Oleh: Nur Chasanah, S.Pd.

Dunia pendidikan kembali tercoreng.  Penganiayaan taruna berujung maut kembali terulang. Adalah Amirulloh Adityas Putra sebagai korban, Taruna Tingkat 1 di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda Jakarta Utara itu, Semakin menambah rapor merah  sebagai gambaran carut-marutnya dunia pendidikan di Indonesia, Jawa Pos (12/1/2017). Pasalnya  kejadian tersebut bukanlah kali pertama. Dimas Dikita Handoko juga mengalami hal serupa di tangan seniornya pada 25 April 2014. Semestinya hal ini tidak boleh terjadi. Lalu apa yang salah dengan pendidikan di Negara Kita?

Masih segar diingatan, ketika Anies Baswedan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah bagi siswa baru.  Anies melarang adanya perpeloncoan saat pelaksanaan  Masa Orientasi Siswa (MOS). Peraturan tersebut diharapkan menghilangkan tradisi balas dendam oleh senior kepada junior pada saat pelaksanaan MOS.

Untuk memutus mata rantai perpeloncoan harus meminimalisir  kekerasan di dalam semua proses pendidikan. Melakukan pengawasan terhadap setiap bentuk kegiatan yang melibatkan senior. Apapun kegiatan yang memberikan keleluasaan pada senior harus didampingi oleh pelatih.

Sekolah merupakan tempat siswa menuntut ilmu. Tempat untuk mendapatkan bimbingan, pembinaan, serta tauladan dari para pendidik serta warga sekolah lainnya.. Pembentukan karakter diharapkan terwujud dalam proses pembelajaran. Menyiapkan dan memberi bekal berupa kecakapan hidup (life skill) bagi peserta didik agar mampu menyesuaikan dan melanjutkan kehidupan di masyarakat merupakan tujuan utama.

Orang tua tentunya mempunyai harapan besar memepercayakan putra-putrinya dididik pada salah satu sekolah. Anak-anak yang dididik di sekolah, merupakan generasi penerus bangsa. Sudah menjadi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Pendidikan dengan penuh keramahan dan jauh dari kata kekerasan.

Sebagaimana dalam bunyi pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sudah seharusnya Kekerasan di dunia pendidikan dihilangkan. Perpeloncoan sudah semestinya ditiadakan. Tidak boleh ada korban lagi yang berjatuhan.  karena itu melanggar hak asasi manusia.

Kezaliman acap kali terjadi, ketika  kegiatan MOS hampir di seluruh sekolah, perguruan tinggi dan sekolah Akademi Milter (Akmil). Perpeloncoan dan kekerasan terhadap siswa baru oleh kakak seniornya sering menelan korban, dari luka ringan hingga korban sampai meninggal. Seharusnya sekolah melarang dan menghilangkan tradisi buruk yang menjadi kebiasaan lama. Tidak boleh lagi ada kata kekerasan dalam dunia pendidikan. Pemerintah harus segera mengubah sistem yang ada. Peraturan yang sudah dibuat haruslah diimplementasikan oleh seluruh jenjang sekolah.

Tak terkecuali pendidikan militer, yang dipercaya mampu membentuk karakter tangguh pada calon prajuritnya, juga harus melakukan evaluasi. Pasalnya pendidikan militer terkenal dengan pendidikan fisik sekaligus mental yang mainstream. Semua bentuk latihan tak sedikitpun mengandung nilai kemanusiaan. Bentuk kegiatan terkesan manyakitkan, menakutkan, menjengkelkan, diberikan selama pendidikan. Untuk membuat kepribadian calon prajurit hancur lebur, ditekan sampai titik nol.

Di bawah terik sinar matahari calon prajurit diseret, dipukul sambil dibawa lari, disuruh merayap di selokan pinggir jalan. Dengan mata tertutup, mereka dibawa ke lapangan terbuka, kemudian dikagetkan dengan bunyi ledakan bom yang menggelegar memekakan telinga dan membuat jantung mereka seperti mau copot. Apalagi disusul dengan bunyi rentetan tembakan terus menerus dibarengi dengan pukulan, tendangan injakan dan pentungan yang dipukulkan mengenai sekujur tubuh mereka. Demikian gambaran kerasnya latihan yang diberikan kepada calon prajurit. Tak ubahnya perlakuan terhadap hewan. Sungguh cara yang keji dalam dunia pendidikan.

Hal inilah yang membuat para senior selalu menginginkan perlakuan yang sama terhadap junior. Adanya rasa dendam yang akan diturunkan kepada juniornya. Hak Asasi seorang calon prajurit tak diindahkan lagi. Pendidikan yang sejatinya memberikan suasana memanusiakan manusia, menjadi pendidikan yang berperikehewanan.

Untuk memutus mata rantai perpeloncoan harus meminimalisir  kekerasan di dalam semua proses pendidikan. Melakukan pengawasan terhadap setiap bentuk kegiatan yang melibatkan senior. Apapun kegiatan yang memberikan keleluasaan pada senior harus didampingi oleh pelatih. Dengan demikian semoga tidak ada lagi kasus serupa terulang kembali.

Penulis adalah Pemerhati Pendidikan

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry