SURABAYA – Kompetisi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang baru saja usai, menimbulkan efek domino terhadap pemilihan kepala daerah di tempat lain, termasuk Jawa Timur. Namun efek domino Pilgub DKI diyakini tidak terlalu signifikan di Pilgub Jatim yang akan digelar 27 Juni 2018. Pasalnya, karakteristik masalah dan tipologi masyarakat Jatim berbeda dengan Jakarta.

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran (Unpad), Muradi Clark mengungkapkan, saat ini sudah ada kampanye dan penggalangan opini agar tidak memilih partai pendukung penista agama. Namun pengaruhnya tak akan signifikan di Pilgub Jatim, mengingat dalam Pilgub pemilih lebih condong melihat figur calon gubernur atau wakil gubernur daripada partai pengusung.

“Ada efek domino Pilgub DKI Jakarta terhadap Pilgub Jatim tapi tidak terlalu signifikan. Bahkan sangat kecil pengaruhnya,” ujar mantan aktivis mahasiswa 1998 saat dikonfirmasi, Selasa (25/4) kemarin.

Doktor dari Flinders University, Australia ini memprediksi, isu Suku Agama Ras Antar Golongan (SARA) yang kental pada Pilgub DKI Jakarta juga akan terjadi di Pilgub Jatim. Hal itu mengacu kelompok masyarakat yang aktif menolak Ahok menjadi gubernur DKI datang dari beberapa daerah di Jatim.

Namun Muradi menilai isu SARA di Jatim skalanya kecil, kalaupun ada kemungkinan akan menyerang Calon Gubernur maupun Wakil Gubernur perempuan. Dari sejumlah nama kandidat yang muncul dipermukaan ada nama figur perempuan seperti Khofifah Indar Parawansa dan Tri Rismaharini. Belakangan juga muncul politisi perempuan Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf.

“Isu SARA ada kemungkinan digunakan seperti Surat An Nisa 34 yang sering dijadikan landasan untuk menolak pemimpin perempuan. Tapi skalanya kecil, buktinya Khofifah dua kali maju Pilgub tidak mendapat penolakan yang berarti. Terkecuali ada pihak yang memainkan isu ini secara massif dan sistematis,” beber Muradi.

Alumni aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini mengingatkan, selama kepemimpinan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) Jatim relatif kondusif. Terlebih Jatim adalah basis Nahdlatul Ulama (NU) dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan semangat Islam Nusantara.

“NU yang mayoritas di Jatim terkenal sangat menghargai tolerasi dan keberagaman akan memiliki peran vital menjaga situasi kondusif di Jatim,” dalihnya.

Muradi melanjutkan, tanpa isu SARA maka masyarakat yang akan diuntungkan, karena para calon akan menjual program. Dengan begitu pemilih tinggal memilih calon yang programnya paling bagus dan rasional. Tentu saja tanpa mengesampingkan ketokohan calon.

“Tanpa isu SARA, masyarakat akan memilih pemimpin secara rasional. Berdasarkan program yang ditawarkan,  rekam jejak dan kemampuan. Dengan begitu, akan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas,” pungkas Muradi. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry