Oleh: Abd Hannan

 

 

DISKURSUS mengenai media informasi, khususnya media massa memang tidak pernah ada habisnya. Perbincangan mengenainya senantiasa menjadi wacana yang mengundang perhatian banyak kalangan, mulai politisi, pengamat, apalagi akademisi. Tulisan Ali Damsuki, berjudul Mengembalikan Roh Media Massa di kolom opini media massa (7/12/16) menjadi menarik ditanggapi. Dikatakan menarik karena tulisan tersebut berusaha melancarkan kritik, yang dalam pandangan penulis tidak lagi mengusung semangat idealism sebagaimana tercantum dalam perundang-undangan.

                Jika disimpulkan, sekurang-kurangnya pesan yang hendak disampaikan dalam tulisan tersebut berisi dua pengandaian.  Pertama, adalah kritik atas keberadaan media massa yang dinilainya mengalami keberpihakan, sehingga berita yang disuguhkan tidak berimbang, tidak berkesesuaian sehingga menjadi tawar. Kedua, pengandaian dirinya atas keberadaan media massa yang bebas nilai, dengan artian tidak terjebak atau tersandera kepentingan dan kekuasaan tertentu, seperti politik dan sistem kapitalis.

“Anthony Giddens (1939-2016) dalam sebuah bukunya berjudul The Third Way menggambarkan masyarakat yang hidup pada era modernism sebagai masyarakat risiko. Istilah ini dia tujukan untuk menjelaskan kondisi sosial budaya masyarakat yang dalam setiap aktivitas tidak bisa lepas dari teknologi.”

Namun, sekalipun tulisan tersebut ditujukan melakukan perbaikan pada peran sosial media massa, tetap saja solusi yang ditawarkan juga tidak luput dari ‘cacat’ berpikir. Yaitu, masih terjebak pada penafsiran objektivistik, serta metode keilmuan logosentris kaum positivistik (baca: modernisme) yang bias pada kebenaran tunggal. Selain itu, tulisan tersebut terkesan masih belum cukup kuat memberi penjabaran perihal subtansi gagasan yang hendak disampaikan. Sehingga terasa sukar dipahami secara komprehensif. Utamanya, menyangkut universalitas pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas dan univesalitas.

 

Risiko Modernisme

                Anthony Giddens (1939-2016) dalam sebuah bukunya berjudul The Third Way menggambarkan masyarakat yang hidup pada era modernism sebagai masyarakat risiko. Istilah ini dia tujukan untuk menjelaskan kondisi sosial budaya masyarakat yang dalam setiap aktivitas tidak bisa lepas dari teknologi. Berkembangnya teknologi dan media massa dalam macam bentuk dan rupa membuat masyarakat mengalami ketergantungan, sehingga menjadi sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—bagi mereka untuk bisa menjalankan aktvitas sosial tanpa teknologi informasi. Baik itu menyangkut sosial ekonomi, sosial politik, sosial pendidikan, dan sebagainya.

                Pesatnya perkembangan teknologi berjalan seirama dengan segala kecanggihan yang dihasilkan. Dalam era seperti sekarang, komunikasi dan interekasi sosial dapat terjalin kapanpun dan dimanapun. Seakan tidak ada batas, teknologi media informasi berserta segala kecanggihannya dapat menelisik masuk ke seluruh penjuru dunia, pedesaan, hingga ke daerah pedalamanpun. Jadilah kemudian dunia yang begitu luas mengalami—meminjam bahasanya Yasraf Amir Piliang—pelipatan. Dalam era seperti ini, tidak ada ruang yang terpisah dengan ruang lainnya. Batas-batas tritorial antara negara seakan tersingkap, kebudayaan-kebudayaan dunia melebur, sehingga menjadi sulit kemudian memilah antara kebudayaan asing dan lokal, antara realitas dan artifisial, antara fakta dan citra, antara tanda dan petanda. Demikian semua terjadi karena adanya silang sengkarut makna dan realitas yang diakibatkan oleh peran sosial teknologi yang begitu pesat dan canggih (baca: hyperealitas).

                Penjelasan mengenai konsep masyarakat risiko (risk community) Giddens, dan konsep hyperealitas di atas sejatinya dapat merumuskan bagaimana seharusnya menyikapi dinamika sosial kaitannya dengan keberadaan teknologi media massa yang dalam waktu kewaktu kian berkembang dan mempesat. Ketika teknologi media massa tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuah subtansial manusia, seperti keberimbangan, perjuangan, kebajikan dan penghormatan pada prinsip keadilan, maka hal yang yang harus dilakukan adalah sikap kritis sebagai seorang subjek. Sikap ini merupakan pengandaian atas keberadaan diri yang aktif, melihat realitas dan fenomena sosial bukan semata sebatas pada apa yang nampak dan disampaikan, namun harus mampu menelisik masuk ke bagian paling dalam. Mengungkap segala apa yang tersembunyi, dan kemudian dimunculkan ke permukaan. Sikap seperti inilah yang kemudian oleh Jaqcuis Derrida (1930-2004) disebutnya sebagai dekonstruksi. Yaitu sebuah proses pencarian kebenaran yang tidak semata terjebak pada pesan tunggal (media massa), melainkan muncul dari sikap kritis subjektivitas yang berusaha melakukan pembongkaran terhadap segala apa yang ada di dalam (What The Essence of).

 

Generasi Net

                Benar memang, jika dikatakan bahwa isu keberpihakan media massa belakangan ini cenderung kehilangan fungsi dan peran sosialnya. Kecanggihan media massa melakukan komodifikasi dan membangun opini memungkin dirinya melahirkan (hype)realitas baru melebihi realitas sebenarnya. Kebenaran dapat dipelintirkan menjadi salah, dan yang salah bisa jadi benar dan dibenarkan. Sehingga, wajar jika  kemudian banyak pihak yang menyebut bahwa keberadaan media massa sekarang ini berada pada kondisi mencemaskan. Demikian karena problem keberpihakan media massa begitu beragam. Ada yang berbasis agama, politik, ideologi, kepentingan kapital dan gerakan sosial tertentu.

                Hanya saja, sebagai bagian dari generasi net (baca: netizen) ada kecenderungan masyarakat yang hidup pada era ini tidak akan lagi mudah dipengaruhi, ditipu dan dikelebuhi pemberitaan dan informasi palsu, asal-asalan (hoax). Sebaliknya, ada upaya mereka melakukan perlawanan untuk mengimbangi, menolak, bahkan meluruskan. Menyampaikan opini dan wacana pribadi melalui ruang-ruang kosong dunia maya dan media sosial, seperti facebook, twitter, dan sebagainya.

Inilah era generasi net, dimana informasi dan pemberitaan media massa berjalan cair, fleksible, diekspresikan denga cara yanga asyik dan gaul. Membuat petisi online, menyampaikan surat terbuka, menyebarkan video, serta beragam pesan media sosial yang bisa jadi solusi mengimbangi keberadaan dan perkembangan media massa.

*Penulis adalah Pengamat sekalgius  akademisi sosial di Pascasarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry