Oleh:

Suparto Wijoyo*

Esais, akademisi Fakultas Hukum, dan koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

ALHAMDULILLAH Gusti Kang Mohoakaryo Jagad yang gumelar tanpa sekat. Engkaulah yang menenunkan perjumpaan ini dalam lorong hidmat silaturahmi bersama Pembaca Duta Masyarakat kembali. Setelah sekian lama saya “menepi senyisir waktu” tanpa menyapa Pembaca yang dulu selalu bertegur kisah melalui rubrik Sudut Kota. Allah SWT melapangkan cakrawala dan menemukan titik koordinat “perjamuan wicara” bersama-sama persona redaktur harian ini, membuncahkan ingatan sambil meretas bayangan untuk menarasikan permenungan dalam kolom Tajalli. Ini akan menjadi “rahim peneguhan” pengepakan “sayap akademik” di ranah bentara publik dalam merespons setiap tanda-tanda keberadaan seluruh karya Yang Maha Berada.  Sebuah “kubus cinta” telah disediakan oleh redaktur dan kita semua terpanggil untuk merajut setiap “kosmologi debu” dalam cawan kolektif saling menggiring rindu dengan bertajalli. Semua memang bermula dan semburat untuk menggumpal dalam ketunggalan-Nya. Terhadap hal ini saya teringat senandung cinta abadi Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) yang geguritannya direkam Annemarie Schimmel (1922-203):

Pergilah ke pangkuan Tuhan

dan Tuhan akan memelukmu dan menciummu,

dan menunjukkan

Bahwa Ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya.

Ada penanda, kita tidaklah ada di luar orbit kuasa-Nya. Lantas, sudah sampai di mana kita menempuh perhelatan jalur kelana-Nya? Inilah yang akan kuramu sebagai jamuan setiap Kamis (pun bolehlah guna menemani Malam Jumat para Pembaca untuk menyempurnakan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW menyemai rahmat-Nya). Terawang pandang dihidangkan dalam manisfestasi yang menghadirkan lazuardi Illahiyah yang berbasiskan pemaknaan ekologis cipta-Nya, meski terkadang mengalirkan Fiqh Lingkungan. Ekspresi yang akan tampak adalah membaca setiap fakta yang realistis maupun yang fenomenal sebagai sinyal bersimpuh kepada Gusti Allah dengan kedalaman jiwa ruhaniah, keluasan pikir intelektual, dan kekokohan iman tauhid untuk memanunggalkan bersit cahaya ke ruas-ruas sumbu Maha Cahaya. Dalam simpul inilah, hidup dilakoni sebagai tanda cinta Tuhan yang sumrambah ke setiap nutfah kemanusiaan, sehingga kita dapat menghadirkan energi hidup dengan pendar Islam yang rahmatan lil’alamin.

Hidup memang ada konvergensinya, bahkan “kenakalan” gesekan yang menghasilkan problema, tetapi takdir penciptaan manusia telah dilengkapi dengan seperangkat akal yang dinisbatkan mampu memformulasi solusi. Persaingan sudah ada sejak masa pembuaian pertama kali “melamar” ovum secara legowo, menyambut spermatozoa untuk ditampung dalam rahim yang bermembran super aman. Ya … rahim sebagai wujud paling dekat yang melekat pada proses persembahan kemuliaan terminologi bismillahirrahmannirrahim. Hanya karena rahim-Nya, permulaan penambahan populasi yang mengejawantah langkah keberlanjutan manusia melalui zona reproduksi yang berjalan. Inilah pandom yang memfokuskan arah perjalanan ke depan. Dan hukum-hukum serta logika kehayatan ditulis seiring dengan tiupan ruh kehidupan yang memuai menjadi roh untuk berkelindan menjiwa hidup dalam harmoni Tuhan.  Bismillah.

Tapi mengapa kini usai etape perumatan di alam rahim menuju peruwatan   di akhirat dengan menikmati peramutan di dunia, manusia acapkali membuat ontran-ontran?   Jabatan diperebutkan, superioritas ilmu diberhalakan, dan negara pun tidak sepi dari sorotan. Penguasa pada atribut dan level mana pun acapkali dinilai main “gobak sodor” dengan kecenderungan adu kuat “tarik nafas” yang dalam beberapa contoh dapat jejer oleh setiap orang. Mulai urusan pemilu, korupsi, manipulasi, pungli, fluktuasi harga kebutuhan pokok, membanjirnya barang impor illegal, serbuan tenaga kerja asing yang unskill, bahkan “kebijakan negara” tersinyalir ada  yang nyelonong diam-diam  atas nama menciptakan iklim investasi, di tengah hiruk-pikuk OTT KPK yang semakin kasat mata arahnya. Belum sempat hal-hal semacam itu diserot, menyembul dengan degup yang kencang berupa pengaturan full day schooll (FDS). Warga nahdhiyin melalui mekanisme organisatoris PBNU, tak luput dari “ledakan” ingar-bingar apa yang dipertontonkan dalam panggung bernegara ini.

Semua itu menguras tenaga. Itu kuyakini, tetapi tidak boleh menyusutkan cintamu kepada Sang Maha Cinta.  Ikhtiar seperti yang lazim di tata model “konvensi sosial” untuk hidup bernegara yang tertib, dapatlah dilakukan dengan terencana. Para tokoh dan cerdik pandai mestinya mengantisipasi agar warga NKRI tetap menggelorakan suara merdunya: …. hiduplah Indonesia Raya.  Emosi dan ujaran seyogyanya cukup  diperankan pada setiap sisi-sisi demokrasi yang pastinya tidak menggoyahkan persepsi iman bahwa Gusti Allah Mboten Sare. Tuhan tidak pernah terlelap dan bertata kinerja memperhatikan setiap kreasi-Nya. Wa ‘indahuuu mafaatihul-ghoibi laa ya’lamuhaa illaa huw, wa ya’lamu maa fil-barri wal-bahr, wa maa tasquthu miw waroqotin illaa ya’lamuhaa wa laa habbatin fii zhulumaatil-ardhi wa laa rothbiw walaa yaabisin illa fii kitaabim mubin. Ayat ini sudah sangat dihafal Pembaca: QS Al-an’am ayat 59  memberi pekabaran agung yang spektakuler. Simaklah,  “dan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata”.

Sabda Tuhan mutlak dapat dipercaya (muwattsaqah) dan saya mengimaninya. Setiap sesuatu ada dalam  kendali-Nya yang tidak berentang. Di  karya babon kesufiannya, Masnawi, Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Quwuni (Rumi) menyuarakan gelombang kearifannya seperti diterjemahkan Abdul Hadi W.M. (2017): “… Dia berbicara kepada batu dan batu pun menjelma mutu manikam berkilau-kilauan. Dia menyampaikan isyarat kepada tubuh, dengan demikian tubuh mengandung ruh. Dia bertutur kepada matahari sehingga sinarnya terang benderang. Dia meniupkan kata-kata takut ke telinga matahari, dan matahari pun hancur berkeping-keping. Saksikan bagaimana Dia menghembuskan doa-doa ke telinga awan, sehingga awan sedih dan air mata tercurah dari kedua pelupuk matanya, bagaikan semburan air. Lihat bagaimana Tuhan meniupkan doa-doanya ke telinga bumi, sehingga bumi terpaku dan tidak pernah beranjak meninggalkan tempatnya”.

Teramat banyak hal yang mestinya kita renungi justru terabaikan. Kembalilah. Tuhan begitu perhatian, termasuk atas peristiwa helaian daun yang berguguran. Gugurnya daun disemat dalam Kitab Suci Al-quran sebagai prosedur “protokoler birokrasi-Nya” agar kita mau mempelajari. Berguru sambil menghitung setiap lembar daun yang sebelum gugur, dia adalah “mesin pemproduksi” oksigen bagi kehidupan. Sudahkah kita mengkalkulasi jumlah tarikan nafas kita setiap harinya, sambil menakar kebutuhan oksigennya. Daun yang berguguran akan “bertajalli” sambil “sungkem” ke Bumi sebagai Ibunya. Daun itu menyeka dan merabuki Ibunya agar Sang Ibu terus mampu menjalankan tugas kesemestaannya. Setiap lembar daun ternyata matarantai kehidupan. Kini kepadamu kubertanya: berapa “induk” daun telah kau rawat agar pohon-pohon terus menghasilkan oksigen dan bumi berkesinambungan kesuburannya? Mengaji dari daun tak cukup ditulis dalam seribu jilid buku, karena setiap helai daun itu memanggul ayat-ayat Sang Maha Cinta yang dapat menjadi “titian” bertajalli kita.*

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry