JAKARTA | duta.co – Diskursus Agama, Pancasila, dan Negara dianggap telah selesai sehingga tidak perlu diperdebatkan. Sebaliknya, kembali membumikan nilai-nilai Pancasila harus menjadi agenda utama seluruh anak bangsa. Hal ini mengemuka dalam Diskusi Refleksi Kebangsaan yang diselenggarakan Muslimat NU di Crowne Plaza Hotel, Jakarta, Selasa (27/3/2017).
Hadir sebagai pembicara antara lain Rais Aam Syuriyah PBNU KH Ma’ruf Amin, Pengurus Ponpes Tebu Ireng KH Shalahuddin Wahid, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia) Yudi Latif, dan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan.
Dalam paparannya, KH Shalahuddin Wahid mengatakan bahwa di era sekarang ini tidak penting kembali mempertentangkan antara keindonesiaan dan keislaman. Menurutnya, cara untuk menjaga dan merawat keindonesiaan adalah dengan menjaga perpaduan keindonesiaan dan keislaman yang sudah dicapai selama ini.
“Jangan lagi memperdebatkan, apakah kita ini orang Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang tinggal di Indonesia. Kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, sekaligus orang Islam yang berbangsa Indonesia,” tuturnya.
Dikatakan, memadukan Indonesia dan Islam adalah suatu modal sosial politik yang amat berharga. Jika tidak, lanjut Gus Solah maka akan selalu ditemui kondisi dan situasi penuh konflik antarumat Islam seperti sekarang.
Sementara itu, Yudi Latif menyampaikan bahwa nilai-nilai Pancasila lebih dari sekedar filsafat negara. Kandungan nilai Pancasila harus menjadi gaya hidup yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kemanfaatannya dapat dirasakan.
Menurut Yudi, mereka yang mempertentangkan Pancasila dan Islam sebenarnya telah menunjukkan, bahwa, dia tidak memahami apa itu Pancasila dan apa nilai-nilai Islam sebagaimana telah dijabarkan dalam Alquran.
“Bung Karno menyampaikan kalau sebenarnya Pancasila adalah pendirian hidup bangsa yang sudah tumbuh dan menjadi jantung dari spiritualitas bangsa,” jelasnya.
“Pancasila adalah modal bangsa, jangan sampai modal kita yang sangat penting itu dirobohkan. Payung-payung kebangsaan jangan dihancurkan. Kalau ada perbedaan diselesaikan dengan damai,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut Yudi juga memuji Muslimat NU yang dianggap mewarisi mental revolusi karena lahir setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Mental tersebut yang menjadikan muslimat mampu mengesampingkan segala macam perbedaan untuk kemaslahatan bangsa dan negara.
Sedangkan Zulkifli Hasan dalam paparannya mengkritisi nilai-nilai Pancasila yang semakin lama akan semakin memudar, jika bangsa Indonesia tidak menyadarinya dan memahami nilai-nilainya secara utuh. “Bangsa ini harus cepat menyadari dan melakukan berbagai upaya konkret untuk memahami kembali,” tuturnya.
Diungkapkan, belakangan Pancasila hanya dijadikan sebagai aksesoris atau alat pembenar atas kepentingan kekuasaan suatu kelompok. Lebih parah lagi, ada sebagian masyarakat yang sudah meninggalkan Pancasila dan memilih mencari ideologi lain yang cenderung radikal dan anti terhadap keberagaman.
“Di mana-mana saya sampaikan, bangsa ini sudah memiliki konsep bernegara yang jelas. Kembali saja kepada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Singkatnya kembali ke PBNU,” ungkap Zulkifli yang disambut tepuk tangan peserta.
Refleksi kebangsaan yang digelar Muslimat NU diikuti oleh 34 Pimpinan Wilayah (PW) seluruh Indonesia dan 180 Pimpinan Cabang (PC) berprestasi.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengatakan diangkatnya “Pancasila, Agama, dan Negara” sebagai tema diskusi ini tidak lain karena adanya kegelisahan Muslimat NU terhadap format berbangsa dan bernegara yang dianggap telah melenceng dari cita-cita awal pendirian Indonesia.
“Bagaimana kemudian perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat dapat dilihat sebagai rahmat, bukan malah membuat perpecahan dan friksi,” tuturnya.
Menurutnya, diskusi tersebut merupakan langkah awal bagi para kader di wilayah maupun cabang untuk mengadakan diskusi serupa dengan patokan tema yang sama. “Para kader bisa memperbaharui tema seperti Pancasila dan NU, Pancasila dan Negara, Pancasila dan Agama, Pancasila dan Aswaja, serta tema-tema sejenis asal masih dalam koridor ketiga aspek yang dimaksud,” imbuhnya. (hud)