Cak Anam (kiri) dan Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid) Pengasuh PP Tebuireng, Jombang. (FT/MKY)

SURABAYA | duta.co – Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi melepas baju politik dengan menyatakan diri ‘kembali ke khittah-26’ pada Muktamar 26 di Semarang (Juni 1979). Sikap ini dipertegas kembali di muktamar 27 di Situbondo, pada Desember 1984, dengan melarang secara total semua pengurus NU di semua level merangkap jabatan Parpol.

Artinya, sudah 39 tahun lamanya, organisasi para kiai ini ‘membumikan’ khittah, berupaya keras agar warga NU, terutama pengurusnya memahami dan melaksanakan kebijakan tersebut.

“Ironisnya, sampai sekarang, kondisi di lapangan masih menunjukkan ‘kedekatan’ NU dengan politik praktis. Masih banyak pengurus NU tidak mau memahami, apalagi melaksanakan khittah dan mengubah orientasi politik praktisnya. Ini salah satu persoalan besar yang dihadapi NU sekarang,” demikian disampaikan Drs H Choirul Anam, Dewan Kurator Museum NU, kepada duta.co, Kamis (15/3/2018) menanggapi pertemuan PW Muslimat NU dan PWNU Jatim yang viral di media sosial.

Menurut Cak Anam, panggilan akrabnya, seluruh pengurus NU harus memahami pentingnya mengamalkan khittah NU. Seluruh pengurus NU dilarang berpolitik praktis. Kalau sampai dilanggar, akibatnya bisa menyusahkan warga NU itu sendiri, terlebih NU bisa kehilangan jati diri.

“NU punya pengalaman pahit. Totalitas NU di panggung politik praktis, membuat organsiasi ini nyaris kehilangan jatidiri — wujuduhu kaadamihi — ada, tapi dianggap tidak ada,” jelasnya.

Maka, lanjutnya, saat itu sebagian kecil petinggi NU berusaha eksis, menunjukkan  kembali bahwa NU masih ada. Melalui Konbes di Jakarta (Mei 1975) eksistensi NU mulai diakui oleh pemerintah. Ini karena dalam Konbes tersebut Presiden Soeharto memberikan amanat yang dibacakan Menteri Agama Prof Dr Mukti Ali.

“Inti pidato itu ada dua. Pertama, presiden mengakui NU tetap eksis dan masih ada. Kedua, Presiden Soehato meminta NU untuk ikut membangun manusia seutuhnya dan menjaga kerukunan antarumat beragama demi stabilitas nasional,” tegasnya.

Dari amanat itu, lanjut Cak Anam, seluruh pengurus NU di seluruh jajaran berusaha mendekati pemerintah agar menjalankan amanat presiden.

Tetapi, masih kata Cak Anam, orientasi politik praktis pengurus NU tak kunjung berubah. Seruan kembali ke khittah terhenti. Banyak pengurus yang tidak berubah orientasi politiknya. Akhirnya dibahas kembali pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah.

“Di muktamar itu dilakukan perubahan Anggaran Dasar, merumuskan garis besar haluan program kerja lima tahun NU sebagai jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dan pemilihan pengurus baru. Tetapi masalahnya tetap saja, karena pengurus baru masih berorientasi politik praktis, maka, ditegaskan lagi pada Muktamar 27 Situbondo tahun 1984. Di sini  sekaligus melarang pengurus NU seluruh jajaran merangkap pengurus Parpol. Nah, orientasi pengurus NU harus diubah dari yang serba politis, menjadi serba populis. Dari politik praktis menjadi politik dalam arti konsep dengan penggarapan budaya politik melalui pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan,” tegasnya.

Nah, masih menurut Cak Anam, orientasi politik pengurus NU Jawa Timur, ternyata, belum berubah, masih politik praktis. “Ada pengurus NU yang terang-terangan mengaku gagal menyatukan calon gubernur. Ini artinya dia gagal memaksakan calonnya menjadi satu-satunya. Ini politik praktis, berbahaya bagi NU,” jelasnya.

Lalu, lanjut mantan Wartawan Majalah Tempo ini, lebih payah lagi Gus War (KH Anwar Iskandar red.) menyebutkan dukungan kiai-kiai NU kepada Gus Ipul-Puti merupakan ijtihad yang sudah melalui serangkaian istikharah, musyawarah mulai dari Ploso, Lirboyo, Sidogiri, hingga di bumi sholawat Sidoarjo. Gus War menyebut ada i’lalnya tidak ujag ujug atau grusah grusuh.

Ironisnya, proses pelanggaran khittah ini justru diminta untuk disampaikan kepada umat, konon untuk kemaslahatan umat dan nahdliyin. Lalu ada semacam pembagian tugas diantara kader NU. Gus Halim tetap di DPRD, Gus Ipul di Gubernur, Bu Khofifah di Menteri.

“Maka, jangan heran kalau kemudian ditertawakan anak-anak muda NU, seperti JarmuNU (Jaringan Muda Nahdlatul Ulama). Mengapa? Karena justru anak muda NU ini yang lebih mengerti tentang khittah,” jelasnya.

Penulis buku ‘Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama’ itu, kemudian menyebut gerakan politik praktis PWNU dalam pusaran Pilgub Jatim 2018 sudah berbahaya. Dimulai dari manuver politik Gus Ipul di Muktamar-33 NU, Jombang, agar dia bisa masuk struktur PBNU.  Dengan begitu dia bisa memaksakan kehendaknya untuk ‘mengelola’ kiai-kiai struktural NU Jawa Timur demi kepentingan dirinya, sampai muncul ‘penugasan’ kepada kiai-kiai untuk bertemu ketua umum partai, termasuk menyambut utusan Megawati (Ahmad Basarah red.) di Lirboyo, di pondok itu juga mereka mengundang pengurus NU dan Banom-nya, tanpa atribut untuk mendukung Ipul-Puti. Semua itu merupakan gerakan politik praktis, hanya untuk memenuhi jabatan seseorang, dan jauh dari politik kebangsaan atau politik keumatan.

“Ini berbeda sekali dengan Khofifah. Dia maju karena kapasitas pribadi, bukan merekayasa NU. Khofifah menjadi Cagub bukan karena sebagai Ketua Umum Muslimat NU. Dia diminta partai karena kapasitas, kemampuannya untuk memimpin Jawa Timur. Karena pengalaman dan pengatahuannya sudah teruji. Maka, kalau sekarang Muslimat NU, ketua-ketuanya di daerah mewajibkan anggotanya memenangkan Khofifah, ini bukan saja wajar, tetapi harus. Karena kadernya dinilai layak memimpin Jawa Timur. Kalau ada jamaah muslimat tidak bangga, tidak mendukung Khofifah, ini malah aneh. Jadi, apa yang dilakukan Muslimat NU Jawa Timur, itu benar,” terangnya.

Ketika ditanya apakah semua pengurus NU Jatim berpolitik praktis? Tidak. Menurut Cak Anam, sebetulnya masih ada kiai PWNU yang konsisten di garis khittah. “Di PWNU masih ada KH Anwar Manshur, sekarang Pejabat Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Beliau sebenarnya  konsisten di garis khittah. Tetapi, karena desakan politik praktis yang dimainkan gus-gus begitu kuat, maka, menjadi kecil pengaruhnya,” jawab Cak Anam.

Karenanya, pendiri Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN) ini mengingatkan kepada siapa saja yang menjadi pengurus NU untuk berada di jalur khittah, Jika tidak, sama dengan merusak NU dari dalam. Bagi warga NU, sudah ada Sembilan Butir Pedoman Berpolitik Warga NU. Salah satu isinya, berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama.

“Jadi politik itu harus ada agamanya, dan saya melihat hanya Khofifah yang berjalan di atas 9 Pedoman Politik Warga NU,” tandas Cak Anam. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry