Oleh : Soetanto Soepiadhy
MEMBICARAKAN strategi kebudayaan, seharusnya kita sendirilah yang sanggup mengarahkan, mengembangkan dan menciptakan kembali secara baru, menyumbangkan nilai-nilai dan bentuk tingkah laku yang barangkali tidak dikenal atau bahkan ditolak dalam warisan budaya yang semula kita terima.
Berbicara tentang strategi kebudayaan, berarti menegaskan diri kita sebagai agen kebudayaan, bukan hanya sebagai penerima warisan (resipien) kebudayaaan saja, tetapi sekaligus pencipta warisan baru dalam kebudayaan di mana kita hidup. Secara singkat, kalau kebudayaan sebagai warisan cenderung bersifat normatif, maka kebudayaan sebagai strategi hauslah bersifat kreatif.
Tanpa kemampuan untuk melakukan kreativitas, kecenderungan kita terhadap perubahan kebudayaan akan menghasilkan involusi kebudayaan. Involusi kebudayaan akan mengakibatkan meningkatnya usaha untuk mempertahankan salah satu segi dari kebudayaan itu, sementara segi yang lain sudah berubah. Involusi kebudayaan, pada dasarnya adalah kemandegan kebudayaan, kelumpuhan kebudayaan, atau “pembusukan budaya”. Dan orang yang mengalami involusi kebudayaan adalah orang yang hanya akan memuja kebudayaan secara estetik dan tidak mampu melihatnya sebagai bagian dari kerja kreatif progresif.
Agen Kebudayaan
Dengan bersepakat, bahwa kita adalah agen kebudayaan (bukan pewaris kebudayaan), seharusnya kita yang menciptakan kebudayaan itu. Setidak-tidaknya mengarahkan dan mengembangkannya. Meskipun yang diarahkan, dikembangkan, atau diciptakan bertentangan dengan budaya lama. Itulah konsekuansinya.
Nenek moyang kita adalah agen-agen kebudayaan yang sangat hebat. Salah satu indokator untuk mengukur kreativitas peradaban suatu bangsa atau etnis adalah kekayaan kosa kata dan bahasanya. Saat itu, kreativitas warga mampu menciptakan jenis barang apa saja yang berbahan dasar dari alam. Misalnya, tikar dari daun pandan; payung dari kayu; peralatan rumah tangga dari kaleng bekas, bambu, atau kayu, dan sebagainya.
Bagaimana soal makanan? Dalam menciptakan makanan, mereka juga kreatif. Dari bahan singkong saja, puluhan jenis makakan dapat diciptakan, mulai getuk, keripik, sawut, tiwul, utri, mentho, hingga ceriping. Demikian pula aneka jenis sambal. Ada sambal korek, bajak, jenggot, terasi, bawang, dan seterusnya. Aneka minuman yang dicipkan juga luar biasa banyaknya. Ada wedang jahe, ronde, bajigur, kolak, dawet, sekoteng, cao, dan sebagainya.
Berbagai ragam kreativitas itu, kini digilas oleh kapitalisme global. Kreativitas masyarakat Jawa, sesungguhnya memperlihatkan keunggulan budaya mereka atas budaya asing. Kekayaan budaya tersebut menunjukkan tingginya mutu peradaban mereka. Masalahnya, peradaban itu kini redup dan urung membawa kejayaannya. Pertanyaan berikutnya, dari manakah kita dapat mengembangkan kreativitas sebagai modal budaya, jika misalnya agen-agen kebudayaan semacam mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi, kini hanya berhenti pada status resipien kebudayaan? Di negeri ini, amat sunyi karya-karya tulis intelektual. Indikatornya, tampak dari rendahnya buku yang diterbitkan.
Asa Kebudayaan Jawa Timur
Kebudayaan Jawa, khususnya Jawa Timur merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa Timur dengan keanekaragamannya banyak mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan maupun perilaku keberagamaannya. Masyarakat Jawa memiliki keunikan tersendiri. Dalam segala tindakannya biasanya tidak lepas dari mengikuti tradisi atau kebiasaan yang dianut oleh para leluhurnya. Keunikannya dapat dilihat mulai dari kepercayaan masyarakat, bahasa, kesenian, dan tradisinya. (Clifford Geertz, 1989:13).
Clifford Geertz, peneliti The Religion of Java, yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi –abangan, santri, dan priyayi– di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik.
Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan, santri, dan priyayi– merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama –petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau administratur– yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini dihasilkan.
Berdasarkan penelitian Geertz, betapa semerbaknya keanekaragaman budaya di Jawa Timur. Keanekaragaman budaya adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia, adalah sesuatu yang tidak dapat di pungkiri keberadaanya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia. Terdiri atas berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada di daerah tersebut.
Dengan jumlah penduduk Jawa Timur, lebih kurang 40 juta juta orang, mereka mendiami wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini berkaitan dengan tingkat peradaban masyarakat Jawa Timur yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan budaya luar Jawa Timur, mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan. Kemudian berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia, khususnya Jawa Timur turut mendukung perkembangan kebudayaan sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Dapat dikatakan, bahwa Jawa Timur adalah salah satu provinsi dengan tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa, namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaan di jawa Timur, dapat dikatakan mempunyai keungulan di bandingkan dengan provinsi lainya. Jawa Timur mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tidak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Jawa Timur mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang di rangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan di jalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Hubungan antar pedagang di luar Indonesia dan pesisir Jawa, khususnya Jawa Timur juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada. Singgungan-singgungan peradaban ini, pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia, khususnya Jawa Timur dalam berinteraksi dengan perbedaan. Di sisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal di tengah-tengah singgunagn antar peradaban itu.
Untuk itulah, para pelaku dan pemangku kebijakan juga sudah harus mulai berpikir transformatif. Dengan pola pikir transformatif, para pelaku budaya lokal akan bisa bersifat apropriatif terhadap perkembangan-perkembangan terbaru. Mereka tetap memiliki kesadaran untuk terus menegosiasikan dan mewacanakan makna-makna sosio-kultural dalam proses kreatifnya. Sementara, para pemangku kebijakan juga harus peka terhadap perkembangan zaman, baik dalam hal kreativitas maupun teknologi media yang bisa digunakan untuk memfasilitasi para pelaku dalam berkarya dan menyebarluaskan karya, baik dalam lingkup regional, nasional, maupun internasional. Memang, sekali lagi, dibutuhkan ‘kesadaran anggaran’ yang tidak kecil, tetapi itu masih lebih baik dari pada hanya bisa me-nina-bobo-kan para pelaku budaya lokal dengan gelar penjaga, pengawal, dan pahlawan tradisi, dan pada kesempatan yang sama menutup mata terhadap kerumitan hidup yang mereka alami.
Generasi Z
Di usia Kemerdekaan ke 72 ini, banyak yang belum tahu adanya generasi milenial dan generasi Z. Jadi di negeri ini ada generasi milenial, ada generasi Z. Dan kini generasi Z sudah mengucapkan selamat tinggal kepada generasi milenial. Generasi Z adalah generasi yang dalam kesehariannya bergelut dan menyatu dengan internet. Karena memang mereka lahir setelah ada internet. Mereka pun biasa disebut generasi internet, dan cenderung tidak begitu suka nonton TV apalagi baca koran. Mereka punya akun tapi bukan Facebook dan Twitter. Dua akun ini dianggap medsosnya orang tua, sudah ketinggalan zaman. Mereka biasanya punya akun Instagram, Path, atau Line. Dari ketiga medsos inilah mereka mendapat banyak informasi dan berita terbaru. Yang paling mereka suka platform Instagram untuk mencari informasi. Biasanya lewat video-video singkat atau gambar-gambar infografik yang berisi pengetahuan baru.
Jumlah populasi generasi Z di Indonesia diprediksi BPS pada 2010 mencapai 28,8 persen. Saat ini, mungkin generasi Z ada sekitar 75 sampai 100 juta orang. Jumlah ini akan terus membengkak, tak ada yang bisa menghentikan. Lalu, kita dan para penyelenggara negara, sudah siapkah dengan kehadiran mereka? Ya harus siap. Banyak yang bisa dilakukan. Yang penting, jangan menganggap mereka sebagai generasi yang membebani, tetapi aset utama negara untuk menjadikan Indonesia maju dan kuat di tengah percaturan dunia internasional. Karena generasi Z terdiri orang-orang terdidik yang berprestasi, biasa berpikir pragmatis dengan sikap selalu berpandangan optimis.
Tidak perlu terlalu jauh mempertanyakan apa yang akan terjadi dengan generasi Z di tahun 2045 nanti, ketika Indonesia satu abad. Tapi apa yang perlu dilakukan bagi mereka mulai sekarang dalam menapaki tahun-tahun berjalan yang tersisa 27 tahun ini. Menjadi penting, karena mereka generasi Z yang lahir setelah medio 1990-an ini memiliki ciri khasnya: pragmatis dan optimis. Itulah karakter mereka, yang tidak lahir dari ruang kosong. Tetapi dari pergulatan keseharian mereka di tengah masyarakat.
Epilog
Berdasar atas strategi kebudayaan, sudah siapkah Jawa Timur menghadapi booming Generasi Z? Dengan asumsi dilahirkan pada tahun 1995, maka generasi pertama dari generasi ini sudah berusia 23 tahun ketika Focus Group Discussion ini “berdemokrasi” hari ini. Anggota generasi pertama ini bisa jadi telah melakukan terobsan-terobosan baru dalam strategi kebudayaan dengan kapabelitas dan integritas mereka, yakni “doing the right thing when no-one is watching”. Frasa yang sederhana, namun memiliki makna yang mendalam, menggambarkan kebiasaan yang melekat dalam diri seseorang, ketulusan yang mendalam, dan tanpa pamrih, dengan tingkat kesadaran diri yang tinggi. Dengan integritas, mampu mengingatkan dan melindungi kita dari berbagai tindakan pelanggaran yang dapat merugikan pihak lain, nama baik kita, dan kepercayaan orang yang diberikan kepada kita.***
*Penulis adalah Staf Pengajar di Fakultas Hukum UNTAG Surabaya dan Pendiri ‘RUMAH DEDIKASI’ Soetanto Soepiadhy

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry