PBNU memberikan dukungan penuh terhadap pemerintah untuk menghadapi PT Freeport. Tampak satuan Banser siap berada di garda paling depan, jika Freeport tidak tunduk kepada aturan Republik Indonesia. (FT/IST)

Tampak satuan Banser siap berada di garda paling depan, jika Freeport tidak tunduk kepada aturan Republik Indonesia. (FT/IST)

Perampokan ekonomi oleh Amerika terjadi di tanah Papua. Melalui PT Freeport Indonesia, AS mengeksploitasi 2,6 juta hektare, termasuk 119.435 hektare hutan lindung dan 1,7 juta hektare hutan konservasi. Papua berubah menjadi danau. Hak masyarakat adat digusur. Ketika hendak diatur, Freeport mokong. Dia merasa bisa jatuhkan presiden. Kini saatnya rakyat bersatu, tunjukkan, bahwa, Freeport tak lagi bisa jatuhkan presiden.

GILA! PT Freeport Indonesia tiba-tiba menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua yang berjumlah puluhan ribu dirumahkan. Jika ini terus berlangsung, perekonomian di Papua akan goyang. Lebih dari 90% pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Mimika, sekitar 37% PAD Provinsi Papua berasal dari Freeport.

Sekarang, puluhan ribu pekerjanya mengancam menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara dan pelabuhan kalau pemerintah tak segera memulihkan kegiatan produksi Freeport. Padahal, pangkal masalahnya, Freeport mokong, hanya butuh kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sementara pemerintah ingin mengatur bahwa kekayaan alam ini harus bermanfaat untuk rakyatnya, pemerintah ingin kendali yang kuat atas kekayaan sumber daya mineral tersebut.

Yang lebih menjengkelkan, Freeport menjadikan karyawan sebagai sandera, kunci penyelesaikan. Dari sini, Freeport benar-benar kejam, tidak memiliki perasaan. Apalagi berencana menyeret pemerintah ke peradilan internasional. Ini sama saja mengajak perang.

“Ya! Secara tidak langsung, Freeport sudah mengajak perang. Kalau masalah perpanjangan kontrak karya (KK) Freeport McMoran dengan pemerintah, sebaiknya tak dibawa ke arbitrase nasional. Karena proses arbitrase cukup panjang dan bisa memakan waktu 3 tahun. Padahal, selama proses arbitrase, kegiatan penambangan harus tutup. Dengan demikian, kondisi tambang akan rusak berat,” kata Kurtubi, anggota Komisi VII DPR RI dari Partai NasDem.

Dari sini, niat buruk Freeport terlihat jelas. Karenanya, pemerintah diminta tegas, tidak perlu takut. KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU mengatakan, walaupun selama ini Freeport telah berjasa ikut membangun Papua dan perekonomian nasional, tetapi, tetap harus tunduk pada Undang-undang di Indonesia dan tidak semaunya sendiri.

PBNU, kata Kiai Said, selalu berada di belakang pemerintah dalam menghadapi PT Freeport yang akan menggugat pemerintah Indonesia ke peradilan internasional.

Beredar informasi, Freeport memang sedang mengambil ancang-ancang menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. Ini terlihat ketika Richard C Adkerson President dan CEO Freeport McMoRan Inc melakukan konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2) untuk menjelaskan duduk permasalahannya. Ia menegaskan, Freeport tak dapat menerima IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) sebagai syarat izin ekspor konsentrat.

Freeport enggan mengubah operasi dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bahkan perusahaan ini menolak rekomendasi ekspor yang diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Untuk beberapa alasan, kami tidak dapat menerima kondisi tersebut,” kata Presiden dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C. Adkerson.

Menurut Adkerson, pemerintah memang telah memberikan izin ekspor dengan syarat mengubah operasi KK menjadi IUPK. Perubahan ke IUPK, dinilai tidak memberikan kepastian bagi perusahaan. Adkerson menunjuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang menyatakan KK bisa terus berlaku. Freeport pun ingin menerapkan IUPK tanpa melepas KK.

Freeport sudah mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada Jumat, 17 Februari 2017. Surat ini menjelaskan perbedaan pendapat antara perusahaan dan pemerintah. Adkerson berharap, kedua belah pihak bisa satu suara mengenai perbedaan pendapat mereka dalam waktu 120 hari. Jika tidak, ia menyatakan tidak menutup kemungkinan dilanjutkan ke arbitrase. “Hari ini Freeport tidak melapor ke arbitrase, tapi kami memulai proses untuk melakukan itu (arbitrase),” katanya.

Lalu apa bedanya KK dengan IUPK? IUPK ini diberikan agar Freeport dapat melanjutkan kegiatan operasi dan produksinya di Tambang Grasberg, Papua. Sebab, berdasarkan Pasal 170 Undang Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemegang KK diwajibkan melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014. Itulah sebabnya, KK tidak diberlakukan oleh pemerintah.

Artinya, Freeport sebagai pemegang KK tak bisa lagi mengekspor konsentrat tembaga, karena hanya produk yang sudah dimurnikan yang boleh diekspor. Sementara perusahaan tambang yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat (AS), itu baru bisa memurnikan 40% dari konsentrat tembaganya di smelter Gresik.

Di sinilah Freeport menolak IUPK. IUPK dinilai tidak memberikan kepastian dan stabilitas untuk jangka panjang. Freeport ingin mempertahankan hak-haknya seperti di dalam KK. Perbedaan utamanya ialah status perjanjian, KK adalah ‘kontrak’ dan IUPK ialah ‘izin’. Dalam KK, Freeport dan pemerintah Indonesia adalah 2 pihak yang berkontrak, kedudukannya sejajar. Sedangkan kalau IUPK, negara adalah pemberi izin yang berada di atas perusahaan pemegang izin.

Sementara, UU Minerba dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyebutkan berbagai hak dan kewajiban bagi pemegang IUPK, yang tentunya berbeda dengan hak dan kewajiban pemegang KK. Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari sini jelas bahwa IUPK bersifat prevailing, mengikuti aturan perpajakan yang berlaku. Besarnya pajak dan PNBP dapat berubah ketika ada perubahan peraturan. Inilah yang dianggap sebagai ketidakpastian oleh Freeport, mereka ingin besaran pajak dan PNBP yang stabil seperti dalam KK, tidak berubah-ubah hingga masa kontrak habis. Intinya, Freeport sudah tidak mau diatur.

Lalu soal kewajiban melakukan pemurnian, baik IUPK maupun KK sama-sama wajib melakukan pemurnian mineral. Tetapi pasal 102 dan 103 UU Minerba tak memberikan batasan waktu kepada pemegang IUPK untuk merampungkan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian).

Sedangkan untuk pemegang KK ada batasan waktunya. Di pasal 170, UU Minerba menyebutkan bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014. Itulah sebabnya pemerintah menawarkan IUPK kepada Freeport. Satu-satunya jalan yang memungkinkan Freeport tetap mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK.

Jika pemerintah memberikan izin ekspor tapi Freeport tetap berpegang pada KK, akan terjadi pelanggaran terhadap UU Minerba. Baik pemerintah maupun Freeport, karena semuanya terikat oleh UU Minerba.

Perbedaan lainnya adalah mengenai kewajiban divestasi. Perusahaan tambang asing pemegang IUPK diwajibkan melakukan divestasi saham hingga 51% kepada pihak Indonesia, secara bertahap setelah 10 tahun memasuki masa produksi. Jika menjadi pemegang IUPK, Freeport tentu harus segera melepas 51% sahamnya karena sudah puluhan tahun berproduksi. Ketentuan ini ada dalam Pasal 97 PP 1/2017.

Sedangkan berdasarkan butir-butir kesepakatan Amandemen KK antara pemerintah dengan Freeport yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) tanggal 25 Juli 2014, Freeport hanya diwajibkan melakukan divestasi saham sebesar 30% sampai 2019 kepada pihak Indonesia.

Di sini, Freeport McMoRan Inc, perusahaan induk PT Freeport Indonesia, keberatan jika harus melepaskan sahamnya sampai 51% di PT Freeport Indonesia karena artinya mereka bukan lagi pemegang saham mayoritas. Freeport McMoRan Inc ingin tetap memegang kendali PT Freeport Indonesia.

Kini, pemerintah dan Freeport memiliki waktu 120 hari sejak 17 Februari 2017 untuk menyelesaikan masalah, mencari solusi terbaik. Jika perundingan gagal, negosiasi gagal mencapai titik temu, maka jalan terakhir adalah bersengketa di Arbitrase. Padahal, proses arbitrase itu bisa makan waktu bertahun-tahun.

Menteri ESDM Ignasius Jonan, menyebut Freeport memang rewel banget. Jonan berharap Freeport tidak buru-buru membawa persoalan ini ke Arbitrase Internasional, tetapi kalau dia ngotot, apa boleh buat, Menteri ESDM siap menghadapinya.

Kebijakan pemerintah terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia di Papua ini, terus mendapat dukungan. Nahdlatul Ulama dan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) siap perang membela pemerintah. GP Ansor tegas meminta pemerintah, dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, tetap berani dan konsisten menjalankan amanat konstitusi, serta tidak mudah tunduk pada tekanan dari pihak yang pro Freeport.

“Ansor mendukung sepenuhnya upaya pemerintah untuk menjalankan amanat konstitusi yang juga diakui secara sah dan meyakinkan oleh hukum internasional terkait penguasaan maupun pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” begitu disampaikan Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, dalam keterangan persnya.

Bahkan, Yaqut mengakui telah memerintahkan semua anggota maupun kader Ansor dan Banser untuk siaga satu komando dan siap membantu melakukan akuisisi, analisis dan artikulasi Big Data atas PT FI, dan melakukan rekayasa-rekayasa sosial bila dibutuhkan negara.

“Semua anggota dan kader sudah siaga satu dan siap membantu jika dibutuhkan negara, khususnya jika PT FI menempuh jalur arbitrase, di mana sebelumnya juga sudah melakukan pemecatan pegawai sebagai upaya menekan pemerintah sekaligus menunjukkan wajah asli kapitalisme korporasi asing,” jelasnya.

Dukungan juga datang dari Forum Santri Nusantara. Komunitas santri ini sudah menyiapkan 9 Resolusi Jihad untuk mengusir Freeport dari Indonesia. Sebab, Freeport dinilai telah melakukan politik adu domba sehingga konflik di Papua terus terpelihara. “Papua harus segera diselamatkan dari ancaman disintegrasi,” kata Ketua Umum Forum Santri Nusantara, Alaik S Hadi, Kamis 23 Februari 2017.

Menurut Alaik, konflik Papua bisa berujung pada disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, Papua harus segera diselamatkan. Caranya, dengan mengusir Freeport dari bumi Papua. “Tegakkan kedaulatan RI, tolak intervensi asing, usir dan nasionalisasi seluruh aset Freeport, Chevron, Exxon Mobil, Shell, Total, Petro China dan Petronas,” tegas Alaik.

Alaik mendesak pemerintah agar segera melakukan nasionalisasi penuh terhadap Freeport, penghentian bertahap penambangan Freeport, pemulihan hak-hak politik-sosial-ekonomi rakyat Papua dan pemulihan lingkungan di sekitar tambang Freeport. “Juga lakukan audit publik atas perampokan Freeport atas kekayaan Indonesia selama 40 tahun terakhir,” tegasnya.

Ia juga menegaskan agar liberalisasi perdagangan, pangan dan energi harus dihentikan. “Selain itu kami meminta moratorium seluruh pertambangan,” pungkasnya.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan tak kuasa menahan komentar. Ia mengatakan aksi pemecatan karyawan atau “layoff” yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia (PT FI) tergolong kejam. Menurut dia, cara tersebut tidak umum dilakukan perusahaan besar sekelas PT Freeport Indonesia.

“Ini cara yang tidak umum dilakukan perusahaan besar dan multinasional karena mem-blackmail (mengancam) mau layoff. Kan enggak benar,” ujar Luhut yang ditemui wartawan di kantor Kemenko Kemaritiman di Jakarta.

Ia menilai perusahaan asal Amerika Serikat itu seharusnya bertanggung jawab atas hidup para karyawannya. “Dia (Freeport) kejam (lakukan) layoff,” katanya lagi.

“Freeport harus menyadari, ini adalah B to B (business to business), jadi tidak ada urusan ke negara. Freeport sudah hampir 50 tahun di sini sehingga mereka harus menghormati undang-undang kita,” tutur Luhut.

Sejak tahun 2009, Freeport tidak memenuhi kewajiban mereka untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian menieral. Mereka juga tidak melakukan divestasi 51 persen. “Itu kan persoalan lama. Jadi, sekarang pemerintah enggak mau lagi mundur soal itu karena setelah 50 tahun, masak kita tidak boleh mayoritas?” tanya Luhut.

Tunjukkan Freeport Tak Bisa Jatuhkan Presiden

Dulu, perusahaan asing selalu mengancam pemerintah Indonesia jika kepentingannya tidak terpenuhi. Bahkan ancaman berbentuk intimidasi atau menakut-nakuti sebagaimana pernah dialami Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semasa menjadi Presiden.

Peristiwa pada bulan Maret tahun 2000 silam tersebut pernah diceritakan Adhie M. Massardi, yang saat itu menjadi Juru Bicara Presiden. Saat itu, kata Adhie, bekas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang kemudian menjadi Komisaris PT Freeport, Henry Kissinger datang menemui Gus Dur di Istana.

“Dia datang dan menyampaikan intimidasi kepada Gus Dur. Intinya agar mau perpanjang Kontrak Karya Freeport. Kissinger bilang ke Gus Dur jika Indonesia tidak hormati Kontrak Karya yang dibuat di zaman Soeharto, maka tak akan ada investor yang datang ke Indonesia,” ungkap Adhie kepada wartawan Politik RMOL.

Tapi, Gus Dur melawan dan menegaskan tidak akan menggadaikan masa depan Papua. Pasalnya, kata Adhie, Gus Dur saat itu punya policy untuk melakukan moratorium tehadap Kontrak Karya baru yang berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim Soeharto.

“Gus Dur tahu semua Kontrak Karya yang dilakukan di zaman Soeharto banyak menyimpang dari UU dan merugikan rakyat Indonesia,” tambah Adhie, yang juga Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.

Pasca intimidasi itu, Gus Dur pun meminta Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Rizal Ramli, untuk tegas melakukan renegosiasi kontrak terhadap Freeport. Gus Dur dan Rizal bisa berani melakukan renegosiasi karena pemerintah punya standing moral yang kuat dibanding zaman Soeharto.

“Dulu zaman Soeharto Indonesia dinilai tidak setaraf Amerika Serikat. Mereka (Freeport) sudah tahu isi kandungan di Timika. Dulu namanya bukan Timika, tapi Tembaga Pura. Itu dinamai oleh Freeport. Indonesia tidak tahu ada tembaga di sana, jadi kita mudah dikelabui,” jelas Adhie.

Gus Dur pun dulu mendapatkan sinyal, jika Freeport marah akibat sikapnya itu. Selain soal renegosiasi, Freeport juga marah karena Gus Dur mengusulkan Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme Papua, Tombenal, untuk menjadi Komisaris Freeport. Freeport jelas menolak karena Tombenal terkenal keras dan selalu melawan perusahaan asal Amerika Serikat itu akibat limbah yang dibuang ke wilayahnya.

Adhie membaca akibat Freeport marah, diam-diam perusahaan milik James Moffet itu melakukan gerilya secara diam-diam menemui politisi yang bercokol di parlemen Senayan saat itu. Upaya penghasutan dan adu domba pun mulai dilakukan demi melawan Gus Dur.

“Sejak itulah, mulai muncul perlawanan keras dari parlemen yang berakhir dengan pemakzulan pada Gus Dur. Saya yakin otak di balik pemakzulan itu ya pasca proses renegoisasi yang gagal dengan Freeport dan perusahaan-perusahaan migas asing soal moratorium itu,” beber Adhie.

Adhi mengaku bukan tanpa dasar mengeluarkan tudingan ini. Menurutnya, pasca Gus Dur lengser banyak politisi-politisi di Indonesia yang memberikan upeti, termasuk dari pemerintahan baru saat itu. Upeti itu berupa UU Migas yang berisi liberasiliasi perusahaan tambang dan migas. Upeti kedua yakni amandemen UUD 1945 yang sangat liberal dan menguntungkan asing.

“Itulah dua kado besar untuk Freeport dan perusahaan asing atas jasanya untuk bantu politisi di Indonesia yang bantu lengserkan Gus Dur,” kata Adhie.

Bak gayung bersambut, Freeport dan perusahaan asing saat itu membalas memberikan upeti pada politisi saat itu. Antara lain berupa jabatan komisaris di perushaan mereka.

“Mau ngeles gimana coba kalau begitu? Gus Dur lengser bulan Juli, empat bulan kemudian bulan November 2001 UU itu keluar semua, setahun kemudian 2002 amandemen UUD 1945,” beber Adhie, yang juga dikenal sebagai penyair ini.

Atas fakta tersebut, Adhie pun berpesan pada Presiden Joko Widodo untuk tidak takut akan cerita tersebut. Jokowi harus berani melawan karena situasi politik saat ini mendukung dan kuat, baik dari rakyat maupun jajaran dibawahnya. “Rakyat sudah tahu gimana parahnya kelakuan perusahaan asing di Indonesia. Pak Jokowi jangan takut, rakyat Indonesia bersamamu,” demikian Adhie.

Jadi? Saatnya rakyat Indoensia untuk membuktikan, bahwa, Freeport tidak lagi bisa menjatuhkan presiden. (hud,mky,dt,tmp)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry