Oleh: Rio F. Rachman*

 

ISTILAH Agenda Setting dipopulerkan oleh Maxwell C McCombs, profesor peneliti surat kabar dari Universitas Syracuse USA, dan Donald L. Shaw, profesor jurnalistik dari Universitas North Carolina USA. Pada 1968, McCombs dan Shaw mengembangkan suatu pendekatan baru dalam telaah pemilihan presiden AS. Waktu itu, Richard Nixon berhasil menyisihkan saingannya: Rubert Humprey.

                Dua sekawan itu menilai, kemenangan dalam proses politik Nixon tidak lepas dari kebiasaannya bersikap sebagai media darling. Dia selalu tersenyum ramah pada wartawan sehingga gambarnya menjadi lebih sering menghiasi media massa. Dia lebih populer, diperhatikan, dan tergolong tokoh yang “gampang nampang” di media massa dari pada lawan politiknya.

“Perang wacana tentang agama, ideologi, sistem ekonomi, pemerintahan, politik, budaya, atau apapun itu, dilakukan untuk menyebarkan pengaruh, memperbesar lingkup pemikiran, dan akhirnya, memperluas pasar. Kalau sudah berbicara pasar, pastilah berbanding lurus dengan upaya mengeruk keuntungan: baik material, maupun non material.”

                Kemenangan ini memunculkan opini tentang peran penting media massa dalam menonjolkan suatu tokoh atau isu tertentu. Dari sinilah Agenda Setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media massa dengan perhatian yang diberikan oleh khalayak.  Dengan kata lain, yang dianggap penting atau disorot oleh media massa akan dianggap penting pula oleh khalayak. Sehingga media massa senantiasa digunakan dalam komunikasi politik untuk mempengaruhi opini publik (Subiakto & Ida, 2014: 14).

                Pendekatan Agenda Setting dimulai dari asumsi bahwa media massa menyaring berita, siaran, artikel, atau tulisan yang akan dipublikasikan. Seleksi ini dilakukan oleh para awak media. Dalam perkembangannya, Agenda Setting menjadi mata rantai mekanisme komunikasi politik dalam beragam pesta demokrasi. Walau sejatinya, perlu digarisbawahi pula, Agenda Setting tidak melulu soal politik. Karena secara prinsip, Agenda Setting sudah menyusup dan mendarah daging dalam tiap tahapan proses penyampaian informasi ke hadapan publik.

Hubungan media massa dengan politik tidak lepas dari fakta bahwa sejumlah perusahaan media sudah dikuasai elite partai. Contoh vulgar dapat dilihat saat Pemilu dan Pilpres tahun lalu. Sejumlah media massa yang merupakan basis pendukung kutub politik berbeda melakukan perang berita. Kabar yang dihembuskan mereka nyaris selalu tak sama semangatnya. Bagaimana tidak, motiivasi yang diusung adalah “melumpuhkan” kompetitor media atau “menguliti” lawan politiknya.

Bahkan hingga sekarang, beberapa media massa besar masih “bertarung” dalam upaya pembentukan opini publik.  Media massa memunculkan isu yang sudah terseleksi atau diolah sedemikian rupa guna menggiring opini publik ke satu sisi tertentu.

Agenda Setting sanggup membentuk citra seseorang sehingga dianggap sebagai tokoh berpengaruh. Sebaliknya, laku media massa juga mampu mendekonstruksi ketokohan seseorang. Di titik ini, terdapat kaitan erat antara Agenda Setting dengan istilah pencitraan yang booming di musim pemilu atau pilkada.

Pada saat itulah kekritisan masyarakat diperlukan. Jangan sampai proses pembentukan opini publik yang bertujuan “membelenggu” kebebasan berpikir terjadi. Kalaupun itu dilakukan, jangan sampai masyarakat masuk dalam jebakan tersebut. Masyarakat harus tetap selektif memilih informasi. Semua kabar atau berita boleh dikonsumsi. Tapi, tidak semua harus dipercaya dan dijadikan patokan dalam melangkah. Khususnya, jika sudah berbicara di ranah politik dan kekuasaan, yang ujung-ujungnya adalah perspektif materialistik.

 

Soal Kerakusan

                Beberapa waktu lalu, seorang kawan mengirimi Saya sebuah poster kecil berformat jpg via jejaring sosial. Data jpg yang berisi tulisan-tulisan singkat berbahasa Inggris itu menggelitik. Judulnya dicetak dengan font lebih besar dan ditempatkan di bagian bawah poster: It’s Just Profit Vs Humanity, and Still You Don’t Know Which Side is Yours.

                Di bagian atas, terdapat tulisan: It’s Not: Muslims vs Jews, Egypt vs Israel, USA vs Terrorism, Capitalisms vs Islamism, Oil vs Wind, Tibet vs China, Apple vs Microsoft, BMW vs Mercedes, Real Madrid vs Barca, PS3 vs Xbox, Rap vs Rock. It’s Not Even: Religion vs Philosophy, Science vs Politic, Men vs Women, Poor vs Rich, Master vs Slave, Sickness vs Health, Truth vs Lies, War vs Peace, Bad vs Good, Them vs Us.

                Dalam terjemahan bebas, poster tersebut bermakna: semua hal di dunia ini sebenarnya hanya soal keuntungan melawan kemanusiaan. Sementara Kita, sering kali bingung, apakah berada di pihak yang membela kemanusiaan dan mengabaikan keuntungan, atau tergolong yang ingin keuntungan dan tidak peduli dengan kemanusiaan. Atau jangan-jangan, bertindak sebagai oportunis yang memilih di tengah-tengah: ingin untung walaupun sedikit tidak manusiawi atau membela kemanusiaan tapi kalau bisa tetap untung walau sedikit.

                  Agenda Setting yang dilakukan media massa dewasa ini, sejatinya berorientasi pada keuntungan. Memang, ada yang bersemangat kemanusiaan yang motivasinya adalah perdamaian umat. Namun, karena jumlahnya tidak banyak dan cenderung sedikit, alhasil kiprahnya tidak tampak di permukaan. Coba perhatikan, media massa terus melansir kabar yang tidak berimbang. Dalam banyak kesempatan, tidak sungkan mengumbar hujat atau menebas pijakan pihak-pihak lain yang berseberang pendapat.

                Konten yang diusung pun tidak melulu berkutat di ranah politik. Namun sudah menjalar ke sisi agama, sosial, budaya, seni, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya. Gampangnya, saat ini media massa begitu murah melansir pertikaian kubu politik satu dengan yang lain, agama satu dengan agama lain, seniman satu dengan seniman lain, bahkan cara berbudaya pun disalingtabrakkan hingga justru semua sama-sama hancur lebur. Betapa absurd, bukan?

                Untuk apa? Oleh karena sifatnya yang adu domba, tidak mungkin hal itu dilakukan untuk membela kemanusiaan. Sebaliknya, kesan rakus dan ambisius untuk meraup keuntungan benar-benar menyeruak. Agenda Setting telah menjadi washilah (sarana) bagi media massa untuk mencapai ghoyah (tujuan) berupa keuntungan.

                Perang wacana tentang agama, ideologi, sistem ekonomi, pemerintahan, politik, budaya, atau apapun itu, dilakukan untuk menyebarkan pengaruh, memperbesar lingkup pemikiran, dan akhirnya, memperluas pasar. Kalau sudah berbicara pasar, pastilah berbanding lurus dengan upaya mengeruk keuntungan: baik material, maupun non material.*

*Anggota Masika ICMI Jatim. Pengajar di Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang. Bergiat di www.suroboyo.id

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry