INILAH.COM

JAKARTA | duta.co – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang pemerintah hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.034,80 triliun. Angka ini tumbuh 13,46% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017. Ini terjadi saat dolar terus menguat terhadap rupiah, saat ini bertengger di kisaran Rp 13.700-an. Demikian dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan, Kamis (15/3).

Utang pemerintah Rp 4.034,80 triliun tersebut terbagi dalam pinjaman luar negeri yang mencapai Rp 771,76 triliun dalam bentuk pinjaman bilateral Rp 331,24 triliun. Kemudian, pinjaman multilateral Rp 396,02 triliun. Berikutnya, pinjaman komersial Rp 43,32 triliun dan pinjaman suppliers Rp 1,17 triliun.

Sementara pinjaman dalam negeri tercatat Rp 5,78 triliun. Di sisi lain, tercatat juga utang dalam bentuk surat berharga negara (SBN) Rp 3.257,26 triliun yang terdiri dari SBN dalam denominasi rupiah sebesar Rp 2.359,47 triliun dan Rp 897,78 triliun.

Catatan total utang itu setara dengan 29,24% terhadap PDB. “Dengan Pengelolaan Yang Pruden dan Akuntabel, Utang Pemerintah Masih Dalam Level Aman Pada 29,2 persen,” bunyi keterangan dalam situs Kemenkeu.

Mengutip situs Kementerian Keuangan, berjudul APBN Kita, total utang terhadap PDB RI tergolong rendah. Rendah itu setelah dibandingkan dengan total utang terhadap PDB berbagai negara dengan tingkat ekonomi yang setara dengan Indonesia atau peer countries.

Misalnya, Vietnam 63,4 persen, Thailand 41,8 persen, Malaysia 52,7 persen, Brasil 81,2 persen, Nikaragua 35,1 persen, dan Irlandia 72,8 persen. “Maka Indonesia mempunyai total utang terhadap PDB yang sangat kecil,” bunyi data tersebut.

 

Utang RI Berbahayakah?

Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, hal itu bisa saja berbahaya jika melihat dari porsi kepemilikan surat utang yang diterbitkan pemerintah selama ini.

Enny mengatakan, porsi kepemilikan surat utang Indonesia oleh asing saat ini yang sebesar 40% bisa mengancam semakin melemahnya nilai tukar saat adanya aksi ambil untung oleh asing sebab dari faktor menguatnya dolar.

“Sebenarnya kalau yang megang itu orang asing, risikonya ya hampir sama dengan utang luar negeri. Bedanya nanti beban bunga dan cicilan kalau dolarnya naik, itu kan menjadi besar. Tapi kalau yang pegang asing, porsinya kan seperti yang kemarin aksi profit taking, bareng-bareng keluar, cabut, sehingga itu yang memperlemah dolar,” kata Enny dikutip dari detikFinance, Kamis (15/3).

Utang luar negeri Indonesia sendiri diklaim aman lantaran didominasi utang jangka panjang. Porsi utang luar negeri jangka panjang mencapai 85,7%, sedangkan yang berjangka pendek hanya 14,3% (data per akhir 2017).

Namun demikian, pertumbuhan utang jangka pendek tercatat cukup tinggi yaitu 19,8% secara tahunan dan 10,8% secara bulanan. Pertumbuhan tersebut di atas utang jangka panjang yang naik 7,5% secara tahunan dan 3,9% secara bulanan.

Porsi 40% kepemilikan asing terhadap surat utang yang diterbitkan Indonesia juga semakin mencemaskan jika fundamental ekonomi dalam negeri tidak stabil. Untuk itu, melemahnya rupiah bisa membuka ruang lebih besar bagi asing untuk melakukan aksi ambil untung.

“Artinya ruang untuk spekulasi itu terbuka karena ekonomi kita masih sangat tergantung terhadap dolar tadi. Itu namanya risiko fiskal. Kalau utangnya naik, berarti kebutuhannya tinggi. Itu yang menyebabkan ruang untuk spekulasi terbuka,” ujar Enny dikutip dari detik.com. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry