulauan Nusantara dari Lamuri (Aceh) sampai Wanim (Papua) termasuk Tumasik (Singapura) yang terekam dengan baik oleh Empu Prapanca dengan tuangan indah di Pupuh 14, 14 dan 15 Kakawin Nagara Krtagama yang tuntas ditulis 1364 dan menjadi “best seller” tahun 1365, tetap menyisakan sesal akibat “asmara yang dipanggang di Tanah Bubat”. Gajah Mada yang tertorehkan dengan tinta emas selaku “Bapak Nusantara” yang fondasi geopolitiknya telah diletakkan oleh Kertanegara, Raja pamungkas Singasari, yang terbunuh akibat persekongkolan orang dalam yang tidak terima dimutasi ke Sumenep, tetap “kedlusupen pamornya sendiri”. Tahun 1292 adalah penanda babakan akhir Singasari dengan mangkatnya Kertanegara yang “berjelajah ruhani” dalam Candi Jawi maupun Arca Joko Dolog, di Depan Gedung Negara Grahadi.

Khalayak semua mafhum bahwa Raja Hayam Wuruk  di tahun 1357 berusia 23 tahun sedang kebimbang, gandrung dan melabuhkan cintanya kepada Diyah Pitaloka setelah melalui keputusan “pansel perjodohan” antara Majapahit dan Pajajaran. Asmara ini memberikan obsesi bersatunya dua kerajaan yang terhormat dan bermartabat: Majapahit-Pajajaran. Kekuatan yang senada dengan “bandingan kecil”  integrasi Kerajaan Ratu Saba dengan Kerajaan Nabi Sulaiman.  Gumparan cita hadirnya Permaisuri cantik jelita dan berkecerdasan unggul serta melalui tahapan “seleksi nasional” yang ketat, pastilah sangat dinanti oleh Hayam Wuruk.

Namun semua buyar ambyar akibat orientasi politik yang “over dosis”     Gajah Mada. Asmara yang diberi idiom “mercusuar Majapahit” mestinya tanpa perlu “membumihanguskan trah Pajajaran”. Perkawinan yang  “terpenggal nadinya” di tengah jalan dan terjegal oleh ulah politik orang yang justru sangat diagungkan oleh Baginda Hayam Wuruk. Inilah yang berat menindih Gajah Mada. Jerit tangis dan rasa penyesalan tidak terbendung tumpah dari jiwa kekar Sang Patih Mangkubumi.

Penyesalan itulah yang akhirnya dirintis melalui Peseradaan Agung (“haul akbar”) mengenang kemangkatan Gayatri Rajapatni, Sang Permaisuri yang memanggul kebijakan (Pradnyaparamita) di tahun 1362. Pada upacara dipuncak bulan purnama, Gajah Mada dengan suara berat penuh sesak dada yang sangat menghunjam membungkukan sungkem kepada Baginda Raja dengan kosa kata klimaks baktinya: “an wanten rajakaryyolihulih nikanang dharyya harwa pramada”. Raja adalah pemilik kewajiban yang titahnya tidak pernah dia abaikan.

Ungkapan yang memberi pengulangan atas tingginya dedikasi orang yang lahir dari Rahim Bumi Modo, Lamongan, yang diriwayatkan dari mulut ke mulut warga “Bonorowo”,  anak Nyi Ageng Andongsari yang mendiami Gunung Putri. Rasa Hayam Wuruk tetaplah memancarkan pesonanya, kebijakannya tampak semakin bestarai  dengan mempersilahkan Gajah Mada “menenun kain nusantara” sambil menepikan diri di Madakaripura. Raja Hayam Wuruk memberikan “Tanah Kamulyan”  yang disebut Madakaripura untuk menjadi “sanggar penebusan dosa”. Di sinilah Gajah Mada menuangkan semua cintanya kepada Majapahit dengan mengenyam “pahitnya” kegagalan cinta  Hayam Wuruk dengan rela melepaskan semua predikat Bapak Nusantara, dan berakhir menjadi “orang yang menempuh jalan pengasingan” untuk  membasuh “dosa politiknya”. Lelampahan inilah yang dinamakan “tirtasewana”. Gajah Mada memandikan jiwa raganya dengan air suci Madakaripura.

Dalam rintih jiwa Gajah Mada yang tertindih itulah saya menyimak dengan ketulusan batin kedua kepala daerah yang meluaskan hatinya, mencakrawalakan ruhaninya, saling menautkan cintanya dalam gelora pemimpin yang berjiwa nasionalis. Kepeloporan seorang pemimpin, bukan penguasa. Pemimpin itu merelakan dan mampu menggendong panggilan zamannya. Sementara penguasa selalu menomorsatukan egonya dan berlagak tidak terjamah dengan satu kata komando “ tolak” dengan semboyan yang dibaca penuh tendensi: sak dumuk batuk sak nyari bumi, tidak boleh nama jalan diotak-atik. Dan para politisi bersuara melalui argumentasi birokrasi betapa ribetnya mengganti urusan “identitas elektronik”. Padahal secara administrasi sangatlah mudah diatasi dan dari sini saya semakin mengerti di zaman now ini masih ada yang seperti Gajah Mada, membaca “cinta” dengan “curiga”.

*Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry