ADHYAKSA saat diwawancarai soal khilafah. (DOK)

JAKARTA | duta.co – Mantan Menpora Adhyaksa Dault terkena imbas polemik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saat ini warga masyarakat menggalang dukungan meminta Adhyaksa mundur sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Sampai Selasa, 2 Mei 2017, pukul 18.40 WIB, sudah 1.510 orang yang menandatangani petisi di situs Change.org.

Petisi itu juga meminta Presiden Joko Widodo mengganti Adhyaksa Dault karena menjadi pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok garis keras yang bertujuan mengganti Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ke khilafah. Presiden Jokowi adalah Ketua Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka.

Petisi ini diinisiasi oleh Tubagus Guritno. Dia menjelaskan, sebagai Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka, Adhyaksa Dault seharusnya mendidik anak-anak muda menjadi generasi penerus yang mencintai NKRI dan Pancasila. Ternyata, ujar dia, Adhyaksa justru menjadi pendukung kelompok garis keras yang ingin mengubah Pancasila dan NKRI.

Petisi itu dibuat setelah beredarnya video wawancara Adhyaksa Daut di acara HTI di Gelora Bung Karno pada 2013. Di dalam video, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004–2009) itu diwawancarai seorang pria yang mengenakan baju bertuliskan HTI Channel.

Adhyaksa Dault mengatakan orang yang menyebut khilafah itu utopis adalah orang gila. “Tanpa atau ada peran kita, khilafah pasti berdiri,” ujar Adhyaksa, yang pada Pemilu 2009 mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera.

Adhyaksa menyatakan khilafah tak akan bisa dicegah. “Cuma bagaimana kita ikut proses itu, caranya macam-macam, cara saya dan Anda berbeda,” tutur Adhyaksa melanjutkan.

Setelah video tersebut beredar di media sosial dan menjadi perbincangan publik, Adhyaksa Dault segera membuat siaran pers. Menurut dia, pernyataan bahwa dia anti-Pancasila dan anti-NKRI merupakan fitnah.

Dia mengungkapkan di mana pun dia pergi selalu disampaikan kepada generasi muda agar mempertahankan dan merawat Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Lalu soal khilafah Islamiyah, Adhyaksa menjelaskan memang ada hadisnya soal itu tapi bukan khilafah yang meniadakan negara, bukan juga khilafah versi Hizbut Tahrir, ISIS, dan sebagainya. “Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika harus dipertahankan dan dirawat untuk generasi selanjutnya,” kata Adhyaksa yang tahun 1999-2002 menjadi Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia.

Adhyaksa yang belum pernah menjadi pengurus Pramuka, terpilih dalam Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 5 Desember 2013. Dalam pemungutan suara, dia memperoleh 17 suara dari total 34 suara yang diperebutkan. Urutan kedua adalah Wakil Ketua Diklat Kwarnas serta dosen Lemhanas, Prof Dr Jana T. Anggadireja, yang mendapat 15 suara.

Sedangkan calon lainnya yakni mantan Wakapolri, Nanan Soekarna, memperoleh 1 suara dan mantan Sekjen Kemenhan yang juga Waka Abdimas Kwarnas Marsdya Eris Herhanto memperoleh 1 suara.

Soal video itu Adhyaksa pun menepis tuduhan yang menyebutkan dia anti Pancasila. “Saya dan beberapa tokoh lain hadir di acara HTI itu sebagai undangan. Saya bukan simpatisan HTI, apalagi anggota HTI,” kata Adhyaksa dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/5/2017).

Adhyaksa menyebut video yang diambil 4 tahun lalu itu kini kembali viral. Dia merasa difitnah dengan penyebaran video itu. “Karena video itu, saya difitnah anti Pancasila dan anti NKRI. Bagaimana mungkin saya dituduh anti Pancasila?” ungkapnya.

Adhyaksa lalu mengenang masa-masa awal reformasi saat dia menjabat sebagai Ketua Umum KNPI. Dia saat itu mengajak sejumlah tokoh untuk meneken komitmen NKRI.

“Saya sebagai Ketua Umum KNPI ketika itu langsung mengadakan kebulatan tekad NKRI harga mati. Saya daulat tokoh-tokoh nasional ketika itu seperti Pak SBY, Pak Amien Rais, Pak Wiranto, Pak AM Fatwa dan tokoh-tokoh lainnya untuk mendatatangani komitmen NKRI,” tutupnya. (tmp/hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry