Kiai Khoiron Sueb. (FT/Youtube)

Oleh: Kiai Khoiron Sueb*

Terus terang, demikian banyak dan berderet pertanyaan yang tersimpan. Mungkin juga pertanyaan ini menjadi kegelisahan yang bersemayam dalam diri setiap alumni pesantren Tebuireng; mengapa Ikatan Keluarga Alumni Tebuireng (Ikapete) sulit maju?

Padahal, sebagaimana yang selalu dibanggakan dan menjadi klaim bahwa alumni Tebuireng itu pintar-pintar, banyak yang alim,  fasih mengartikulasikan pemikiran keagamaan (baca: Islam) dan memiliki posisi penting di tengah tengah masyarakat.

Luar biasa, demikian banyak alumninya yang bersematkan julukan kiai, tokoh dan gelar tertinggi akademik, profesor dan doktor. Jangan tanya lagi, yang bertitel sarjana S1. Berbaris panjang bila hal ini dilakukan.

Tak heran, bila seringkali realitas dan sekaligus keberhasilan yang dianggap membanggakan itu memunculkan ungkapan; “Gak perlu menggurui alumni Tebuireng, sama-sama hebatnya”. Peringatan ini kerapkali menyembul jika ditengari ada yang ‘ngeminteri’ dan berlagak mendikte.

Benar adanya, tak terhitung alumni Tebuireng yang berhasil. Berhasil secara politik, di birokrasi, dunia akademik, tokoh agama, hingga sukses secara ekonomi dengan pelbagai kiprah dan rupa-rupa usahanya.

Namun, mengapa keberhasilan individual itu tidak membawa dampak yang berarti bagi pengembangan Ikapete ? Berjaya secara pribadi, tetapi tidak bisa menopang keberhasilan ketika bersama sama mengelola Ikapete ?

Sungguh anomali rasanya, para alumni bukannya tidak tahu di mana letak muara persoalannya. Mereka paham betul A hingga Z penyebab sejumlah faktor utamanya. Bersamaan kefasihan mereka mengurai jelaskan perihal mengapa mereka sukses kinerja dan pilihan usahanya.

Kalau meminjam teori Bloom, mungkin kalangan alumni baru menyadari faktor-faktor yang menjadi kendala pengembangan Ikapete baru berhenti pada ranah kognitif. Sekedar mengerti di level pemahaman, pemikiran dan ucapan. Kesadaran itu belum dioperasionalkan dengan sungguh-sungguh.

Seharusnya, kesadaran itu tidak melulu menjadi kecamuk pikiran, namun berkelanjukan sebagai kesadaran afektif dan psikomotorik. Dalam bahasa pesantren, alumni yang menyadari rupa-rupa penghambat kemajuan Ikapete tidak sekedar berputar di seputar qouli, namun mesti digenjot dan menjadi gebrakan amali.

Nah, saatnya Ikapete bangkit. Ikapete harus ‘nahdah’ dalam pengertian memiliki semangat al thaqah wa al quwwah ‘ala sabil al taqaddumi al ijtima’i wa ghairih. Ikapete mestinya paralel dengan kemajuan, bukan sebaliknya.

Jika institusi alumni-alumni pesantren lainnya bisa mengalami yang menakjubkan. Kehadirannya tak sekedar bermakna bagi internal alumni, namun juga berkonstribusi bagi almamater dan masyarakat luas. Logikanya, apalagi alumni Tebuireng yang dibandingkan dengan lainnya memiliki fitrah berkemajuan dalam dirinya.

Sekali lagi, lho kok Ikapete sulit maju ? Sebenarnya, jawaban dari pertanyaan itu sudah tersimpan dalam diri alumni dan bahkan sering menjadi obyek silang pemikiran di internal Ikapete.

Kini, saatnya Ikapete bangkit. Banyak berpikir, banyak berbuat. Tak ada artinya ketokohan, kecendikiaan, kesuksesan ekonomi secara individual selaku alumni bila tak memberi pengaruh bagi kemajuan Ikapete.

*Penulis adalah alumni Tebuireng tahun 1970-an yang populer sebagai kiai yang adreng melakukan dakwah di lokalisasi.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry