Oleh: Suparto Wijoyo

LINTAS pekan lalu dan kini, waktu meretas dalam aktivitas saya di Jawa Barat maupun Bali dengan menyapa banyak keluarga. Agenda kumpul sedulur-sedulur dari wilayah yang berbilang DKI Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, Garut, Majalengka, Ciamis dan ragam daerah lainnya sambil menyapa dengan hati. Refleksi akhir tahun bagi keluarga besar saya dengan menggelar acara yang berselancar di Hari Ibu 22 Desember 2017 dihelat dalam semarak Ahad, 17 Desember 2017. Dalam lingkup itulah kami yang menyiapkan arena rembuk keluarga di tanggal 15 dan 16 Desember 2017 merasakan goyang alam yang kemudian ramai dibincang sebagai gempa. Ya … gempa datang lagi mengulang lakonnya. Kabar dari keluarga di Tasikmaya langsung menyebar bagai bah yang membanjir jalanan jiwa. Gempa berkekuatan 6,9 SR itu “menyapa” penuh gelegak yang mengguncang.

Gempa jumat malam  (15 Desember 2017) itu merobohkan bangunan dan derita semburat menggemakan kapasitasnya. Dahsyat merobohkan rumah dan menyisir harta benda. Sesak menyerta dan kisahnya sangat mencekam sehingga keriuhan tentang MK dan LGBT maupun deru Aksi Bela Palestina bercampur dalam “lantunan doa” yang sama: selamatkanlah bangsa ini ya Rabb. Apa yang terjadi di Jawa Barat itu mengingat lembar pilu gempa yang pernah menunjukkan daulatnya kepada kita di Aceh, juga di tenggat Desember 2016, setahun lalu. Desember menjadi ingatan “bulan gempa”.

Kala itu Pidie Jaya, Aceh terhentak dengan lindu berkekuatan 6,5 skala Richter yang mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Bumine goyang dan tanah merekah mengabarkan kuasanya tanpa proposal permohonan. Jerit tangis, doa dan rintihan menggumpal menjadi lonceng yang gemahnya mengetuk solidaritas kemanusiaan. Seluruh mata dan hati publik tertuju ke Serambi Makkah untuk selanjutnya tergerak membantu dalam kesetiakawanan tanpa tepi.  Gempa   melahirkan duka bukan sembarang duka, melainkani duka yang mampu memupuk kembali persaudaraan anak bangsa. Duka dari luka gempa ini sejatinya membangunkan optimisme menjadikan gempa sebagai literasi pembangunan nasional.

Negara yang memberi amanat melalui Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah” harus tampil terdepan mengelola gempa sebagai resources, tidak semata disaster atau catastrophe, tanpa ada maknanya. Kalau memperhatikan data yang ada memang nyaris 160 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di bentara alam rawan gempa. Suatu kenyataan “tafsiriyah” yang sungguh membuat tertegun, dan bukan decak kagum. Data tersebut mendengungkan lolong kekhawatiran yang mengerikan apabila tidak segera diberi solusi. Ratusan juta jiwa yang terancam gempa merupakan tata nyawa yang harus diselamatkan negara.

Sejak gempa yang diikuti tsunami di Aceh pada 2004, gempa  ternyata  terus berulang  setiap tahun di Sumatera dan Jawa bagian Selatan. Kenyataan ini telah membuat negara beranjak lebih sigap dan  rakyat pun mudah bergerak. Kita tidak hendak menyaksikan berjuta  jiwa itu menjadi data statistik yang diantrikan nyawanya dalam helatan gempa. Bencana yang terjadi janganlah dianggap sebagai ritual ekologis yang ditakdirkan.  Seluruh sendi dan titik kosmis negara ini sudah sedemikian  gamblangnya bertutur mengenai bencana.  Negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara juga bukan tupai yang sepandai-pandainya melompat akan terjatuh jua. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar dari bencana.

Setelah mengetahui daerah rawan gempa,  negara mustilah menginisiasi  melakukan redesain kawasan permukiman warga. Negara dapat  membuat road map gempa dan infrastruktur yang dibangun harus disesuaikan dengan kondisi alamnya. Warga yang berada dalam koridor rawan bencana akan mudah mendengar suara alam dan beradaptasi dengan realitas alam yang telah dipetakan. Belajar pada referensi tua sekaliber Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) maupun Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389) dapat diketahui bahwa untuk mengatasi bencana itu diawali dari tingkat wilayah negara terkecil, yaitu desa. Setiap kampong di Aceh, Desa di Jawa atau Nagari di Sumatera, sudah semestinya ada peta kegempaan, sehingga setiap jengkal teritori NKRI penataan ruangnya sedasar dengan status alamnya. Selama langkah ini tidak dilakukan, saya khawatir negara dituduh sedang mengundi nasib warganya untuk menjadi persembahan bencana. Padahal alam selalu  membisikkan sapaannya jauh sebelum kita seramai sekarang.

Dalam lingkup inilah, pemimpin  negara musti selalu sadar bahwa kita akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan. Pemimpin hadir dengan gerak lompatnya dalam menyelamatkan rakyat yang lebih mendeskripsikan ruang juang. Thomas L. Friedman dalam buku The World Is Flat mengisahkan tulisan temannya, Jack Perkowski,   yang menuliskan pepatah Afrika pada lantai pabriknya: Setiap pagi di Afrika seekor gazelle (kijang) terjaga/Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat atau ia akan mati/Setiap pagi seekor singa terjaga/Ia tahu bahwa ia harus bisa mengejar gazelle terlambat atau ia akan mati kelaparan/Tidak peduli apakah kamu seekor singa atau seekor gazelle/Ketika matahari terbit, kamu harus mulai berlari.

Dengan gempa saat ini, negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat diselamatkan dari gempa di hari-hari mendatang melalui road map kegempaan. Ungkapan-ungkapan bahwa Indonesia adalah negara rawan: bencana,  gempa, longsor, gunung meletus, yang dalam bahasa Lawrence Blair dan Lorne Blair, Indonesia ada dalam lingkaran api (Ring of Fire). Bagi saya ini bukanlah negara kutukan. Justru dengan ungkapan itu,  kita bersyukur berarti  Indonesia adalah tanah subur yang dikreasi penuh keseimbangan oleh Tuhan. Hanya wilayah demikianlah yang menjanjikan kemakmuran, karena “bencana alam” itu sejatinya   adalah cara alam menyapa. Cara alam meningkatkan daya kesuburannya. Cara semesta menyuarakan pekabaran negara kesejahteraan (welfare state). Guncangan-guncangan itu memberikan pembaruan peradaban. Gempa dapat menjadi laboratorium pembangunan. Semua ada maknanya. Dari gempa, kita dapat bersekolah mengenai laku tanah nusantara.

  • Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry