Oleh: Suparto Wijoyo*
ORGIL sedang menunjukkan kuasanya dalam membentuk brigade gerilya “membantai kiai”. Di kampung halaman Lamongan menyeruak menjadi bongkahan derita para ulama yang dikejar-kejar “persekutuan kaum gila”. Mereka bergerak serentak dari Jawa Barat menuju Jawa Timur. Kisahnya lantas terekam dalam bingkai historiografi “kolor ijo” ataupun “ninja” di Banyuwangi tahun 1998. Sejarah seperti dianyam ulang. Semuanya merentang dalam jejak “saat-saat kekuasaan tengah diperebutkan”. Dan khusus untuk Pilkada, kita perlu menjaga ketenangan sambil menuangkan cinta paseduluran, karena yang bertanding adalah “saudara seperpangkuan” di wilayah Nahdlatul Ulama.
Kini. Langkah telah diayunkan para Cagub Jatim yang tengah menyematkan nomor kepesertaannya dalam gelanggang Pilkada usai mengikuti pengundian dan penetapan oleh KPU. Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak bernomor 1 dan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno mendapat nomor 2. Adu gagasan diharapkan menjadi tema sentral Pilkada seperti yang dilantunkan menjadi judul utama berita berbagai media sejak 14 Februari 2018, jelang memasuki masa kampanye dalam menggali agenda kerja paslon. Melihat kerangka umum isu “jual kecapnya”: keduanya fokus entas kemiskinan, pacu pembangunan Madura, dan kawasan selatan. Tampak formulasi “trisakti gaya baru” untuk Jatim yang diurai dalam Program Unggulan Khofifah-Emil melalui Nawa Bhakti Setya dan Program Andalan Gus Ipul-Puti: 1 Visi, 5 Misi, 3 Strategi, 9 Agenda Program Prioritas, dan 33 Program-Janji.
Sejak 15 Februari 2018 Cagub Jatim akan mengampanyekan cita dasar kepemimpinannya ke depan yang secara mutatis-mutandis berkisar pada konten: kemiskinan, infrastruktur JLS-Madura, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, sentra pangan, dan layanan tingkat desa berbasis IT. Program Unggulan Khofifah-Emil dan Program Andalan Gus Ipul-Puti secara spesifik memang memberikan peneguhan solusi ekologis yang dihadapi Jatim meski agak terselib dalam arus besarnya. Kinerja mengatasi problema lingkungan terpotret “ditepikan” dalam onggokan brangkas visi-misi-strategi-program dan janji yang terlontar di ranah khalayak.
Sembilan Bhakti Khofifah-Emil di sayap terakhirnya, angka 9, meliterasikan Bhakti Jatim Harmoni yang merajut keserasian sosial dan alam dengan melestarikan kebudayaan dan lingkungan hidup. Kata “lingkungan hidup” sangat kentara dan atas ungkapan ini, Cagub terlihat cakap dalam mengelola masalah lingkungan. Memang Jatim telah membuktikan diri sebagai green province yang setiap tahun menyabet Nirwasita Tantra dan mayoritas kabupaten/kotanya menggondol Piala Adipura (Kencana) yang melambangkan supremasi ekologisnya. Tetapi bukan berarti Jatim bebas dari permasalahan lingkungan. Banjir dan longsor yang terjadi di Pacitan maupun bencana hidro meteorologi di Ponorogo merupakan manifestasi pekerjaan rumah pengelolaan lingkungan yang perlu direspon Cagub. Pencemaran air, tanah, udara, kerusakan bentang alam, penyalahgunaan tata ruang, konversi lahan konservasi menjadi properti, deforestasi, dan meluasnya lahan kritis, adalah realitas kehancuran ekologis dengan kerugian ekonomi dan sosial yang besar.
Cagub tidak cukup hanya fasih ekonomi dan infrastruktur tetapi gagap ekologi. Debat kandidat yang kelak dihelat KPU direkomendasikan untuk memasukkan isu lingkungan menjadi materi adu gagasan di panggung politik itu. Dalam batas ini, jangan sampai keriuhan permasalahan politik Pilkada menenggelamkan semangat ekologis yang telah berkembang di masyarakat. Komitmen untuk memunculkan pemimpin bervisi ekologis sejatinya sambung dengan pergerakan lingkungan internasional yang sudah dideklarasikan sejak 5 Juni 1972 dalam United Nations Conference on The Human Environment, di Stockholm, Swedia.
Masyarakat global berkomitmen selalu menggelorakan kesadaran kolektif mengenai kondisi lingkungan. Untuk itulah para kontestan Pilkada 2018 ini harus ditempatkan dalam koridor pembangunan berkelanjutan (sustainable development): pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengancam kepentingan generasi mendatang. Inilah pembangunan yang menyodorkan tiga pilar keseimbangan: ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terpadu. Pilkada menjadi arena “meniupkan peluit” green spirit untuk dirumuskan sebagai arus utama kebijakan menata wilayah.
Hari-hari ini harus digunakan sebagai momentum merakit penyelenggaraan Pilkada dalam semangat go-green. Episode Pilkada yang mengusung tema lingkungan merupakan episentrum kebijakan dalam setiap lini kehidupan politik modern. Pilkada dinarasikan menjadi ajang pengembangan green policy penyelamatan SDA nasional dan lokal dari perompakan kekayaan alam yang dibungkus melalui praktik “selingkuh penguasa-pengusaha”. Pengerukan kekayaan tambang di daerah acap kali bersentuhan dan melibatkan korporasi transnasional yang mengingkari makna Pasal 33 UUD 1945. Tambang di daerah terbidik bukan memakmurkan, malah “menjerat leher rakyat” (memiskinkan). Penyelenggara Pilkada berkesempatan meminta pakta integritas ekologia dari yang paling sederhana secara personal bahwa paslon memiliki kemauan untuk berbuat ramah lingkungan. Publik harus dapat akses informasi tentang kapasitas kecerdasan ekologis calon pemimpinnya.
Sehubungan dengan hal ini, saya teringat pemikiran korektif Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) dalam buku hebatnya Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Mengapa negara gagal memakmurkan rakyat dan menghadirkan kemiskinan. Dituturkan bahwa budaya, iklim, geografi, maupun kebodohan bukanlah faktor definitif yang menentukan takdir suatu bangsa, melainkan institusi politik-ekonomi sangatlah berpengaruh. Dalam lingkup demikianlah, perubahan lahan dan perkampungan yang dibiarkan di tebing-tebing berkemiringan 30-45 derajat, jelas bukan karena “budaya” melainkan ketidakpahaman para pemimpin atas kondisi lingkungannya. Di sinilah paslon dihadirkan guna “menjajakan” rencana pengaturan penataan ruang wilayah dengan perspektif planologi, ekologi, hidrologi, klimatologi, vulkanologi, geografi, demografi, bahkan ideologis-teologis.
Sebagai sumbangsih memperkuat ajakan memilih Cagub bervisi ekologis, renungkanlah pesan filosofis Mohandas Karamchand Gandhi, (1869-1948): “… earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”. Pilkada sebagai instrumen demokrasi membangun Republik ini harus tetap berjiwa merawat negeri dengan kewaspadaan terhadap munculnya orang-orang serakah. Bukankah Gandhi telah berujar penuh makna: sejatinya bumi dapat mencukupi seluruh kebutuhan umat manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang. Mari mencermati kefasihan ekologis Cagub Jatim, jangan sampai menjadi “kefasik(q)an” di kala mencuat “gerilya orang gila” mencari kiai.
* Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga