BILATERAL: Pertemuan PM Jepang Shinzo Abe dan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Minggu (15/1) kemarin. (IST)
BERTEPATAN MALARI: Pertemuan PM Jepang Shinzo Abe dan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Minggu (15/1/2017) . Kedatangan PM Abe bertepatan dengan Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Saat itu di Jakarta pecah kerusuhan menolak kedatangan PM Tanaka Kakuei. Jatuh banyak korban jiwa. (IST)

Faisal Basri pada Refleksi 43 Tahun Malari

JAKARTA | Duta.co – Kedatangan  Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ke Indonesa, Minggu (15/1/2017), bertepatan dengan peringatan Peristiwa Malari (Malapekata 15 Januari) 1974. Saat itu di Jakarta muncul kerusuhan menolak kedatangan PM Tanaka Kakuei. Mahasiswa berunjuk rasa memprotes masuknya modal asing.

Faisal Basri (IST)

Bersamaan dengan itu, pecah kerusuhan di Jakarta. Kawasan Pertokoan Senen, Harmoni, dibakar orang tak dikenal.  Mobil dihancurkan, show room mobil buatan Jepang diobrak-abrik. Korban berjatuhan.

Total terdapat 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dibakar, 160 kg emas raib. Selain itu terdapat 144 gedung yang porakporanda, termasuk gedung Astra Toyota Motors, Coca-cola, Pertamina, dan puluhan toko di Proyek Senen.

Mahasiswa yang saat itu tengah berunjuk rasa memprotes masuknya modal asing ke Indonesia di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Salemba dituduh jadi biang keladi. Ketua Dewan Mahasiswa UI saat itu, Hariman Siregar, ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan makar.

Kini setelah 43 tahun, bagaimana kondisi ekonomi dan kesenjangan sosial di Indonesia? Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, perkembangan dan kesenjangan ekonomi Indonesia dalam kurun dua tahun terakhir belum menggembirakan. Bahkan, di beberapa sektor malah tampak mengalami penurunan.

‘’Memang ada yang mengatakan kesenjangan membaik karena angka gini rasio turun. Tapi nanti dulu, angka gini rasio itu hanya menyoal soal pengeluaran. Bukan pada besaran angka pendapatan,” ujar Faisal Basri dalam acara Peringatan 43 tahun Peristwa Malari, di Jakarta, Minggu (15/1).

Dikatakan Faisal, orang kaya dan miskin sama kalau dilihat dari kebutuhan makan. Misalnya, hanya sama-sama makan satu piring atau tak bisa pakai beberapa mobil dalam satu waktu sekaligus.  Namun, kalau dari sisi pendapatan antara yang kini miskin dan kaya akan berbeda sekali. “Yang kaya bisa sangat berlipat-lipat pendapatannya dari yang miskin,’’ kata Faisal.

Faisal mengatakan, kalau dilihat dari indeks kesenjangan pendapatan antara  orang kaya dan miskin dunia, maka posisi Indonesia kini berada pada peringkat keempat dunia. Posisi ketidaksamaan (unequal) ini di belakang Rusia yang kesenjangaannya mencapai 74, 5 persen, India (58,4 persen), Thailand (58 persen), Indonesia (49,3 persen). Dalam hal ini menjadi tidak mengejutkan bila ada fakta bahwa 10 persen orang di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan Indonesia.

‘’Data lain juga kini menunjukkan bahwa 2/3 dari orang kaya yang ada di Indonesia itu menjadi ‘kroni’ atau orang yang dekat dengan kekuasaan,’’ katanya. Faisal juga mengatakan mengacu pada ‘The Crony-Capitalism indek’ maka posisi orang yang menjadi kaya berkat ‘dekat’ pada kekuasaan di Indonesia berada pada peringkat keenam dunia, di bawah Rusia, Malyasia, Philipina, Singapura, Ukraina, dan Meksiko.

Penurunan kesejahteraan rakyat Indonesia kini juga terlihat dengan nilai tukar petani yang terus turun dalam dua tahun terakhir. Upah riil rakyat juga ikut meluncur ke bawah. Jam kerja para buruh misalnya yang sebelumnya rata-rata mencapai 40 jam per pekan kini tinggal 25 jam per pekan.

 ‘’Orang Indonesia kini menduduki peringkat ketiga sebagai orang yang paling keras bekerja, di bawah Korea Selatan dan Hong Kong. Uniknya, meski orang kita bekerja lebih keras, hasilnya berbeda dengan orang yang bekerja di kedua negara itu. Penghasilan orang Indonesia tetap lebih sedikit dari mereka,’’ ujar  Faisal Basri.

Pada akhir-akhir ini, masa tunggu untuk mendapat pekerjaan di Indonesia juga semakin panjang. Bila dua tahun lalu masa tunggu untuk mencari kerja mencapai enam bulan, maka kini sudah mencapai satu tahun.

 ‘’Memang ada pembangunan infastruktur, tapi yang merasakannya hanyalah mereka yang kaya saja,’’ tukas Faisal serayaa berseloroh apakah dalam situasi ini perlu adanya ‘Malari’ lagi.

 ‘’Yang jelas data saya ini jelas karena di antaranya diambil dari dara Badan Pusat Statistik (BPS). Mudah-mudahan dengan bicara begini saya tidak dikirimi ‘surat cinta’ lagi,’’ tegas Faisal Basri.

Hariman Siregar (IST)

Hariman Siregar Bicara

Lalu apa kata Hariman Siregar –yang ditangkap karena peristiwa Malari–tentang kunjungan PM Jepang Shinzo Abe ke Indonesia? Apa pula katanya tentang kondisi ekonomi Indonesia saat ini?

“Sebenarnya tak beda dengan Tanaka, kedatangan Abe juga dalam rangka kerja sama ekonomi. Bedanya dulu Tanaka datang untuk menjalankan perintah Amerika Serikat untuk menyelamatkan Indonesia dari komunis. Kini Abe datang untuk menyelamatkan posisi Jepang terhadap Cina di Asia dan Asia Tenggara dalam kerangka besar dari proyek super kapitalis,” kata Hariman di Jakarta, Minggu (15/1).

Bagi Hariman tak ada yang mengejutkan dengan situasi Indonesia di masa terakhir ini. Disadari atau tidak, negara akan masuk dalam pusaran ‘deglobalisasi’ di mana semua negara cenderung akan menutup diri dan tidak peduli terhadap soal negara lain.  Dengan kata lain, lanjutnya, di dunia ini kini telah bangkit kembali populisme yang kerap salah kaprah. Ini terjadi karena terus berkepanjangannya krisis ekonomi dan berkuasanya ‘super kapitalisme’.

Poros dunia lama yang terbagi antara komunisme dan kapitalisme telah hancur. Celakanya, ketika kapitalisme berkuasa ternyata keadilan tak tercipta, pengangguran meledak, kesenjangan sosial menggila, dan negara menjadi ‘chuavinis’ seperti ala zaman Musolini dan Hitler saat menguasai Eropa.

Untuk kasus Indonesia, munculnya ‘populisme’ yang salah karpah itu bukanlah isapan jempol bila melihat kondisi kesenjangan sosial. Mengutip data Bank Dunia terbaru, Indonesia menduduki negara ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand.

Bayangkan saja, kata Hariman, 1 persen rumah tangga terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Bila jaringnya diperlebar, 77 persen kekayaan nasional hanya dikuasai oleh 10 persen penduduk Indonesia. Selebihnya yang 90 persen hanya menikmati 23 persen kekayaan nasional.

Siapa saja orang-orang terkaya Indonesia itu? Mengutip data Majalah Forbes 5 tahun terakhir, di antara 50 orang terkaya Indonesia ada sekitar 44 orang dari keturunan China. “Kenyataan itu menggambarkan betapa kita rentan dibakar oleh isu-isu rasial yang sebenarnya berakar dari kecemburuan sosial,” ujar Hariman.

Warga yang terbekap oleh kesulitan hidup akan merasa diperlakukan tidak adil akan dengan mudah menjadi penyokong gerakan populis  yang antidemokrasi dan antipluralisme. Namun, menurut Hariman, bagi sebagian besar warga, bukan persoalan ras yang menjadi akar persoalan.

“Melainkan persoalan bagaimana pemerintah berlaku adil bagi semua kalangan. Bukan hanya mengutamakan kepentingan pemodal besar yang mungkin lebih banyak menghasilkan uang tapi dampaknya memicu kesenjangan dan kecemburuan sosial. Oleh karenanya Bhinneka Tunggal Ika tidak akan pernah tegak bila struktur ekonomi di masyarakat masih diwarnai oleh kesenjangan,” urai Hariman.

Untuk itu, kebijakan ekonomi yang secara serius dan bersungguh-sungguh menurunkan angka kesenjangan sosial jelas lebih berguna ketimbang mengejar pertumbuhan tinggi yang porsi terbesarnya dinikmati oleh 1 persen warga. Terlebih lagi, rasio gini yang disepakati sebagai alat pengukur kesenjangan, dalam 10 tahun terakhir tidak banyak berubah, berkutat antara 0,39 – 0,43 yang artinya tetap lampu kuning alias peringatan.

Memang, tren kesenjangan sosial yang makin melebar sudah terjadi sejak 2011. Padahal saat itu harga-harga komoditas ekspor Indonesia seperti batu bara dan CPO sedang booming namun nyaris tidak ada nilai tambah yang kita nikmati.

“Karena kita hanya mendapatkan pajak, biaya operasional dan gaji pegawai, selebihnya lari keluar negeri. Itu sebabnya mengapa sumber daya alam kita yang terus dikuras tidak memberikan manfaat yang berarti bagi kemakmuran masyarakat banyak,” ujar Hariman.

Adapun angka kemiskinan, seperti halnya cerita pemerintah sebelumnya, senantiasa digambarkan persentasenya berkurang. Namun secara jumlah, mengutip data BPS Maret 2016, masih ada 28,01 jiwa. Kemiskinan yang paling parah di pedesaan. Baik indeks kedalaman kemiskinan maupun indeks keparahan kemiskinan dalam satu tahun terakhir justru cenderung meningkat.

Indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari sebelumnya, Maret 2015 dengan angka 2,55 menjadi 2,74 pada Maret 2016. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan juga meningkat dari 0,71 pada Maret 2015 menjadi 0,79 pada Maret 2016. Kondisi itu tentunya berkait erat dengan menurunnya nilai tukar petani (NTP) yang terus merosot dari 102,55 pada Januari 2016 menjadi 101,47 pada Juni 2016.

“Itulah sedikit gambaran tentang kesenjangan dan relatif ajegnya angka kemiskinan di negeri yang kita cintai dengan sepenuh jiwa. Tentu saja kita berharap, pemerintah dapat segera menyikapi gambaran besar yang sedang terjadi dan menurunkannya menjadi kebijakan yang dapat mengatasi segala persoalan yang ada,” ujarnya. ful, rol, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry