Achmad Murtafi Haris (kiri) dan Biksu Ashin Wirathu. (FT/IST)

“Kekhawatiran (Biksu Ashin Wirathu) itu menarik untuk dikaji mengingat bahwa kekhawatiran serupa mungkin sekali terjadi di tempat lain di belahan bumi ini. Sebuah kekhawatiran yang bisa memicu permusuhan antarpemeluk agama.”

Oleh: Achmad Murtafi Haris*

KONFLIK Rohingya dipicu oleh ketakutan sekompok penganut Buddha Myanmar akan populasi umat Islam yang terus meningkat. Ketakutan ini bisa jadi  tidak didasarkan pada data kuantitatif yang sebenarnya dikarenakan warga Rohingya tidak memiliki status kependudukan yang jelas. Dari kondisi itu, besar kemungkinan data populasi dan perkembangan mereka (muslim Rohingya) tidaklah sebesar yang dibayangkan.

Biksu Ashin Wirathu sebagai pemimpin Buddha yang kerap menyuarakan kekhawatiran itu, sangat mungkin hanya terpengaruh oleh memori masa lalu yang ‘kelam’ di mana umat Buddha Indonesia pada akhirnya raib dari bumi persada lantaran perpindahan agama mereka penganut Buddha ke dalam agama Islam.

Meski kekhawatiran itu tidaklah tepat, mengingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia sebelum memeluk Islam bukanlah penganut Buddah, tapi Hindu Shiwa sehingga yang layak ‘kecewa’ adalah pemimpin Hindu dan bukan Buddha.

Kendati demikian, kekhawatiran (Ashin Wirathu) itu menarik untuk dikaji mengingat bahwa kekhawatiran serupa mungkin sekali terjadi di tempat yang lain di belahan bumi ini. Sebuah kekhawatiran yang bisa memicu permusuhan antarpemeluk agama yang akan berujung pada konflik sosial yang merugikan banyak pihak dan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuk pembersihan etnik dan pembantaian massal atau genosida.

Pangkal dari kekhawatiran akan membesarnya penganut agama lain dan pergeseran dari posisi mayoritas menjadi minoritas adalah kekhawatiran akan hilangnya rasa percaya diri akan kebenaran dan kualitas diri. Jika seseorang memiliki keperayaan diri yang besar akan kedua hal tersebut orang akan memilih untuk berkata dalam dirinya bahwa apa yang saya miliki lebih baik dari apa yang dimiliki oleh orang lain, so kita tidak perlu khawatir akan raibnya atau menurunnya jumlah pemeluk agama tertentu.

Ketidakpercayaan diri bisa muncul karena kurangnya wawasan sehingga orang menjadi terlalu fokus pada satu asumsi dan mengabaikan asumsi-asumsi yang lain. Wawasan yang sempit akan melahirkan asumsi yang keliru yang dianggap kelak akan merugi di masa yang akan datang atau dalam hal ini tergusurnya Buddha sabagai agama mayoritas di Myanmar.

Asumsi dimaksud dalam kasus pertumbungan muslim Rohingya yang cepat didasarkan pada anggapan bahwa kaum Muslim Rohingya banyak yang berpoligami sehingga populasinya dikhawatirkan akan meningkat cepat. Anggapan ini adalah anggapan yang sumir yang hanya mengandalkan informasi sepihak dari kalangan Islam Phobia tanpa mengklarifikasi langsung ke umat Islam tentang seberapa besar prosentase lelaki di sana dalam praktek poligami.

Dengan status yang tidak jelas kewarganegaraannya tentu pencatatan sipil mereka juga terkendala. Data yang tidak valid akan menimbulkan anggapan negatif terus berkembang dan semakin memicu kebencian terhadap keberadaan mereka. Fakta menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam di dunia, sedikit sekali dari mereka yang melakukan praktek poligami. Belum lagi ada negara seperti Tunisia yang sejak lama telah mengeluarkan peraturan pelarangan poligami bagi warganya.

Dengan demikian alasan tingginya praktek poligami di kalangan Muslim Rohingya adalah tidak mendasar. Selain tidak faktual jika dibandingkan dengan kondisi umat Islam secara global status kewarganegaraan yang tidak jelas membuat pendataan akurat sulit dilakukan.

Di sisi lain pembataasan jumlah penduduk melalui pembatasan kelahiran anak dan pelarangan poligami sangat bisa dilakukan oleh pemerintah Myanmar untuk mengerem laju populasi muslim Rohingya. Jika negara memiliki peraturan itu dan memiliki tata kelola yang bagus, tentu pembatasan bisa dilakukan secara efektif.

Di negara yang dihuni oleh mayoritas non-muslim seperti di Eropa dan Amerika yang menetapkan poligami sebagai sebuah tindakan kriminal didapati bahwa umat Islam di sana mentaati peraturan itu dan tidak berani mempraktekkan karena takut hukuman atau alasan rasional lain.

Anggapan bahwa ajaran Islam melegalkan poligami sehingga dengan demikian orang Islam banyak berpoligami adalah anggapan yang keliru. Diperbolehkannya poligami secara teologis kenyataannya tidak membuat banyak orang Islam berpoligami, dan sebaliknya sedikit sekali dari mereka yang melakukan praktek itu.

Artinya, bahwa umat Islam seperti manusia umumnya mendasarkan hidupnya pada pertimbangan rasional terkait akibat-akibat yang akan terjadi jika melakukan sesuatu. Apalagi jika posisi hukumnya secara syariat tidak dianjurkan tapi diperbolehkan, tentu pertimbangan rasional mengemuka di sini.

Belum lagi pendapat ulama mutakhir seperti Buya Hamka yang berpandangan bahwa poligami adalah dilarang karena dampak buruk yang diakibatkan olehnya terhadap rumah tangga, maka mengidentikkan Islam dengan poligami adalah sebuah stigma dan sterotyping yang sangat merugikan.

Rasionalitas umat Islam terkait erat dengan kondisi sosial-ekonomi lokal dan global. Rasionalitas juga dibentuk oleh tren yang berkembang yang semua manusia tidak bisa begitu saja melawan arusnya. Ketika emansipasi wanita menjadi gerakan global dan menyebar dan diadopsi oleh seluruh warga dunia termasuk umat Islam, maka dampak dari gerakan itu pun sampai kepada seluruh penjuru dunia yang di antaranya adalah penolakan terhadap praktek poligami.

Umat Islam bukanlah entitas yang immune dari pengaruh luar. Mereka juga terbawa oleh arus global dan akan menyesuaikan dengan tren tersebut. Dari sini kita mengenal adanya kaidah dalam usul fikih yang akan diterapkan dalam merespons perkembangan dan perubahan zaman, yaitu kemungkinan perubahan status hukum dikarenakan perubahan kondisi (‘illat) seperti dampak perceraian yang diakibatkan dan beban ekonomi yang ganda menjadikan status hukum poligami bisa berubah.

Stigma buruk yang disematkan kepada muslim Rohingya oleh kelompok Budha garis keras yang di antaranya adalah praktek poligami, dengan demikian adalah sebuah praktek yang sangat mudah diatasi melalui jalur legal formal dalam betuk aturan atau undang-undang pemerintah. Bhiksu Ashin Wiratu dalam hal ini terjerembab dalam Islam Phobia yang membuatnya tidak lagi memiliki pertimbangan rasional dalam memandang masalah dan mengorbankan banyak karena diperbudak oleh hawa nafsu yang tidak terbendung.

*Achmad Murtafi Haris adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry