Rupanya, bukan cuma galau. Mungkin saja, MI dan para kiai itu sedang terkena ‘vertigo’, sehingga lupa bahwa NU telah lama kembali ke-khitthah. Dalam hal politik praktis, NU membebaskan warganya untuk menentukan pilihan politiknya sendiri dengan cara akhlaqul karimah – -tidak saling menghujat, mencela dan membenci sesama nahdliyin.”

Oleh : Choirul Anam*

NAMA Khofifah Indar Parawansa (selanjutnya disingkat KIP) hari-hari ini ramai dibicarakan orang. Bukan karena terkait tugasnya sebagai Menteri Sosial (Mensos), melainkan karena pernyataan Muhaimin Iskandar (selanjutnya disingkat MI).

MI menyatakan, sebaiknya KIP tidak ikut running for governor yang akan digelar tahun depan. Alasannya? Karena KIP sudah pernah dua kali gagal melawan Pak De Karwo (Soekarwo gubernur Jawa Timur sekarang). MI kuatir nanti kalau gagal lagi bagaimana?

Karena pernyataan itu keluar dari mulut pembesar PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), maka banyak orang mengira itu high-politics. Apalagi kemauan MI itu juga disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo agar tidak mengizinkan KIP maju lagi di Pilgub Jatim. Lebih baik KIP konsentrasi pada tugasnya sekarang sebagai Mensos.

Para pecinta KIP langsung nyeletuk, lho … dulu KIP kalah lawan Pak De Karwo — seorang birokrat andal dan ahli keuangan pemerintah daerah. Kekalahan dua kali itu pun karena dicurangi. Pelaku kecurangannya sudah pula mengaku dan meminta maaf kepada KIP. Sedangkan Pilgub Jatim 2018 nanti, lawan utama yang sudah terlihat jelas adalah Saifullah Yusuf (disingkat SY). “Apakah SY setangguh dan sehebat Pak De? Belum tentu! Belum pernah ada data dan fakta, alias SY belum teruji,” kata pecinta KIP membandingkan sosok SY dan Pak De.

Lagi pula, keinginan MI itu tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, setiap orang berhak mengikuti kontestasi. Tetapi, karena MI merupakan pembesar paling tinggi, maka idu geni — ucapannya harus diikuti dan wajib dilaksanakan bawahannya.

Ketua DPW PKB Jatim Halim Iskandar (disingkat HI) yang tak lain adalah kakak kandung MI, bersama SY (Bacagub PKB) langsung bersafari mendatangani pimpinan Parpol se-Jatim untuk diajak berkoalisi. Dan koalisinya diarahkan mengusung Bacagub tunggal. Pendek kata, dengan operasi simpatik HI dan SY, kontestasi Pilgub Jatim 2018 nanti, diharapkan hanya akan mengusung Cagub tunggal: SY versus bumbung kosong.

Manuver HI bersama SY dan MI di tingkat pusat, akhirnya menuai banyak cibiran. “Hari gini kok ya masih saja melakukan politik bujuk- bujukan,“kata seorang pengamat politik di Surabaya. “Manuver ndeso, tidak cerdas. Mana mungkin pimpinan parpol bisa dibujuk dengan model seperti itu. Mikir! Mikir!,” demikian kata kembaran Cak Lontong ini.

Bukan cuma manuvernya yang ndeso. MI juga membeberkan hujjah yang dikira sudah kelas orang kutho. Bahwa untuk menghadapi suksesi kepemimpinan Jawa Timur, warga NU (Nahdlatul Ulama) harus bersatu padu, jiwa dan raga untuk memenangkan SY. Dan seruan itu menurut MI bersumber dari (hasil istikhoroh) para kiai sepuh NU Jawa Timur. Singkatnya, warga NU harus bulat dan (jika perlu) cabang-cabang NU disiapkan menjadi mesin politik PKB untuk memenangkan SY. Ketua-Ketua Cabang NU se- Jawa Timur (jika masih perlu lagi) harus di-bai’at dan diberi sanksi bagi yang tidak menaati. Luar biasa sekali seruan ini, nian!

Memang, takdirnya NU harus seperti itu. Sebab, MI sendiri mengaku sudah lama mempersiapkan HI untuk maju, dan sudah pula memajang baliho HI gubernur holopis kuntul baris, tetapi dengan sangat terpaksa dibatalkan karena ada misi lebih besar dari para kiai untuk memenangkan SY. Kekompakan dan persatuan warga NU Jatim, dengan demikian, sangat diperlukan dan harus dibangun secara kompak oleh semua kiai dan tokoh NU. Karena itu MI meminta presiden untuk tidak mengizinkan KIP maju karena bisa berakibat memecah suara NU. KIP pun segera menjawab, “Imin jangan galau”.

Rupanya, bukan cuma galau. Mungkin saja, MI dan para kiai itu sedang terkena ‘vertigo’, sehingga lupa bahwa NU telah lama kembali ke-khitthah. Dalam hal politik praktis, NU membebaskan warganya untuk menentukan pilihan politiknya sendiri dengan cara akhlaqul karimah – -tidak saling menghujat, mencela dan membenci sesama nahdliyin. Dan warga NU saat ini sudah semakin dewasa dan cerdas dalam menentukan pilihannya. Jadi, upaya MI dan para kiai itu, berlawanan dengan khitthah NU itu sendiri.

MI juga menyinggung misi yang maha penting lagi, yaitu untuk menjaga keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Artinya, kekompakan dan persatuan warga NU untuk memenangkan SY, juga dimaknai untuk menjaga keutuhan NKRI.

Dalam benak MI (mungkin juga) bersemayam asumsi bahwa Jawa Timur merupakan faktor terpenting bagi menjaga tetap tegaknya NKRI, dibanding wilayah provinsi lain semisal DKI Jakarta, Jawa Barat maupun Jawa Tengah. Atau, MI seolah sudah tahu persis ada benih- benih radikalisme yang mengancam desintegrasi bangsa bisa tumbuh subur di wilayah lain, tetapi tidak di Jawa Timur. Karena itu, Jawa Timur sebagai basis utama nahdliyin harus dijaga kekompakan dan persatuannya, guna menopang tetap utuhnya NKRI.

Persoalan nasionalisme bangsa sudah tertanam membaja di hati rakyat sejak pra- kemerdekaan. Di kalangan NU sendiri, sejak 1916 sudah dididik oleh Kiai Abdul Wahab Chasbullah untuk hubbul wathon minal iman — cinta tanah air itu bagian dari iman. Bapak pendiri bangsa telah pula meletakkan pondasi dasar negara Pancasila, dan sistem pengelolaan pemerintahan berupa UUD 1945. Pondasi yang kokoh kuat dibangun bapak pendiri bangsa itu, pernah diuji secara radikal oleh kaum imperialis di zaman revolusi melawan kolonial Belanda. Kemudian dicoba dibelokkan lagi kearah Marxisme-Materialisme oleh PKI Muso dalam pemberontakan Madiun (September 1948), lalu diuji kembali oleh DN Aidit, September 1965, yang dikenal dengan G 30 S/PKI. Semuanya gagal total.

Jadi, keutuhan NKRI akan tetap terjaga bila elite bangsa bersama-sama rakyat berdiri tegak di atas pondasi Pancasila dan UUD 1945, yang telah dibangun dengan susah payah oleh para leluhur. Karena itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo–selaku inti pertahanan penjaga NKRI, belakangan ini sempat mengajak rakyat keseluruhan — terutama ummat Islam, untuk tetap bersatu padu menjaga keutuhan NKRI. Mengapa? Sebab, Jenderal Gatot menengarai pihak asing telah menusukkan jarum infiltrasi ke tubuh RI, dan (jika dibiarkan) bisa berakibat jebolnya NKRI.

Nah, jadi, tidak ada kaitan sama sekali antara menjaga NKRI dan memenangkan Cagub PKB. Akhirnya, kembaran Cak Lontong pun bergumam: Manuver politik ndeso, mikir, mikir! (*)

*Dewan Kurator Museum Nahdlatul Ulama (NU).

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry