AKUR: Presiden Jokowi dan Prabowo dalam sebuah pertemuan. (tempo)

JAKARTA | duta.co  – Partai Gerindra punya kekhawatiran akan gagalnya sang ketum, Prabowo Subianto, kembali nyapres di 2019 nanti. Di balik kekhawatiran itu, muncul nama Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono mengungkapkan soal sulitnya Gerindra memajukan capres di Pilpres 2019 bila presidential threshold (ambang batas capres) sebesar 20-25%. Syarat tersebut sudah disahkan dalam UU Pemilu.

Jumlah 20% adalah minimal jumlah kursi di DPR, sedangkan 25% adalah jumlah minimal perolehan suara nasional dalam pemilu. Bila digabungkan dengan PKS yang merupakan partai kolega terdekatnya, Gerindra tetap tak bisa mengusung calon di Pilpres 2019.

“PKS nggak sampe 7%, hanya 5,5% kalau nggak salah. Gerindra 12%,” ungkap Arief dalam perbincangan, Jumat (21/7/2017) malam.

Kesempatan Gerindra untuk bekerja sama hanya tinggal dengan PAN dan Demokrat. Sebab 6 partai lainnya yakni PDIP, Golkar, PPP, NasDem, Hanura, dan PKB kemungkinan besar merapat mendukung Presiden Joko Widodo. Setidaknya Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura sudah mendeklarasikan.

“PAN 7%, Demokrat 10%, nggak cukup juga itu kalau Demokrat dan PAN berdua aja. Kalau berempat berarti cukup tapi belum tentu sama. Bisa saja Pak Amien (sesepuh PAN Amien Rais, red) tidak satu platform,” kata Arief.

“Belum tentu Pak SBY setuju juga untuk mengusung Pak Prabowo. Kalau Gerindra harga mati capresnya pak Prabowo,” imbuhnya.

Arief mengakui adanya kebuntuan mengenai hubungan Prabowo dan SBY. Kedua tokoh besar ini sulit disatukan. Sebut saja saat Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017 lalu.

“Belum tentu bisa nyatu, lihat saja Pilkada Jakarta kemarin nggak sama kan. Di putaran kedua, PAN dukung Anies. PKB dan PPP ke Ahok, Demokrat nggak pilih kan. Demokrat 2014 nggak mau ngusung Pak Prabowo juga lho,” urai Arief.

Saat pengesahan UU Pemilu, Gerindra walk out dari ruang sidang paripurna karena tidak sepakat dengan pemerintah. Hanya fraksi partai-partai pendukung pemerintah yang bertahan karena setuju dengan ambang batas capres 20-25%.

Arief menyebut pemerintah ngotot meminta angka tersebut karena ingin memunculkan calon tunggal yaitu Jokowi. Dia juga mengatakan akan sangat sulit memunculkan capres alternatif di 2019 dengan kondisi politik seperti itu.

“(Capres alternatif) sangat sulit, misal Gatot (Panglima TNI Gatot Nurmantyo, red) mau maju, lewat partai apa? Sementara pak Jokowi sudah hampir selesai melakukan konsolidasi partai,” kata dia.

“Setya Novanto (Ketum Golkar) dalam tekanan, lainnya sudah bisa dikatakan pengikut. Romi (Ketum PPP Romahurmuziy) juga sudah dapat sah sebagai pengurus partainya. Semua terlihat dalam koalisi Ahok kemarin,” sambung Arief.

Presidential threshold (PT) yang kini telah disepakati dalam UU Pemilu dinilainya sebagai bentuk ketakutan Jokowi dalam menghadapi Pilpres 2019. Arief mengatakan Jokowi tak ingin jalannya kembali ke kursi RI 1 dijegal lawan kuat.

“Ini ketakutan pak Jokowi, sangat takut dia. Satu ingin calon tunggal, kedua hanya ingin mengganjal pak Prabowo dan calon-calon alternatif. Calon alternatif sulit lahirnya. Padahal calon alternatif presiden dibutuhkan untuk menguji demokrasinya Indonesia,” ucapnya.

“Selama pak SBY nggak mau berjuang dengan pak Prabowo, ini akan ada calon tunggal saja, lawannya cuma kotak kosong. PT 20 ini melahirkan calon tunggal yaitu Joko Widodo,” tutup Arief. (det)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry