AKSI demo perempuan HTI. Ormas ini ditolak di mana-mana sebab dinilai anti-Pancasila. Pemerintah pun berencana membubarkannya. (DOK)

JAKARTA | duta.co – Heboh ormas yang dituduh berhaluan radikal mencuat lagi di tengah kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil. Kehebohan semacam ini bukan yang pertama. Bahkan sudah berkali-kali terjadi. Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau Front Pembela Islam (FPI) misalnya sudah sering diberitakan akan dibubarkan karena dinilai anti-Pancasila. Tapi sampai sekarang HTI maupun FPI semakin eksis. Bahkan ada yang terang-terangan ingin mendirikan khilafah.

“Itu lagu lama yang diputar lagi. Saya kira soal pembubaran HTI ini tinggal pemerintah berani nggak? Serius nggak, wong ini sudah diomongkan beberapa kali. Tapi kesannya hanya omong doang,” kata seorang anggota DPR di Jakarta Rabu 3 Mei 2017.

Lihat saja Kapolri (kala itu) Jenderal Polisi Badrodin Haiti dan Mendagri Tjahjo Kumolo sudah mewacanakan membubarkan HTI sekitar setahun lalu. Suasananya sama. Protes masyarakat di mana-mana.

Badrodin saat menjabat Kapolri menyatakan ada  organisasi kemasyarakatan yang anti terhadap dasar negara Indonesia Pancasila. Saat itu Kapolri menyatakan Polisi telah mengantongi nama-nama Ormas yang tidak berdasarkan Pancasila.

“Iya memang ada ormas yang tidak berdasarkan Pancasila, tetapi kan nanti dari kerangka hukumnya bagaimana. Kan kita tidak bisa bicara hanya begitu saja, kita lihat apakah nanti bertentangan dengan UU Ormas itu atau tidak,” kata Badrodin Haiti di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 10 Mei 2016 lalu.

Badrodin saat itu juga menanggapi Mendagri Tjahjo Kumolo yang mengungkapkan, bahwa ada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang cukup besar dan terang-terangan anti Pancasila. Tjahjo menyebut, ormas sejenis itu sudah tidak bisa dibiarkan.

“Saya tak bisa sebut tapi adalah. Ada organisasi yang cukup besar yang terang-terangan anti Pancasila. Kalau ada ormas yang terang-terangan menentang Pancasila, anti Pancasila, ini bahaya,” ujar Tjahjo, kala itu.

Komentar Mendagri terkait rencana Muktamar Tokoh Umat (MTU) yang digelar oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jawa Timur yang mendapat protes dari Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama. Penyebabnya, kegiatan itu mengusung ide untuk pembentukan negara Islam atau khilafah. Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jatim, Rudi Tri Wahid, kala itu menyesalkan sikap pemerintah yang membiarkan HTI menggelar muktamar dengan usungan ide khilafah itu.

“Mestinya pemerintah tegas dengan berbagai paham yang mengancam konsensus nasional NKRI,” ujarnya.

Saat itu mendagri mengaku sudah menyurati Kapolri. Dan Badrodin menyatakan dengan tegas akan menindak ormas anti-Pancasila. Selanjutnya ribut-ribut soal ormas anti-Pancasila semakin gencar. Puncaknya saat Pilkada DKI, di mana isu bertebaran soal ormas garis keras yang kemudian melebar memojokkan umat Islam secara keseluruhan. Kali ini, tanggal 28 April 2017 atau sekitar satu tahun kemudian, terjadi heboh HTI lagi. Polda Metro Jaya melarang kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap tak berizin.

Ternyata hal serupa juga terjadi di daerah-daerah. Kepolisian melarang kegiatan itu karena konsep khilafah. Salah satu kegiatan yang batal digelar adalah, agenda HTI dengan tema ’’Khilafah Kewajiban Syar’i Jalan Kebangkitan Umat’’. Kegiatan itu, awalnya direncanakan untuk digelar di Balai Sudirman Jakarta pada 23 April 2017. Namun, batal karena tak diizinkan kepolisian.

Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, kegiatan HTI dilarang dengan dikeluarkannya Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) oleh polisi. Penyebabnya, kata dia, tanpa STTP sebuah acara keramaian masyarakat dianggap tidak berizin sehingga bisa dibubarkan secara paksa jika tetap digelar.

“Kami memang tidak keluarkan izin STTP-nya, karena banyak potensi konfliknya. Jadi lebih baik kami larang,’’ kata Tito di Mabes Polri Jumat 28 April 2017.

Adapun alasan utama tidak dikeluarkan STTP, karena banyaknya protes dari yang anti-HTI. “Karena banyak ancaman dari berbagai pihak yang tidak suka, yang anti,” kata dia. Diketahui, beberapa pihak yang tak sejalan dengan HTI di antaranya adalah GP Ansor dan Banser NU. Mereka menolak HTI dengan alasan organisasi itu tidak sesuai dengan NKRI.

“Polisi kan tugasnya untuk mencegah konflik, maka janganlah (digelar kegiatan HTI),” sambung lulusan Akpol 1987 itu. Bahkan dia menilai rekrutmen HTI di kampus-kampus memiliki indikasi yang bisa dianggap berbahaya. Sehingga perkara itu kata dia sedang dibahas. “Kalau seandainya itu dilakukan (menegakan) khilafah, ya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila. Kalau buat ideologi khilafah apa bisa (sesuai) Pancasila?” tambah dia.

Mantan Kapolda Papua itu juga menegaskan, ke depan mereka akan upayakan agar HTI dihilangkan secara permanen. Dan hal itu akan mereka koordinasikan dengan Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan. “Sedang dibicarakan di Polhukam,” pungkas dia.

Mendagri  Tjahjo Kumolo malah menyatakan, HTI tidak terdaftar sebagai organisasi masyarakat (ormas) di Kementerian Dalam Negeri. Pernyataan tersebut disampaikan Tjahjo menyusul kegiatan HTI yang tidak mendapat izin dari kepolisian pada 23 April lalu. “HTI di Kemendagri tidak terdaftar. Enggak ada,” kata Tjahjo di Jakarta, Selasa (2/5).

Menurut Tjahjo, HTI hanya terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Itu pun karena pendaftaran ormas di Kemkumham berbasis dalam jaringan atau online. Berbeda dengan mekanisme yang diterapkan di Kemendagri. “Kalau kami enggak (online). Cek pengurusnya bagaimana, AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) bagaimana,” lanjut Tjahjo.

Tjahjo menjelaskan, meski ada ormas yang tidak terdaftar, bukan berarti pemerintah akan sulit mengontrol jika kegiatan ormas tersebut cenderung menentang Pancasila. Termasuk HTI yang berkas-berkas kepengurusan serta AD/ART-nya tidak dimiliki oleh Kemendagri.

“Perorangan pun yang teriak anti-Pancasila bisa kami tahan. Apalagi ormas yang punya pengikut,” kata Tjahjo. Saat ditanya langkah yang akan dilakukan apabila HTI terbukti melakukan kegiatan yang menentang Pancasila, Tjahjo menjawab, “Ayo kita cek sama-sama.”

Tjahjo tidak ingin terkesan otoriter dengan membatasi ruang gerak masyarakat untuk berserikat. Dia menekankan bahwa setiap orang berhak berkelompok dan berserikat. Namun prinsip kelompok tidak boleh bertentangan dengan empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

“Ceramah-ceramah, kegiatan-kegiatannya, harus tidak boleh menyimpang dari empat pilar tersebut,” ujarnya.

Jika terbukti ada ormas yang bertentangan dengan empat pilar, lanjut Tjahjo, ormas tersebut adalah lawan pemerintah, maka Polri, Kejaksaan Agung, Kemendagri, dan Kemenkumham berhak untuk membubarkan ormas tersebut. Pada 23 April lalu, HTI berencana menghelat bertema “Khilafah: Kewajiban Syar’i Jalan Kebangkitan Umat” di Balai Soedirman, Jakarta. Akan tetapi, kegiatan tersebut urung dilaksanakan karena tidak mendapat izin dari Kepolisian. (hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry