Suasana Focus Grup Discussion (FGD) yang difasilitasi Yayasan Sabilillah Malang, Sabtu (10/2/2018). (FT/IST)

MALANG | duta.co — Tim Pengusul Gelar Pahlawan (TPGP) KH Masjkur yang diketuai Prof Dr KH Kasuwi Saiban, MA Sabtu (10/2/2018) kembali menggelar Focus Grup Discussion (FGD). Acara yang difasilitasi Yayasan Sabilillah Malang ini, dihadiri hampir semua rektor perguruan tinggi di Malang, sejarawan, tokoh NU serta pemerintah daerah Kabupaten Malang.

Jejak perjuangan Kiai Masjkur begitu panjang. Namanya tercatat sebagai tokoh dari kalangan Islam mewakili Nahdlatul Ulama yang ikut mendirikan Pembela Tanah Air (PETA). Selain itu, ialah anggota Pengurus Latihan Kemiliteran di Cisarua, anggota BPUPKI–PPKI, Pimpinan Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia/DMPII, Pimpinan Tertinggi Hizbullah Sabilillah, Laskar Hizbullah, PP Legiun Veteran RI, dan masih banyak lagi peran pentingnya.

“Dari sini. Yayasan Sabilillah Malang dan Pengurus Cabang NU Kota Malang bersama-sama elemen masyarakat lainnya sepakat mengusulkan KH Masjkur sebagai Pahlawan Nasional,” demikian disampaikan Abdur Rohim, salah seorang anggota TPGP kepada duta.co, Minggu (11/2/2018).

Dalam FGD yang berlangsung sekitar tujuh jam ini, diungkap antara lain perjalanan gerilya KH Masjkur di wilayah Trenggalek Jawa Timur ketika terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949. Ketika itu Presiden Soekarno dan sebagian besar menteri ditawan.

Ari Sapto, pakar sejarah militer FIS UM, menyampaikan, saat wilayah Indonesia hanya tersisa Jawa Timur, Yogyakarta dan Jawa Tengah. Maka dibentuk Pemerintah Darurat RI untuk wilayah Jawa Timur yang dijabat oleh KH Masjkur yang, ketika itu menjabat Menteri Agama, kemudian dua menteri lain Susanto dan Supeno yang kemudian tertawan.

Wilayah Jawa Tengah dijabat oleh Sukiman yang kemudian juga tertawan dan diganti olen Suroso, serta Kasimi. Hebatnya, KH Masjkur berhasil selamat dengan taktik gerilnya yang jitu.

“Kiai Masjkur tak setuju kalau mereka (tiga pejabat pemerintah darurat) bergerilya bareng. Karena kalau semua tertangkap, pemerintahan sipil bisa bubar. Pemetintahan ini penting guna memberi semangat perjuangan,” kata Dr Ari Sapto.

KH Mashudi, veteran Hizbulah dan Sabilillah menceritakan pengalamannya di masa perjuangan bersenjata bersama KH Masjkur. (FT/IST)

Forum FGD semakin klimaks ketika menjelang sesi akhir hadir KH Mashudi, veteran laskar Hizbulah dan Sabilillah yang menceritakan pengalamannya di masa perjuangan bersenjata bersama KH Masjkur. Kiai berusia lebih dari 100 tahun yang masih bersuara lantang itu juga bercerita kesaksiannya mendampingi KH Hasyim Asy’ari ke Surabaya setelah fatwa Resolusi Jihad dan sebelum peristiwa 10 November 1945.

Jalan panjang perjuangan KH Masjkur, memang layak ditelusuri. Ia merupakan seorang alim ulama, pejuang, cendikiawan, dan politisi tangguh. Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama selama empat periode sejak tahun 1952 ini, lahir di Singosari, Malang 30 Desember 1902.

Besar dalam keluarga pemeluk Islam taat, di usianya yang baru duabelas tahun, KH Masjkur sudah diasah, diajak menunaikan ibadah haji (8 bulan lamanya) oleh kedua orangtuanya, KH Makshum dan Nyai Maimunah. Kembali dari Tanah Suci, oleh sang ayah, Masykur kecil disekolahkan ke Pondok Pesantren Bungkuk pimpinan KH Thahir.

Usai dari Bungkuk, ia khusus belajar ilmu nahu saraf di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Empat tahun kemudian, meneruskan pelajarannya ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, mendalami fikih. Dari sini, ia melanjutkan pelajarannya dengan berguru kepada KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang khusus belajar ilmu tafsir dan hadits.

Tamat dari Tebuireng, berangkat ke Bangkalan, Madura, meneruskan pelajarannya di bidang qiraat Alquran di Pesantren Kiai Kholil. Tahun berikutnya, meneruskan pelajarannya di Pesantren Jamsaren. Lulus dari Pesantren Jamsaren, Solo, Kiai Masjkur memutuskan kembali ke kampung halamannya di Singosari.

Tahun 1923, ketika penjajah begitu kuat mencengkeram tanah air, ia tak segan-segan membuka madrasah yang ia beri nama Misbahul Watan atau Pelita Tanah Air. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Yayasan Pendidikan Al-Maarif Singosari, Malang.

Kecintaannya terhadap tanah air terus menggelora. Darah pejuangnya tak terbatas di sektor pendidikan.

Kiai Masjkur juga aktif dalam dunia politik dan pergerakan. Setahun kemudian (1924) ia aktif bersama KH Wahab Chasbullah dalam menggerakkan Nahdlatul Wathon di Surabaya.

Ketika pecah pertempuran sengit di Surabaya yang dikenal dengan peristiwa 10 November 1945, Ia bersama pasukannya mempertaruhkan nyawa. Di tengah desingan peluru pertempuran, dia ‘pegang’ erat kalimat isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid).

Menjelang kemerdekaan RI, ia terpilih menjadi anggota sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kecerdasan dan keuletannya, membuat Bung Karno tertegun. November 1947, Bung Karno, memanggilnya ke ibu kota RI — saat itu di Yogyakarta. Bung Karno menawari posisi sebagai menteri agama, yang ia terima di masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2. Sejak saat itu, Kiai Masjkur pindah dari Singosari untuk menetap di Yogyakarta.

Dalam Kabinet Hatta-2, Kiai Masjkur kemudian diangkat kembali menjadi menteri agama. Namun kabinet ini tidak berlangsung lama, karena pada akhir tahun 1949, terbentuk kabinet baru yang bernama Kabinet RI peralihan. Sekali lagi, pada pemerintahan kabinet ini, ia kembali dipilih menjadi menteri ngama.

Tahun 1952, Ia dipilih kembali sebagai ketua Dewan Presidium Pengurus Besar NU. Kiai Masjkur ditetapkan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Sebagai organisasi partai, terpilihnya Kiai Masjkur serta merta menjadikannya sebagai ketua partai. Karena itu, pada masa kabinet Ali-Wongso-Arifin, ia terpilih kembali menjadi menteri agama dari NU.

Salah satu hasil karyanya saat menjabat menteri agama adalah pembuatan Alquran raksasa yang menjadi Alquran pusaka. Untuk mewujudkan gagasannya, Kiai Masjkur meminta bantuan Haji Abu Bakar Atjeh, Haji Syamsiar, dan Salim Fahmi Langkat. Dengan dukungan Presiden Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta, akhirnya keinginan tersebut terwujud. Kini Alquran pusaka tersimpang di Masjid Baiturrahim, Istana Negara, Jakarta.

Di masa pemerintahan Orde Baru, ia terpilih menjadi Ketua Sarekat Buruh Muslimin Indonesia atau Sarbumusi. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang berada di bawah naungan NU. Kepemimpinannya membuat lembaga ini maju hingga pernah berkunjung ke Uni Soviet (kala itu) untuk meninjau kegiatan kaum buruh sekaligus perkembangan Islam di negara komunis tersebut.

Saat NU kemudian bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Masjkur terpilih menjadi ketua fraksi PPP di DPR yang saat itu sedang membahas RUU Perkawinan. Meski usianya semakin uzur, namun KH Masjkur terus aktif berkarya. Ia tetap menjadi rujukan pengurus besar NU (PBNU) yang senantiasa meminta saran dan nasihatnya.

Tepat! Kalau kemudian jalan panjang perjuangan Kiai Masjkur itu, dipatri sejajar dengan pahlawan nasional. Sesuai prosedur yang berlaku, kini tim sedang menyiapkan naskah akademik untuk diajukan ke Kementerian Sosial. TPGP KH Masjkur diketuai Prof Dr KH Kasuwi Saiban, MA.

Hadir dalam FGD kemarin, antara lain Prof Dr H Masykuri Bakri, M.Si (Rektor Universitas Islam Malang), Prof Dr H Abdul Haris, M.Ag (Rektor UIN Maliki Malang), Prof Dr Ir Muhammad Bisri, MS (Rektor Universitas Brawijaya), Prof Dr KH Abd. A’la, M.Ag (Guru Besar Sejarah Islam UIN Sunan Ampel), Prof Dr Hariyono, M.Pd (Guru Besar Ilmu Sejarah UM/Deputi UKP-PIP), Dr Ari Sapto, M.Hum (Pakar Sejarah Militer FIS UM), KH Dr Isyroqun Najah (Ketua PCNU Kota Malang), dan Drs H Wasto, SH, MH (Sekertaris Daerah Kota Malang). (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry