BERJUANG: Kasipan, salah satu ahli waris yang memperjuangkan haknya atas proyek Frontage Road Ahmad Yani Surabaya. Duta/Henoch Kurniawan

SURABAYA | duta.co – Keberadaan beberapa bangunan yang berada di tengah Frontage Road Ahmad Yani Surabaya hingga saat ini belum berhasil dibongkar oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Ternyata, belum dibongkarnya bangunan-bangunan selama tujuh tahun sejak proyek ini dikerjakan 2010 lalu itu karena masih dalam dsengketa.

Kendala itu dilatarbelakangi polemik yang ada diantara para ahli waris bangunan tersebut. Kasipan (52), salah satu ahli waris dari Almarhum Siti (pemilik bangunan, red) meminta Pemkot tidak tutup mata dan turut andil menyelesaikan polemik yang ada, terkait bangunan yang terletak di Jl Ahmad Yani 138-B Surabaya.

“Kita minta Pemkot tidak asal gusur sebelum memberikan ganti rugi sesuai hak kita. Pemkot harus turun tangan dan jangan cuci tangan,” ujar Kasipan, Kamis (27/4).

Kasipan mengaku selama ini pihaknya dipingpong oleh Pemkot tiap kali ia menanyakan soal status bangunan yang ia tempati sejak lahir itu.

Kepada wartawan ia menceritakan, asal usul tanah dan bangunan seluas 187 meter persegi tersebut berasal dari neneknya, Mut B Maniah dengan ahli waris antara lain, Marwiyah (alm), Dewi (alm), Ridwan (alm), Siti (alm), Nasikah dan Musikah.

Namun belakangan pihaknya mengaku kaget terkait terbitnya surat kuasa hibah yang dibuat oleh bibinya, Dewi (alm) yang isinya memberikan hibah atas tanah dan bangunan yang ia tempati kepada Karsono (anak Dewi).

Pasalnya surat hibah tersebut, sebelumnya tidak pernah diketahui oleh Kasipan sebelumnya. “Sejak lahir saya tinggal disini dan tidak pernah mengetahui adanya surat hibah ini. Saya mempertanyakan keabsahan surat ini dan meminta Pemkot melakukan chek secara detail soal asal usul status bangunan sehingga tidak ada pemilik hak yang terzolimi,” pintanya.

Ia juga menduga surat hibah itu sarat rekayasa. Hal itu diketahui karena adanya beberapa kejanggalan yang ada dalam isi surat. “Surat hibah ditandatangani pada tahun 1994, namun materainya tahun 1998. Selain itu, saksi yang tertera dalam surat tidak melibatkan seluruh ahli waris yang ada. Hanya ada 4, yaitu Riduwan, Musi’ah, Marwiyah dan Nasikah. Sedangkan ibu saya, Siti tidak dilibatkan,” ungkapnya.

Disamping itu, nama saksi Musi’ah itupun diduga bukan nama sebenarnya. “Tidak ada ahli waris bernama tersebut, yang benar adalah Musikah,” tambah pria penjual es degan ini.

Saat ingin memperjuangkan haknya, oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) I Surabaya malah tanah dan bangunan tersebut dianggap tidak bertuan. “Padahal kita memegang Surat Tanda Hak Milik (STHM) Atas Tanah bernomor Ka/Agr 627/Hm/60,” bebernya.

Upaya menuntut keadilan ini, dilakukan Kasipan karena ia tidak menginginkan penzoliman terhadapnya terjadi kembali atas adanya proyek Frontage Road ini.

“Sebelumnya, tanah dan bangunan milik saya juga digusur tanpa diberikan ganti rugi oleh Pemkot. Lokasinya diseberang jalan itu. Menurut Pemkot, pada tahun 2010 lalu, perhitungan ganti rugi mencapai Rp 750 juta saat NJOP senilai Rp 5-6 juta. Namun hingga 2017 ini, kita belum menerima sepeserpun ganti rugi, padahal sudah dijadikan jalan dan NJOP saat ini mencapai Rp 15 juta per meter,” tambah Kasipan.

Selanjutnya, Kaspian mengaku bakal menempuh jalur hukum melalui gugatan yang bakal diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. eno

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry