KASUS ERA DIGITAL: Aksi menolak transportasi online di Jakarta, 22 Maret 2017 lalu. (ist)

JAKARTA | duta.co – Revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek diberlakukan per 1 April 2017, dengan masa transisi selama tiga bulan. Sebelas poin yang diatur dalam Revisi Permenhub itu hingga saat ini masih menuai pertentangan, terutama dari penyedia layanan taksi online seperti Grab, Uber, dan Go-Jek.

‪Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun memberikan perhatian khusus untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan kebijakan terkait pengaturan taksi online dan taksi konvensional. Ada tiga rekomendasi KPPU kepada pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan bisa mendorong penyelenggaraan industri jasa transportasi sesuai prinsip persaingan usaha yang sehat.

Pertama, KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif yang selama ini diberlakukan untuk taksi konvensional. Sebagai gantinya, wasit persaingan usaha ini menyarankan agar pemerintah mengatur penetapan batas atas tarif saja.

‪Menurut Ketua KPPU Syarkawi Rauf, penetapan tarif batas bawah akan berdampak pada inefisiensi di industri jasa angkutan taksi secara keseluruhan dan bermuara pada mahalnya tarif bagi konsumen. Tarif batas bawah juga menghambat inovasi untuk meningkatkan efisiensi industri jasa transportasi. Lebih jauh batas bawah tarif dapat menjadi sumber inflasi.

“Kami merekomendasikan agar pemerintah pusat atau daerah berdasarkan kewenangannya menetapkan besaran tarif batas atas saja, tidak untuk batas bawah. Regulasi batas atas dapat menjadi pelindung bagi konsumen dari proses eksploitasi pelaku usaha taksi yang strukturnya bersifat oligopoli,” jelas Syarkawi dalam keterangan resminya, Selasa (28/3).

‪Kedua, KPPU menyarankan pemerintah agar tidak mengatur kuota atau jumlah armada baik taksi konvensional maupun online yang beroperasi di suatu daerah. Dengan demikian, penentuan jumlah armada bagi pelaku usaha angkutan diserahkan kepada mekanisme pasar. Setiap pelaku usaha akan menyesuaikan jumlah armadanya sesuai kebutuhan konsumen. Pengaturan oleh pemerintah akan mengurangi persaingan dan pada akhirnya merugikan konsumen.

‪Namun, pemerintah selaku regulator mesti mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan taksi. Pemerintah harus tegas dengan memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasi alias mengeluarkan pelaku usaha dari pasar apabila melanggar regulasi. Sehingga, pengawasan yang super ketat ini akan menjaga kinerja operator taksi konvensional dan berbasis aplikasi online untuk memenuhi standar pelayanan minimal.

‪Pemerintah juga harus menetapkan sebuah standar pelayanan minimal yang terperinci dan harus dipatuhi oleh seluruh pelaku usaha penyedia jasa taksi. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.

‪Terakhir, Komisi menyarankan pemerintah untuk menghapus kebijakan surat tanda nomor kendaraan (STNK) taksi online yang diharuskan atas nama badan hukum. “Kewajiban STNK kendaraan taksi online atas nama badan hukum memiliki makna pengalihan kepemilikan dari perseorangan kepada badan hukum,” kata dia.

‪Ditambahkan Syarkawi, pemerintah sebaiknya mengembangkan regulasi yang dapat mengakomodasi sistem taksi online dengan badan hukum koperasi yang asetnya dimiliki oleh anggota. Sehingga, meskipun STNK tetap tercatat sebagai milik perseorangan, akan tetapi dapat memenuhi seluruh kewajiban sebagai perusahaan jasa angkutan taksi dalam naungan badan hukum koperasi.

Pengalihan STNK kendaraan pribadi menjadi koperasi tidak sejalan dengan prinsip gotong-royong yang selama ini dibangun dan dianut oleh ekonomi Indonesia. Pengalihan ini juga tidak sejalan dengan UU Koperasi.

“Pemerintah seharusnya melihat sebuah peluang untuk mengembangkan sharing economy yang luar biasa besar dari taksi online ini, dengan mengubah tatanan di mana pelaku perseorangan bisa masuk ke dalam industri,” pungkas Syarkawi. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry