Mokhammad Kaiyis

Wartawan Duta Masyarakat

Apa? Mati?  “Tidak! Saya tidak pernah takut mati,” demikian jawaban Khalifah Umar ibn Khatthab kepada salah satu stafnya, Ka’ab Al-Ahbar.

Bagi saya, lanjut Umar dengan nada mantap, mati itu pasti. Saya yakin, pada saatnya saya akan mati. “Justru yang saya takuti dan harus hati-hati, adalah dosa yang beranak pinak, dosa yang diikuti dengan dosa-dosa lainnya,” jelas pemberani bertitel al-Faruq ini.

Dan, benar, adalah Ka’ab Al-Ahbar, orang pertama yang mengabarkan kematian Umar ibn Khatthab. Saat itu, baru saja khalifah mendapat ancaman dari Abu Lu’lu’ah gara-gara tidak mau berpihak kepadanya.

Ceritanya begini: Ketika Khalifah Umar blusukan, sidak keliling pasar melihat kegiatan ekonomi umat, tiba-tiba sang khalifah dicegat Abu Lu’lu’ah , seorang Majusi yang juga budak dari Al-Mughirah bin Syu’bah. Ia mengadu, sambat dengan besaran setoran yang harus diserahkan kepada Al-Mughirah bin Syu’bah.

“Wahai amirul mukminin, bantulah aku, karena Al-Mughirah bin Syu’bah telah menetapkan setoran kepadaku begitu besar,” begitu Abu Lu’lu’ah mengeluh.

“Oh iya? Berapa besar setoranmu kepadanya?” Umar spontan mengajukan pertanyaan.

“Dua dirham perhari. Bagi saya ini sangat berat sekali,” keluh Abu Lu’lu’ah.

Mendengar angka dua dirham itu,  Umar tidak serta merta menjawab. Ia diam sejenak, berpikir, benarkah setoran dua dirham, itu memberatkan. Padahal, saat itu, angka dua dirham sangat masuk akal dan bahkan kelewat kecil.

“Baiklah! Sekarang, apa profesimu?” tanya Umar.

“Pekerjaanku tukang ukir, tukang batu dan tukang besi,” jawab Abu Lu’lu’ah.

Mendengar jawaban itu, Umar mengerutkan dahi. Bukankah amat kecil setoran dua dirham perhari bagi profesi seperti dia.

“Aku tidak melihat setoranmu terlalu besar jika dibandingkan dengan pekerjaanmu. Dan juga telah sampai kepada saya, bahwa, kalau mau, katanya, kamu bisa membuat penggilingan gandum yang digerakkan oleh angin. Benarkah demikian?” jelas Umar.

“Ya!” jawab Abu Lu’lu’ah.

Kalau begitu, lanjut Umar, buatkan aku penggelingan seperti itu, tambah Amirul Mukminin seraya menyindir kesombongannya.

Sindiran Umar ini membuat Abu Lu’lu’ah tersinggung. Dengan muka kecut ia berguman: “Kalau saya mau, saya akan buatkan penggilingan yang akan menjadi perbincangan penduduk di bumi bagian barat dan timur,” gerutunya.

Walhasil, Umar paham, bahwa budak Majusi itu sedang mengancam keselamatannya.

Esok harinya, sang khalifah bertemu stafnya, Ka’ab al-Ahbar. Ka’ab mengabarkan bahwa tidak lama, amirul mukminin akan mati.

“Wahai amirul mukminin, ingat-ingatlah, tiga hari lagi Anda akan mati,” demikian prediksi Ka’ab.

Umar kemudian bertanya, “Dari mana kamu tahu.”

“Dari kitab Taurat,” jelasnya.

Umar penasaran, lalu, minta penjelasan apakah memang ada nama Umar ibn Khatthab dalam Kitab Taurat.

“Apakah ada nama Umar dalam kitab Taurat, wahai Ka’ab?” tanyanya.

“Tentu tidak. Tetapi saya mendapati ciri-ciri dan sifat Anda ada di dalamnya. Bahwa ajal Anda sudah dekat dan hanya tinggal menghitung hari,” jawabnya.

Memasuki hari ketiga sebagaimana diceritakan Ka’ab, ketika berkumandang adzan subuh, Khalifah Umar ibn Khatthab seperti biasa, bertandang ke masjid.

Setelah mengatur barisan, dan memulai salat, tiba-tiba Abu Lu’lu’ah laknatullah menerobos barisan dengan memegang khanjar (pedang pendek) bermata dua. Ia menikam amirul mukminin sebanyak tujuh kali, lalu melarikan diri.

Umar pun terjatuh dan berkata: “Apakah di antara kalian ada Abdurrahman bin Auf,” tanyanya.

“Ada,” begitu jawab jamaah serempak.

Maka seketika itu Umar minta Abdurrahman bin Auf maju menjadi imam salat.

Amirul mukminin kemudian minta dipanggilkan putranya, Abdullah.

“Wahai Abdullah, keluarlah dan cari siapa yang menikamku,” perintahnya.

Abdullah langsung menjawab: “Yang menikam amirul mukminin adalah Abu Lu’lu’ah orang Majusi, budak Al-Mughirah bin Syu’bah,” jelasnya.

Mendengar jawaban itu, apa kata Umar? “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. karena tidak menjadikan sebab kematianku di tangan laki-laki yang pernah sujud kepada Allah dengan satu sujudpun.”

Wahai putraku, perintah Umar, temui Sayyidatina A’isyah dan bertanyalah apakah beliau mengizinkan aku dimakamkan di samping kedua sahabatku? (maksudnya Rasulullah saw dan Abu Bakar ra.).  Abdullah pun  berangkat, dan ternyata, ummul mukminin tersebut sangat tidak keberatan.

**

Tak kalah mengharukan, disaat akhir hayatnya, ketika seluruh sahabat mendesak agar amirul mukminin berkenan mengangkat putranya, Abdullah bin Umar menjadi khalifah pengganti, ternyata Umar menolak dengan tegas.

“Tidak! Cukup aku yang dihisab (terkait kekuasaan) dari keluarga besar al-Khatthab. Cukup satu, saya,” katanya.

Umar kemudian menjelaskan, bahwa, penguasa itu mudah tergelincir ke neraka, jika mereka tidak ekstra berhati-hati.

“Saya sangat senang jika bisa selamat dari perkara (kekuasaan) ini. Impas saja sudah luar biasa. Tidak mendapat pahala tidak apa, asal tidak disiksa karena kesewenang-wenangan sebagai penguasa,” tambahnya. Subhanallah!

Tak kalah menarik ketika Umar memberikan wejangan kepada calon penggantinya. Hadir di situ Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash serta Zubair bin ‘Awwam.

Sementara Thalhah al-Khair yang diharapkan hadir masih berada di kota Madinah. Apa wasiat Umar?

“Saya sumpah Anda, demi Allah swt. wahai Ali, jika Anda dipilih untuk memimpin, maka, janganlah Anda memberikan kekuasaan kepada Bani Hasyim atas manusia. Begitu juga Utsman, jika Anda memimpin kekuasaan janganlah menyerahkan kekuasaan kepada Bani Abi Mu’ith. Begitu pula Anda, Saad, jika dipercaya menjadi pemimpin janganlah menyerahkan kekuasaan kepada kerabat-kerabat Anda atas manusia,” demikian sumpah Umar atas calon penggantinya.

Umar berpesan tentang bahaya nepotisme. Sebagai amirul mukminin, Umar telah memberikan cermin yang terang, bahwa kekuasaan sangatlah berbahaya, mudah menggiring manusia ke jurang angkara murka. Di sisi lain, kekuasaan cenderung nepotisme. Umar mengingatkan bahaya bersekongkol dengan pejabat, tidak hanya merugikan negara tetapi menyengsarakan  rakyat.

Bukankah begitu? Waallahu’alam bush-shawab. (dari berbagai sumber)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry