Tempat eksekusi hukuman pancung di Arab Saudi. (FT/dream)

JAKARTA | duta.co – Tanpa menafikan kerjakeras pemerintah Indonesia, hari ini masih ada 20 WNI di Arab Saudi yang dituntut hukuman mati, dan sangat mungkin mereka akan dipancung seperti WNI asal Bangkalan, Zaini Misrin bin Muhammad Arsyad.

Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, ketiadaan notifikasi resmi terhadap KJRI di sana, membuat negara yang sudah beberapa kali menghukum mati TKI itu tak mengindahkan kaidah hubungan internasional.

“Saat Zaini dieksekusi, tidak ada notifikasi yang diberikan. Kemenlu sendiri mendapat informasi dari sumber-sumber tidak resmi. Jelas ini pengingkaran, pelanggaran tata hukum internasional yang dilakukan pemerintah Saudi Arabia,” demikian Wahyu dalam konferensi pers di Kantor Migrant Care, Jakarta Timur, Senin (19/3/2018).

Bahkan Wahyu menyampaikan, Indonesia juga kerap dipersulit dalam melakukan advokasi hukum yang merupakan hak Zaini. Kasus terjadi pada 2004 meski demikian, advokasi baru bisa benar-benar diberikan pada 2009 atau setelah Zaini dijatuhi vonis mati. Eksekusinya pun terkesan diam-diam. Meski tidak ada kewajiban memberitahu negara asal, tetapi, sebagai negara sahabat yang baik mestinya ada tata krama.

Lihatlah! Prosesnya begitu cepat. Kumandang azan zuhur dari Masjid Al-Haram di Makkah, Arab Saudi, masih sejam lagi. Saat itu paling mendebarkan bagi lelaki asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur, itu. Dalam keadaan berlutut dengan kepala tertunduk, dia terpaksa pasrah menungggu ayunan pedang sang algojo.

Kehebohan langsung meruap di tanah air. Zaini Misrin bin Muhammad Arsyad menjadi warga negara Indonesia ketiga dieksekusi mati di Arab Saudi setelah Ruyati dan Siti Zainab dalam tujuh tahun terakhir.

Banyak pihak yang kaget lantaran pemerintah Arab Saudi tidak memberitahu keluarga Zaini melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Riyadh atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kota Jeddah.

Dalam jumpa pers di kantornya hari ini, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengakui pemerintah kaget karena tidak mendapat pemberitahuan.

Dia menyebutkan, pelaksanaan hukuman mati terhadap Zaini tersebut diperkirakan berlangsung pada pukul 11.30 waktu Makkah atau jam 15.30 waktu Jakarta.

Iqbal didampingi wakil dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia (BNP2TKI), wakil dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bangkalan, dan kepala desa setempat telah mengunjungi kediaman keluarga mendiang Zaini untuk menyampaikan ucapan belasungkawa dari pemerintah. Dia mengklaim kerabat Zaini sudah mengikhlaskan eksekusi Zaini itu.

Menurut Iqbal, pemerintah Indonesia bisa memahami dalam aturan Arab Saudi tidak mewajibkan untuk memberitahu kepada perwakilan asing tentang jadwal eksekusi. Meski begitu, dia menekankan sebagai negara bersahabat, pemerintah Saudi mestinya memberi notifikasi soal jadwal eksekusi Zaini.

Apalagi, lanjut Iqbal, setelah eksekusi atas Siti Zainab pada 2015, tercipta kesepahaman agar pihak Saudi memberitahu kepada pihak keluarga melalui KBRI Riyadh atau KJRI Jeddah kalau ada warga Indonesia akan dieksekusi.

Dia menjelaskan pada 29 Januari 2018, pengacara Zaini telah menyampaikan permohonan peninjauan kembali untuk kedua kalinya. Permohonan peninjauan kembali pertama, diajukan awal tahun lalu sudah ditolak.

Pada 20 Februari 2018, KBRI Riyadh menerima nota diplomatik dari Kementerian Luar Negeri Arab Saudi. Isinya Jaksa Agung Arab Saudi Saud al-Mujib mempersilakan pengacara Zaini untuk menyampaikan permohonan kepada pengadilan di Makkah buat memanggil dan meminta kesaksian dari Abdul Aziz, penerjemah mendampingi Zaini saat menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada 2004.

Ada harapan kesaksian Abdul Aziz akan menjadi bukti baru bakal memperkuat permohonan peninjauan kembali atas kasus Zaini. Pada 6 Maret 2018, pengacara sudah menyampaikan surat permohonan kepada pengadilan untuk memanggil dan mendengarkan kesaksian Abdul Aziz.

“Pemerintah menyayangkan eksekusi itu dilakukan pada saat proses PK (peninjauan kembali) kedua baru dimulai,” kata Iqbal. “Jadi belum ada kesimpulan resmi terhadap PK kedua diajukan.”

Zaini pertama kali berangkat ke Arab Saudi pada 1992 untuk bekerja menjadi sopir pribadi. Dia kembali ke Indonesia dan pada 1996 berangkat lagi untuk bekerja kepada majikan sama sebagai sopir pribadi, sampai terjadi peristiwa pembunuhan terhadap majikannya pada 13 Juli 2004.

Di hari itu pula, Zaini ditangkap Kepolisian Makkah atas laporan anak kandung korban. Dia dituduh membunuh majikannya bernama Abdullah bin Umar.

Pada November 2008, Mahkamah Umum Makkah memvonis Zaini dengan hukuman mati. Setelah menerima putusan ini, pengacara Zaini mengajukan banding dan dilanjutkan dengan kasasi. Namun pengadilan banding dan kasasi menguatkan vonis mati atas Zaini itu.

Iqbal menegaskan sejak kasus ini muncul pada 2004, pemerintah sudah melakukan hampir semua upaya untuk membebaskan Zaini. Tim perlindungan warga Indonesia di KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh sudah 40 kali menengok Zaini di penjara.

Sejak 2011, pemerintah sudah menunjuk dua pengacara untuk mendampingi Zaini. Pengacara pertama disewa selama 2011-2016 dan pengacara kedua masih bertugas hingga Zaini dieksekusi.

Pemerintah juga sudah tiga kali memfasilitasi keluarga untuk menemui ahli waris majikan, yakni satu kali di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dua kali saat Presiden Joko Widodo berkuasa. Namun hingga detik terakhir menjelang eksekusi, ahli waris menolak memberi maaf kepada Zaini.

Sejak Zaini ditangkap, KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh sudah mengirim 42 nota diplomatik. Duta besar Indonesia di Riyadh juga menyurati tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat tinggi Saudi dalam upaya membebaskan Zaini dari hukuman mati.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono satu kali menyurati Raja Abdullah bin Abdul Aziz dan Presiden Joko Widodo dua kali menyurati Raja Salman bin Abdul Aziz. Keduanya meminta supaya Zaini dibebaskan dari hukuman pancung.

Iqbal menekankan pemerintah Indonesia hari ini sudah menyampaikan nota protes kepada pemerintah Arab Saudi. Kementerian Luar Negeri juga sudah memanggil Duta Besar Saudi untuk Indonesia Usamah bin Muhammad Abdullah buat meminta penjelasan mengenai eksekusi Zaini.

Anis Hidayah, peneliti di Migrant Care, menyayangkan karena pemerintah terlambat memberikan pendampingan terhadap Zaini sejak ditangkap. Dia menilai boleh jadi kalau didampingi sejak awal, dia bisa dibebaskan.

Anis melihat ada proses hukum yang tidak jujur terhadap Zaini. “Zaini Misrin menjalani proses hukum pertama pada 2004-2008 tanpa pendampingan dari KBRI dan tidak ada pengacara, sehingga ada pemaksaan dalam pemberian keterangan selama BAP (Berita Acara Pemeriksaan) berlangsung. Dia tidak membunuh tetapi dipaksa memberikan keterangan dia membunuh,” tuturnya.

Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan selama 2011-2018 terdapat 102 warga Indonesia terancam hukuman mati. Dari jumlah ini, 79 orang berhasil dibebaskan, tiga orang dieksekusi termasuk Zaini, dan 20 lainnya masih dalam penanganan.

Dari 20 warga Indonesia masih terancam hukuman mati di Arab Saudi, 15 orang atas dakwaan pembunuhan dan lima lainnya perkara sihir. Dua warga Indonesia dalam posisi kritis dan bisa dieksekusi kapan saja adalah Tuti Susilawati dan Eti Thoyyib, ekspatriat perempuan asal Majalengka, Jawa Barat. Semoga nasib mereka tidak seperti Zaini. Dieksekusi  tanpa kerabat sebagai saksi.  (sumber: albalad.co)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry