JAKARTA | duta.co – Kabar duka tentang dokter Stefanus Taofik, menjadi viral di media sosial. Spesialis anastesi lulusan Universitas Kristen Atma Jaya ini meninggal dunia di ruang jaga saat sedang bertugas.

Informasi tersebut pertama kali diunggah melalui laman twitter @blogdokter pada Selasa 27 Juni 2017 sekitar pukul 22.38.
Dokter muda yang masih berusia 35 tahun tersebut dikabarkan meregang nyawa dalam kondisi kelelahan akibat bertugas nonstop selama 4 hari 3 malam berturut-turut.

Ketua Umum Persatuan Dokter Anastesi Indonesia dr Andi Wahyuningsih Attas, SpAn KIC MARS menjelaskan dr Stefanus Taofik merupakan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif. Ia juga anggota PERDATIN DKI Jakarta.
“Almarhum adalah peserta Pendidikan Fellowship Konsultan Intensive Care (KIC) di RSCM semester ke-2,” katanya.
Dijelaskan, saat meninggal dunia, almarhum sedang melakukan pekerjaan sebagai dokter anestesi di RS Pondok Indah, Bintaro Jaya, bukan dalam tugasnya sebagai peserta didik.

Pada saat ditemukan tidak berdaya, almarhum sedang bertugas jaga 24 jam. Namun dengan kondisi satu pasien di ICU dan telah pindah ke ruangan serta hanya satu pasien di kamar operasi, almarhum meminta pertukaran hari jaga dengan rekannya sehingga memungkinkan almarhum untuk jaga 2 x 24 jam dan libur setelahnya.

Selain bertugas di RS Pondok Indah, almarhum juga bertugas sebagai fellow KIC di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan dokter jaga di RS Jantung Diagram, Cinere.

Bukan Kelelahan

Soal bekerja nonstop tanpa ada dokter lain yang menggantikan, yang diduga memicu kelelahan dan berujung meninggalnya Stefanus di ruang jaga, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes membantahnya. Ia menyebutkan bahwa kematian dokter Stefanus, bukan disebabkan kelelahan akibat beban kerja atau overworked.
Lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan pada 28 Juni 2017, ia menjelaskan bahwa dokter Stefanus bertugas jaga seperti biasa dan tidak banyak menangani pasien.

“Pihak RS menjelaskan dr stefanus menangani satu pasien di ICU dan satu pasien operasi sedang pada saat bertugas tanggal 24 sampai 25 Juni”, kata Kuntjoro.

Ia meluruskan kabar kelelahan kerja dokter Stefanus akibat memberikan kesempatan seniornya berlebaran. “Saat beliau bertugas, pihak RS juga menugaskan dua dokter anestesi purna waktu yang siap jika diperlukan,” ujarnya.

Soal penyebab lain meninggalnya dr Stefanus diduga karena penyakit brugada syndrome yang dideritanya, pihak rumah sakit yang dikonfirmasi menolak memberikan keterangan dengan alasan bukan kewenangannya.

Brugada syndrome adalah penyakit kelainan genetik pada pembuluh darah di koroner. Yang sering menyerang saat tidur hingga menyebabkan kematian.

Jam Kerja Dokter Indonesia
Kasus dokter Stefanus lalu memicu persoalan lain soal jam kerja dokter di Indonesia yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Indonesia,tercatat belum memiliki aturan khusus mengenai jam kerja dokter.

“Tidak ada aturan khusus semua tergantung kebijaksanaan Rumah Sakit masing-masing. Dokter adalah jabatan profesi jadi tidak ada batasan jam kerja. Salah satunya kaitan moral, tidak mungkin dokter menolak pasien yang membutuhkan pertolongan,” ujar dr Abri Janto SB, M.Si Rabu 28 Juni 2017.

Itu artinya, aturan terkait soal jam kerja dokter masih merujuk pada Pasal 77 Ayat (2) UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ayat tersebut mengatur bahwa waktu kerja maksimum seorang tenaga kerja adalah tujuh jam satu hari (untuk enam hari kerja dalam satu minggu) atau delapan jam satu hari (untuk lima hari kerja per minggu).

Namun, kenyataannya, dokter seringkali bekerja lebih lama dari aturan tersebut karena alasan kemanusiaan.

Selain itu, ada regulasi bahwa dokter dapat memiliki Surat Izin Praktik (SIP) di tiga tempat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007.

Peraturan tersebut sebenarnya merupakan upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter (yang dilakukan dengan membatasi tempat praktik dokter). Padahal hal tersebut juga berkaitan dengan kurangnya tenaga kesehatan di Indonesia dan di daerah terpencil.

“Sebetulnya kebijakan libur adalah tugas yang diatur rumah sakit di mana dokter-dokter tersebut bekerja. Di sana ada bagian SDM yang bekerja untuk atur siapa yang harus masuk dan tidak. Jadi dengan begitu tak hanya disisakan 1 atau 2 orang dokter saja,” ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay.
Karena itu, ke depan, Saleh mengharapkan Kementerian terkait mengeluarkan aturan yang lebih spesifik.

“Karena dokter kita di indonesia ini kan kurang, belum cukup untuk rasio jumlah penduduk kita. Kalau ada sedikit saja yang libur akan terasa sekali. Karena itu harus ada pembagian, bagaimana caranya diatur sedemikian rupa supaya tidak mengganggu jalannya pelayanan kesehatan.”

Ia juga mengharapkan agar rumah-rumah sakit atau RS dapat mengatur cuti para dokter dan paramedisnya dengan lebih baik. Karena faktanya, walaupun pada masa libur, orang yang membutuhkan perawatan bukan malah berkurang.

“Musim mudik menyebabkan mobilitas orang sangat tinggi. Selain sakit pada umumnya, banyak juga ditemukan korban kecelakaan. Semua ini tentu perlu mendapatkan penanganan medis yang tidak bisa ditunda,” kata Saleh.

Menurut Politikus PAN ini, akan sangat bijak bila ada aturan tentang cuti Lebaran bagi para dokter dan paramedis sehingga beban kerja pada masa libur tak hanya dibebankan kepada segelintir orang saja. (vvn)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry