Tampak Choirul Anam (kiri), Gus Firjaun (kanan) dan Anwar Sadat (tengah) saat acara launching Astranawa Institute. (FT/JATIMTIMES)

Pendek kata, Muhaimin kalah pengaruh dengan Saiful dalam hal mengendalikan kiai. Muhaimin harus rela mengusung Saiful sebagai Cagub Jatim, sedangkan Halim Iskandar cukup dengan sebutan Gubernur holopis kuntul baris.”

Oleh: Choirul Anam*

MEMBACA surat  21 kiai kepada Ketua DPW PKB Jawa Timur, tanggal 19 Mei 2017, saya kaget juga. Lha kok aneh, tidak lazim dan kebalik-balik. Kiai kok minta dilibatkan (berharap dijadikan rujukan utama) dalam proses penentuan figur Cagub Jatim dari PKB yang akan berlaga pada 2018 nanti. Mestinya, PKB yang justru meminta pertimbangan para kiai. Kok malah kiai yang meminta-minta. Ada apa? Kiai-kiai sepuh lagi!

Biasanya, kiai sepuh, atau yang popular disebut kiai khos, dalam merespons kondisi sosial menggunakan mata hati (bashiiratun), bukan mata kepala (ainun). Apalagi dengan membuat surat, mustahil. Karena yang biasa menggunakan ainun itu lazimnya bukan kiai sepuh tapi sepuhan—dibuat sepuh dengan dicelup pada zat kimia berwarna emas.

Kiai sepuh, dalam mengamati situasi dan kondisi sosial, selalu menggunakan mata hati karena agama memerintahkan: istafti qalbak—tanyalah kepada hatimu, sanubarimu, nuranimu! Karena hati merupakan ‘pusat jasad’ yang menentukan arah gerak tubuh dan muara segala peristiwa yang dialami manusia. Agama tidak hanya menyebut hati dengan kata qalbun-quluub, tapi juga dengan istilah lubbun—albaab, fuaadun-afidah dan aqlun-uquul. Artinya, suara hati sanubari, hati nurani, senantiasa lekat dengan akal sehat.

Ketajaman penglihatan mata hati mampu menembus sekat-sekat rahasia alam. Karena itu, kiai sepuh selalu menyedot perhatian banyak kalangan untuk dimintai nasehat atau pertimbangan. Bukan sebaliknya, kiai sepuh kok tersedot untuk meminta-minta dilibatkan dalam urusan gubernuran.

Dari perspektif itulah, maka wajar jika kemudian muncul reaksi keras dari kiai kampung yang dimotori Gus Fahrur (Fahrus Razi) dari Cangaan, Bangil. Jagoan kiai kampung ini tidak segan-segan menuduh surat 21 kiai merupakan bentuk intervensi, ‘tidak pantaslah,’ katanya. Maklum, kiai kampung bahasanya tidak perlu basa basi dan bersayap-sayap. Langsung to the point—tidak pastas! Kiai sepuh kok bikin surat seperti itu, malu dong!

Kiai kampung memang beda tipis dengan kiai kampungan. Kampung adalah desa atau dusun yang dihuni masyarakat tidak moderen, tapi bukan berarti tidak cerdas dan intelek. Sedangkan kampungan lebih pada tindakan orang yang tidak berbau sekolahan alias semau gue. Karena itu, reaksi kiai kampung patut direspons sebagai bentuk keprihatian atas keluarnya surat 21 kiai tersebut. Atas dasar apa 21 kiai membuat surat seperti itu? Bukankah Pilgub sudah ada pakemnya sendiri? Pilgub adalah urusan Parpol, bukan urusan kiai, apalagi NU. Siapa dan kekuatan apa pula yang mendorong para kiai sampai membuat surat semacam itu?

Untuk memahaminya, ternyata tidak sulit-sulit amat. Surat 21 kiai itu bisa dimaknai sebagai manifestasi dari ‘pertempuran’ antara Saifullah Yusuf dan Muhaimin Iskandar dalam rangka memperebutkan pengaruh NU Jawa Timur. Memang, Saiful dan Muhaimin plus Nusron Wahid, pernah bekerjasama untuk menyukseskan misinya dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang, Agustus 2015 lalu, dan mereka berhasil memasukkan beberapa orang PKB menjadi panitia dan ‘menyamar’ sebagai peserta muktamar. Saiful kemudian sukses menduduki kursi salah satu Ketua PBNU dan menjadikan sejumlah koleganya menduduki posisi penting. Sedangkan Muhaimin berhasil menempatkan tangan kanannya (Hilmi Faisal) sebagai Sekjen PBNU. Nusron Wahid juga berhasil menduduki jabatan salah satu ketua PBNU, tapi kemudian dipecat lantaran tidak mampu meyakinkan PBNU untuk mendukung Ahok yang dibantai Anies Baswedan dalam Pilkada DKI kemarin. Kerjasama mereka ini akan terus berlangsung meski dalam bentuk lain, yakni perebutan pengaruh NU untuk kepentingan mereka sendiri-sendiri.

Saifullah Yusuf telah menyatakan keinginannya untuk maju menggantikan Pak De Karwo. Modalnya adalah magang gubernur dua prriode, dan menurut survey popularitas Saiful mengungguli nama-nama Cagub lainnya. Tapi anehnya, sampai hari ini belum ada satu pun partai yang melamar dirinya. Entah kenapa? Padahal tahapan Pilkada Jatim sudah akan dimulai Agustus mendatang. Dulu Arif Afandi, tim sukses Saiful, pernah bilang bahwa jagonya positip akan diusung PDIP dan Demokrat. Tapi ternyata, PDIP rupanya akan mengusung kader sendiri Tri Rismaharini. Dan PKB sendiri rupanya juga mantap mengangkut Halim Iskandar.

Dalam suasana galau seperti itulah, Saiful kemudian ‘menggerakkan’ 21 kiai untuk membuat surat kepada PKB Jawa Timur. Sebagai salah seorang Ketua PBNU, Saiful memang dengan amat mudah untuk ‘mengendalikan’ para kiai. Dan pada sampai tahap peluncuran surat, Saiful boleh dibilang menang, karena Muhaimin tidak bakalan bisa mengelak. PKB harus merespons aspirasi 21 kiai yang akan terus berlanjut dengan berbagai pertemuan yang ujung-ujungnya harus mengusung Saifullah Yusuf. Kalau PKB menolak, resikonya sangat berat terhadap dukungan kiai pada Pemilu 2019. Pendek kata, Muhaimin kalah pengaruh dengan Saiful dalam hal mengendalikan kiai. Muhaimin harus rela mengusung Saiful sebagai Cagub Jatim, sedangkan Halim Iskandar cukup dengan sebutan Gubernur holopis kuntul baris.

Atau, Muhaimin akan tetap kukuh mengusung kakak kandungnya, Halim Iskandar, sebagai Cagub. Akibatnya, para kiai akan menarik dukungannya kepada PKB pada Pemilu 2019, dan akan terjadi perpecahan di Pilkada 2018. Atau, mengusung Saiful sebagai Cagub dan Halim Iskandar Cawagub. Ini bentuk kompromi yang paling aman, karena dengan kekuatan 20 kursi DPRD, PKB sudah bisa memberangkatkan Cagub dan Cawagub sendiri. Tapi apakah bisa menang? Apakah warga nahdliyin akan tumplek-blek memilih Saiful-Halim? Sekitar 30 juta pemilih di Jawa Timur adalah warna-warni  dominasi bang jo—abang ijo. Kalau seumpama nanti Mensos Khofifah Indar Parawansa tiba-tiba dicalonkan PDIP dengan didukung Golkar, Parpol lain dan juga kiai kampung, misalnya, berpasangan dengan Kusnadi Ketua PDIP Jatim atau tokoh lain yang sudah bermunculan, apakah para kiai mampu mengimbanginya? Wallahu’alam. (*)

*Dewan Kurator Museum NU.