KHILAFAH BERBAHAYA -- Paham khilafah cenderung mengafirkan yang tak sepaham. Ini sangat berbahaya dan mengancam eksistensi kebangsaan yang dibangun dengan susah payah bahkan dengan darah oleh founding fathers bangsa ini. Tampak Kiai Said di Kantor PBNU. (FT/jurnalismuslim.com)
KHILAFAH BERBAHAYA — Paham khilafah cenderung mengafirkan yang tak sepaham. Ini sangat berbahaya dan mengancam eksistensi kebangsaan yang dibangun dengan susah payah bahkan dengan darah oleh founding fathers bangsa ini. Tampak Kiai Said di Kantor PBNU. (FT/jurnalismuslim.com)

JAKARTA | duta.co –  Ketua Umum PBNU,  KH Said Aqil Siroj, mengingatkan kembali peran penting jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam menjaga budaya bangsa sebagai infrastruktur penguatan paham keagamaan sekaligus menjaga keutuhan NKRI (Negara kesatuan Republik Indonesia).

“Budaya bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan hukum. Kita mengenal hadits, apa yang dianggap baik oleh orang muslim, maka ia baik. Dalam tradisi madzab Hanafi kita juga mengetahui adagium: Yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan, sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash,” demikian disampaikan KH Said Aqil Siroj dalam teks pidato kebudayaan menyambut Harlah ke-91 NU, Selasa (31/1/2017).

Pijakan kaidah atau adagium itu, menurut Kiai Said,  bersumber salah satunya dari AlQur’an Surat Al-A’raf ayat 199 (Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh). Dengan demikian, budaya-budaya lokal bisa diadopsi menjadi bagian dari hukum syariah sepanjang budaya dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.

“Dengan kata lain, proses akulturasi budaya atau sinkretisme budaya dan agama sangat mungkin terjadi dalam ajaran Islam,” tegasnya.

Kiai Said kemudian memberi contoh paling konkret dalam hal ini, seperti prosesi tahlil atau kita mengenalnya dengan sebutan “tahlilan” untuk mendoakan orang meninggal dunia yang diambil dari tradisi budaya pra-Islam sebagai wadah, digabungkan dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, salawat serta dzikir pada Allah yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam, sebagai isi dan substansi dari acara tahlil itu sendiri.

“Tradisi tahlilan adalah gabungan sekaligus ramuan kreatif antara budaya di satu pihak dan ajaran agama dipihak lain. Sebagai budaya, proses tahlilan dari awal hingga akhir (selama tujuh hari berturut-turut, dilanjutkan dihari ke 40, 100 hari bahkan sampai ke peringatan tahunan/haul) merupakan infrastruktur yang berfungsi menguatkan sekaligus mengokohkan pelaksanaan syariat Islam dalam arti membaca fragmen-fragmen penting dari ayat-ayat suci Al Qur’an,” tegasnya.

Dengan demikian, lanjut Kiai Said, tahlilan merupakan gabungan antara tradisi lokal dengan ajaran Islam yang kemudian menjadi ibadah ghairu mahdhoh yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia.

Itulah implementasi dari kaidah fiqh al-adatul muhakkamah. Kiai Said kemudian menunjuk fakta yang tak bisa dipungkiri. Masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah punya tradisi yang unik.  Mereka tidak memakan daging sapi sampai saat ini karena ingin menghormati para tetangganya yang beragama Hindu.

Tradisi itu merupakan warisan yang telah turun temurun dilestarikan Sunan Kudus. Beliau sangat menghormati tradisi dan budaya masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan yang suci. Maka, sampai saat ini, sebagai bagian dari menjaga tradisi dan menghargai keragaman dengan semangat toleransi, masyarakat Kudus tidak pernah memakan daging sapi.

“Banyak contoh lain termasuk — meminjam istilah Gus Dur — keberhasilan pribumisasi Islam di bumi nusantara ini. Sultan Agung sebagai raja tanah Jawa ketika menggabungkan kalender hijriyah ke dalam kalender Jawa adalah contoh kreasi yang berhasil memberi pemahaman kultur Islam pada rakyat bawah di pedalaman Jawa. Islam menyebar di bumi nusantara ini berlangsung secara gradual, pelan tetapi berjalan dengan pasti,” jelasnya.

Tahap pertama, tambah Kiai Said, biasanya hanya berupa konversi menjadi muslim nominal (Islam KTP) terlebih dahulu. Baru kemudian pada tahap kedua, mulailah proses pematangan pemahaman Islam (ortodoksi) setelah memperoleh dukungan infrastruktur berupa budaya lokal.

“Di sinilah letak kecerdasan para wali dan pengajar Islam masa-masa awal yang memahami sosilogi dakwah dengan memperhatikan karakter dan kultur masyarakat setempat,” jelasnya.

Contoh lain, meskipun Kesultanan Demak atau Keraton Mataram amat berperan dalam penyebaran Islam, tetapi tidak serta-merta langsung memberlakukan syari’at Islam pada seluruh penduduknya.

Mengapa? Ternyata cara gradual mengandaikan, ajaran Islam lebih baik tumbuh sebagai bentuk kesadaran masyarakat (bottom-up), dari pada dipaksakan lewat peraturan-peraturan dari atas (top-down). Dengan cara gradual dan akulturatif ini, Islam diterima sebagian besar penduduk, tidak dengan menciptakan masyarakat nusantara yang terbelah sebagaimana terbelahnya antara orang Hindu dengan Muslim di India.

“Dengan begitu, nyaris tidak ada konflik. Islam tersebar dengan sejuk dan damai,” lanjutnya.

Tarik-menarik secara kreatif antara proses akulturasi dan ortodoksi ini, bukan tanpa mengalami pasang-surut dan macam-macam tantangan. Ketika proses ortodoksi tengah berlangsung intensif yang dilakukan oleh para wali dan seluruh kesultanan di nusantara, penjajah Portugis dan Belanda datang.

Akibatnya, penyebaran ortodoksi Islam menghadapi pembatasan yang sangat luar biasa. Bentuk hambatan itu antara lain berupa: penghancuran jaringan perdagangan dan dakwah antar pulau di setiap kesultanan nusantara.

Hambatan ini pada gilirannya mengurangi peran Islam sebagai kekuatan sosial, kultural, dan juga politik. Namun para penyebar Islam tidak kehilangan cara yang kreatif. Ketika jaringan niaga dan dakwah maritim menghadapi jalan buntu, pribumisasi Islam digantikan oleh para kiai pesantren yang umumnya bergelut dengan masyarakat tani di daerah pedalaman.

Para kiai ini merupakan pribadi-pribadi yang matang dididik melalui pendidikan intensif baik yang berkaitan dengan kualitas ilmu agama ataupun yang berkaitan dengan pendalaman spiritual (tasawuf). Kelak, dunia spiritual di pesantren dan masyarakat pertanian lebih dikenal dengan sebutan tarekat dari pada istilah tasawuf. Proses ortodoksi melalui jaringan pesantren dan tarekat ini berjalan intensif dan tidak mampu dihadang oleh penjajah Belanda, sehingga perannya sangat luar biasa untuk keberhasilan islamisasi berlatar belakang budaya di nusantara ini.

“Nah, dengan segala pasang surut dan berbagai tantangannya, Islam berbasis kultur setempat itu kemudian bermetamorfosa (menjelma) menjadi bagian penting sebagai penyumbang paham keagamaan dan kebangsaan. Kita mengenal mars lagu “hubbul wathan minal iman” yang sangat populer di kalangan masyarakat NU, itu adalah indikasi kuat bahwa paham keagamaan yang berlatar belakang infrastruktur budaya telah nyata-nyata menjadi jembatan bersemainya paham kebangsaan,” tegas Kiai Said.

Ketua Umum PBNU ini juga membeber tokoh-tokoh penting di balik itu. Mulai dari HOS Tjokroaminoto, Bung Karno, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri serta banyak tokoh lain telah memberi arti dan makna yang dalam atas kontribusi mereka menjembatani antara paham keagamaan dan paham kebangsaan.

Jika Imam Syafi’i berhasil meramu teks dengan rasio menjadi produk yang monumental, yaitu ijma’ dan qiyas, maka hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari mampu meramu Islam dan nasionalisme menjadi spirit kabangsaan yang terbingkai dalam diktum yang terkenal dengan hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).

“Keberhasilan ini tidak ditemui di kawasan-kawasan muslim yang sebelumnya pernah mengalami masa kejayaan paham negara khilafah di masa lalunya, seperti di negara-negara kawasan Arab pada umumnya. Di kawasan-kawasan itu, sistem negara khilafah yang utopis masih terus didambakan, dicari legitimasi pembenarannya bahkan terus dijajakan dan diimpor ke negeri-negeri lain. Tak terkecuali, ke negeri yang kita cintai ini,” tambah Kiai Said.

Paham negara khilafah seperti ini serta paham ekstrem yang cenderung menyalahkan dan mengafirkan terhadap mereka yang tak sepaham dengannya, masih kata Kiai Said, sangatlah berbahaya dan akan mengancam eksistensi paham keagamaan dan kebangsaan yang telah dibangun dengan susah payah bahkan penuh dengan perjuangan darah oleh para founding fathers bangsa ini.

Kesetiaan menjaga tradisi dan sekaligus terus berupaya mengembangkan penemuan-penemuan yang inovatif ini adalah prinsip yang dianut oleh Nahdlatul Ulama ini. Kita mengenal prinsip ‘menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi’.

“Kita sekarang sudah menikmati hasil dari titik-temu antara paham keagamaan dan paham kebangsaaan. Yaitu, berupa kemerdekaan negara ini yang dilanjutkan dengan episode-episode pembangunan politik yang berliku, hingga kita rasakan sistem politik demokrasi seperti yang ada sekarang. Dari situlah saya sebagai Ketum PBNU membayangkan, bermimpi dan bercita-cita: kapan sistem politik demokrasi prosedural ini bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil,” katanya.

Masalahnya: Bisakah demokrasi prosedural ini mensejahterakan rakyat, menghilangkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang hingga sekarang masih menganga (indeks gini rasio: 0,41% dari produk domistik bruto/PDB). Kapan sistem politik demokrasi kita bisa mewujudkan ekonomi yang bukan saja tumbuh dan berkembang, namun juga yang lebih penting adalah merata.  Alqur’an sudah menegaskan dalam surat Al-Hasyr ayat 7: “Janganlah harta hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.”

Kesejahteraan yang dihasilkan oleh sistem politik prosedural itu, disebut sebagai: demokrasi substansial. Mengapa demikian? Tak lain karena aspirasi rakyat yang dikelola oleh para wakilnya di parlemen telah berubah menjadi undang-undang dan peraturan yang memihak kepada rakyat. Bukan memihak konglomerat. Bukan berarti kita tidak setuju dengan adanya konglongmerat. Kita setuju dengan adanya konglongmerat, namun konglomerat yang terus berkomitmen mendorong kemajuan eknonomi kreatif, mengangkat ekonomi kaum miskin, dan juga komitmen terhadap terciptanya kelas menengah baru demi tercipatanya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

“Konglemerat yang demikian itu adalah konglomerat yang sesuai dengan isi hadits yang intinya “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang muda di antara kami dan tidak menghormati orang yang tua”. Begitu pula, pemerintah yang dipilih rakyat mulai dari presiden, gubernur, bupati/walikota harus terus membuat kebijakan-kebijakan yang selalu bermuara kepada kesejahteraan rakyat,” tegasnya.

Ke depan, pemerintah harus lebih hadir dan bekerja keras untuk bukan saja memajukan dan menumbuhkan, namun juga memeratakan pembangunan demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara, sekali lagi, harus hadir di dalam kehidupan masyarakat. Yang demikian itulah sesungguhnya dalam bahasa kaidah fikih disebut “Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus didasarkan kepada kemaslahatan”.

Dalam teks penutupannya, Kiai Said menegaskan betapa NU memiliki peran penting untuk NKRI. Adalah Nahdlatul Ulama, jauh sebelum Indonesia merdeka pada muktamar 1936 di Banjarmasin menyatakan bahwa Indonesia adalah Darussalam. Adalah Nahdlatul Ulama, yang para pemimpinya terlibat aktif membidani kemerdekaan Indonesia, melalui BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang menyerukan resolusi jihad 22 oktober 1945, kewajiban mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Adalah Nahdlatul Ulama, yang berdiri terdepan melawan PKI pada tahun 1965 menyelamatkan Pancasila. Adalah Nahdlatul Ulama, di era orde baru menjadi ormas yang pertama kali menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Adalah Nahdlatul Ulama, yang terlibat aktif melahirkan era reformasi.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang menolak radikalisme agama dan sentiment SARA, yang kini mengancam keutuhan NKRI. Adalah Nahdlatul Ulama, yang puluhan juta warganya istiqomah membentengi Indonesia dari ekstrimisme kiri maupun ekstrimisme kanan.  Adalah Nahdlatul Ulama yang menjadi payung besar tegaknya toleransi beragama di Indonesia.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang genap berusia 91 tahun pada 31 Januari 2017, dan tidak pernah sekalipun melakukan bughat/makar terhadap Pancasila dan NKRI. Dan, inilah Nahdlatul Ulama, meski dibully, difitnah dan dicaci tetap berdiri membela NKRI. (hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry